(Arrahmah.id) – Sayap militer Hamas, Brigade Al-Qassam, meluncurkan serangkaian operasi yang mereka sebut “Asa Musa” (Tongkat Musa), sebagai respons terhadap operasi ‘Israel’ “Arabat Gideon 2” (Kereta Gideon) yang bertujuan menduduki Kota Gaza dan mengusir warganya.
Nama operasi ‘Israel’ sendiri sarat dengan simbolisme religius dari Taurat, yang mencerminkan ambisi pemerintah pendudukan untuk menancapkan kekuasaan penuh atas Jalur Gaza. Namun, pihak perlawanan menegaskan bahwa mereka siap menghadang dengan strategi baru di lapangan, taktik perang kota yang dirancang untuk menimbulkan kerugian besar di kubu militer ‘Israel’.
Rangkaian operasi terbaru Al-Qassam memperlihatkan upaya serius untuk menjatuhkan pukulan strategis yang bisa meruntuhkan narasi “kemenangan” yang coba dijual pemerintah ‘Israel’. Caranya: melancarkan serangan terukur yang berpotensi menambah jumlah tentara ‘Israel’ yang ditawan.
Hal ini jelas berseberangan dengan keyakinan Perdana Menteri ‘Israel’ Benjamin Netanyahu. Ia bersikeras bahwa tekanan militer justru akan membuat Hamas melepaskan tawanan mereka.
Namun di lapangan, hasilnya berbeda. Pada 20 Agustus lalu, misalnya, pasukan Al-Qassam melancarkan operasi besar di kawasan Fukhari, timur Khan Yunis, dengan mengirim satu unit penuh untuk menyerbu sebuah kamp militer baru ‘Israel’. Beberapa hari kemudian, Sabtu lalu (30/8/2025), pertempuran sengit pecah di Hayy al-Zaytoun, selatan Kota Gaza, yang berujung pada hilangnya jejak empat tentara ‘Israel’, memaksa militer mengerahkan jet tempur dan tim penyelamat udara.
Pernyataan juru bicara Al-Qassam, Abu Ubaidah, memperkuat arah strategi ini. Ia menegaskan, “Rencana kriminal musuh untuk menduduki Gaza akan berbalik menjadi bencana bagi pimpinan politik dan militernya. Tentara pendudukan akan membayar harga dengan darah mereka, dan peluang kami menawan prajurit baru akan semakin besar.”
Seorang komandan lapangan perlawanan mengatakan kepada Al Jazeera Net bahwa para pejuang telah belajar banyak dari konfrontasi sebelumnya. “Mereka kini lebih tahu bagaimana membuat tentara ‘Israel’ rentan melalui jebakan yang matang,” ujarnya.
Menurutnya, meski ‘Israel’ mengandalkan daya tembak besar dalam setiap invasi ke kawasan permukiman, itu tidak membuat tentaranya aman. Sebaliknya, strategi perlawanan berhasil menyesuaikan dengan pola gerakan Israel, sehingga mereka bisa dijebak di titik-titik paling kritis.
Perang Simbol dan Narasi
Penulis dan analis politik Palestina, Wisam Afifah, menjelaskan bahwa operasi ‘Israel’ “Arabat Gideon 2” mengusung simbolisme Taurat yang merepresentasikan ambisi mendominasi Gaza sepenuhnya lewat kekuatan militer. Sebagai tandingan, perlawanan merespons dengan operasi “Asa Musa” , mengacu pada mukjizat Nabi Musa yang membatalkan sihir Fir’aun.
Menurut Afifah, ini bukan sekadar nama, melainkan bagian dari perang narasi dan moral yang berjalan paralel dengan pertempuran di lapangan. ‘Israel’ berusaha memberi legitimasi religius dan historis pada perangnya, sementara pihak perlawanan menggunakan simbol Qur’ani untuk mengangkat moral pendukungnya dan menantang musuh.
Ia menambahkan, pengumuman ‘Israel’ tentang rencana resmi menguasai Kota Gaza adalah upaya menunjukkan kepercayaan diri berlebihan. Padahal, di lapangan, operasi “Asa Musa” menandingi “Arabat Gideon 2” lewat taktik gerilya: penyergapan, jaringan terowongan, peledak rakitan, hingga menyerang jalur logistik. Semua ini terbukti mampu melemahkan kekuatan militer yang unggul secara teknologi, memaksa ‘Israel’ berulang kali mengubah strategi.
Afifah menilai, “Ini bukan sekadar duel nama operasi. Ini adalah pertempuran kehendak dan strategi. ‘Israel’ ingin kontrol penuh, tapi perlawanan masih memegang inisiatif di medan yang mereka kuasai, dengan basis masyarakat yang siap menjadi bagian dari perang panjang.”
Gagal di “Arabat Gideon” Pertama
Nama “Arabat Gideon” pertama kali digunakan militer ‘Israel’ pada Mei lalu. Saat itu, tujuannya adalah memperluas perang, memaksa warga Gaza pindah ke Rafah, lalu mengirim pasukan darat untuk menduduki wilayah demi wilayah, serta mempersiapkan keberadaan militer jangka panjang guna menghancurkan Hamas dan seluruh terowongannya.
Nama ini merujuk pada kisah religius Yahudi, ketika Gideon, seorang pemimpin militer Bani ‘Israel’, dikisahkan berhasil mengalahkan pasukan Midian yang jauh lebih besar dengan bala tentara kecil.
Namun, kenyataannya berbeda. Bulan lalu, militer ‘Israel’ mengumumkan berakhirnya operasi “Arabat Gideon”, tapi tak satu pun dari targetnya tercapai. Sebuah dokumen internal yang bocor ke Channel 12 Israel bahkan mengakui bahwa operasi itu lebih fokus meratakan bangunan, sementara militer “melakukan semua kesalahan yang mungkin” dalam menjalankannya. Hasilnya, ‘Israel’ justru kehilangan legitimasi internasional untuk melanjutkan perang di Gaza.
Meski gagal, ‘Israel’ tetap meluncurkan “Arabat Gideon 2” dengan tujuan yang sama. Namun kritik tajam datang dari dalam. Mayor Jenderal (purnawirawan) Yitzhak Brik, misalnya, menilai rencana pendudukan Gaza mustahil tercapai dan justru akan menjerumuskan ‘Israel’ ke dalam kekacauan besar.
Brik menegaskan, lemahnya pasukan darat adalah alasan utama kegagalan ‘Israel’ menghadapi Hamas. Minimnya jumlah tentara membuat militer tidak mampu bertahan lama di area yang mereka duduki. Apalagi, ‘Israel’ tidak punya unit profesional khusus untuk menghadapi jaringan terowongan Hamas yang membentang ratusan kilometer di bawah Gaza. (zarahamala/arrahmah.id)
Sumber: Al Jazeera Arab