1. Artikel

Operasi Gelap Mossad: Sejarah Panjang Pembunuhan Terarah dari Beirut hingga Doha

Zarah Amala
Diperbaru: Rabu, 24 September 2025 / 2 Rabiul akhir 1447 14:05
Operasi Gelap Mossad: Sejarah Panjang Pembunuhan Terarah dari Beirut hingga Doha
Mossad menjalankan pembunuhan politik selama puluhan tahun (Al Jazeera)

(Arrahmah.id) – Tidak ada perbedaan antara Doha, Beirut, atau Kuala Lumpur bagi Mossad ‘Israel’. Selama lebih dari lima dekade, badan intelijen itu telah membunuh tokoh-tokoh media, politik, dan kebudayaan di lebih dari 15 negara. Pola operasi ini merefleksikan sebuah doktrin: membunuh lebih cepat daripada bernegosiasi, membungkam lawan lebih efektif daripada berdialog.

Kasus percobaan pembunuhan yang menyasar pemimpin-pemimpin Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) di ibu kota Qatar, Doha, pada 9 September lalu bukanlah pengecualian dalam sejarah panjang Mossad yang sarat operasi pembunuhan. Dalam program “Al-Marsad” pada Senin, 22 September 2025, disusun kronologi panjang para martir, mereka yang dianggap duri dalam leher pendudukan sehingga dibiasakan untuk dibunuh.

Selama puluhan tahun, ‘Israel’ telah melakukan operasi pembunuhan di lebih dari 15 negara, mulai dari Malaysia, Suriah, Iran, Prancis, Yordania, hingga Beirut, Malta, dan UEA. Targetnya tak terbatas pada pemimpin pembebasan Palestina; juga termasuk intelektual, ilmuwan, jurnalis, dan diplomat dari negara lain. Dalam budaya yang menganggap pembunuhan sebagai cara yang lebih cepat daripada politik, pembunuhan dipakai sebagai pengganti dialog dan negosiasi.

Dalam bukunya Rise and Kill First (Bangkit dan Bunuh Dahulu), jurnalis ‘Israel’ Ronen Bergman mengungkapkan bahwa ‘Israel’ telah membunuh lebih banyak orang dibanding negara-negara Barat lainnya. Wartawan Amerika Charles Glass mencatat bahwa buku itu membuka bagaimana pola pikir ‘Israel’ terhadap musuh: mereka mengandalkan operasi gelap daripada pendekatan diplomatik, mempertanyakan, “Mengapa kita harus bernegosiasi dengan musuh ketika lebih mudah membunuh mereka?”

Adapun doktrin yang membenarkan operasi-operasi itu disebut “pembunuhan terarah”, pembunuhan yang tidak memerlukan pembenaran, seperti dikatakan mantan kepala intelijen ‘Israel’ Shabtai Shavit. Dalam bukunya The Pursuit of a Secure Israel (2021), Shavit menyebut ada penerimaan di beberapa negara terhadap pendekatan semacam ini; apa yang dulu dikecam kini kadang dilihat tanpa perlu pembenaran internasional.

Awal catatan berdarah: Ghassan Kanafani (1972)

Jejak tindakan berdarah itu dimulai ketika sebuah mobil meledak, menewaskan jurnalis dan penulis Palestina Ghassan Kanafani di Beirut pada 1972, dalam serangan yang juga membunuh keponakannya Lamis yang berusia 17 tahun.

Para pejabat ‘Israel’ seringkali tak menyembunyikan atau merasa malu atas pengakuan operasi semacam itu; mereka bahkan memuji “keberhasilan operasi” setelah beberapa serangan, meski ada pula operasi yang tetap dirahasiakan bertahun-tahun sebelum akhirnya terungkap.

Kampanye “Ghodab al-Rab” (Ghazab al-Rabb / Wrath of God)

Pada 1970-an, menyusul tragedi Olimpiade München 1972, perdana menteri Golda Meir menginisiasi kampanye pembalasan yang dikenal sebagai “Wrath of God”, operasi terkoordinasi untuk memburu dan membunuh mereka yang terkait (langsung maupun tidak) dengan penculikan dan pembunuhan atlet ‘Israel’. Aharon Yariv, mantan kepala intelijen militer, mengakui keterlibatan pemerintah dalam merencanakan operasi itu.

Korban awal kampanye itu termasuk Wail Zwaiter (Roma) dan Mahmoud al-Hamshari (Paris, diledakkan lewat bom di telepon kantor). Operasi itu kemudian menyasar perwakilan/wakil organisasi Palestina dan tokoh-tokoh lain di berbagai negara: Hussein Abu Khair (Siprus), profesor hukum internasional Bassel al-Kubaisi (Paris), seniman dan aktivis aljazair Muhammad Boudia, dan lain-lain.

Operasi “Fardaan” (1973) menonjol: unit komando ‘Israel’ menyusup ke Beirut lewat laut pada April 1973 dan membunuh tiga pemimpin PLO, Abu Yusuf al-Najjar, Kamal Adwan, dan Kamal Nasser, dengan Ehud Barak (yang kelak jadi perdana menteri) terlibat, dilaporkan bahkan menyamar.

Pada 1979, Mossad berhasil membunuh tokoh Fatah Ali Hassan Salameh (“Pangeran Merah”) lewat ledakan mobil di Beirut setelah beberapa upaya sebelumnya gagal. Setelah jeda 13 tahun, operasi itu dilanjutkan atas perintah PM Yitzhak Shamir pada 1992, termasuk pembunuhan kepala intelijen PLO Atef Bseiso di Paris.

Berlanjut hingga 1990-an dan 2000-an

Di Roma (1981) Mossad menyingkirkan pejabat media PLO Majid Abu Sharar, sekitar 1988 pihaknya menyerbu rumah Abu Jihad (Khalil al-Wazir) di Tunisia dan menembaknya puluhan kali. Pada 1995, pembunuhan Fathi Shiqaqi, pemimpin Jihad Islam, di Malta dilaksanakan oleh dua penembak Mossad.

Kegagalan besar yang memalukan bagi Mossad terjadi saat upaya membunuh Khaled Meshaal (1997) di Amman, agen Mossad mencoba menyuntik racun, namun gagal, peristiwa itu meletupkan krisis diplomatik besar hingga Netanyahu harus bernegosiasi untuk menyelamatkan nyawa Meshaal.

Namun kegagalan tidak menghentikan praktik itu. Pembunuhan Mahmoud al-Mabhouh di Dubai, pembunuhan akademisi Fadi al-Batsh di Kuala Lumpur, juga pembunuhan ilmuwan nuklir Iran di Teheran, semuanya menjadi bagian dari daftar panjang operasi Mossad. Laporan menyebut pula bahwa Ismail Haniyeh, ketua biro politik Hamas, dibunuh pada Juli/September 2024, menandai kesinambungan serangkaian target pimpinan perlawanan Palestina. (zarahamala/arrahmah.id)

Sumber: Al Jazeera Arab