NEW YORK (Arrahmah.id) — Suasana haru menyelimuti sebuah forum internasional bergengsi di New York, 19 September 2025, ketika seorang pengusaha Suriah di pengasingan, Behas Baghdadi, membuka kisah perjuangan bangsanya sebelum memperkenalkan tokoh yang kini menjadi simbol transisi Suriah: Presiden Ahmad Asy-Syaraa.

Behas Baghdadi
Baghdadi, pendiri perusahaan Baghdadi Capital yang lahir di Damaskus pada 1969, mengenang masa kecilnya di bawah tirani rezim Assad. Ia bercerita bagaimana ibunya selalu menanamkan harapan bahwa “rezim tidak selamanya berkuasa, suatu hari Suriah akan merdeka.”
Meski berhasil meniti karier di Barat, Baghdadi mengaku hatinya tak pernah lepas dari tanah kelahiran. “Saya bisa mencapai sukses, tapi tidak bisa merasakan manisnya hidup jika Suriah tetap terbelenggu,” ujarnya dengan penuh emosi.
Ia menuturkan, puncak kehidupannya terjadi pada 8 Desember 2024, ketika mendengar kabar Bashar al-Assad tumbang. “Hari itu saya sadar, perjuangan rakyat Suriah tidak sia-sia. Inilah Suriah baru, lahir dari pengorbanan,” katanya sebelum memanggil sosok yang ditunggu: Presiden Suriah Ahmad Asy-Syaraa.
Dari Musuh AS di Irak, Kini Duduk di Forum yang Sama
Asy-Syaraa naik ke panggung bersama Jenderal David Petraeus, mantan komandan pasukan AS di Irak. Momen itu menghadirkan ironi sejarah: keduanya pernah berada di medan yang sama namun di pihak yang berlawanan.

Behas Baghdadi (kiri) Presiden Ahmad Asy-Syara (tengah) dan Jenderal David Petraeus (kanan)
Petraeus mengawali percakapan dengan mengatakan, “Mr. President, aneh rasanya duduk di sini bersama Anda. Pada 2003 saya memimpin pasukan pendudukan Amerika-Britania di Irak, sementara Anda berjuang melawan kami di pihak Al-Qaeda. Tak pernah saya bayangkan kita akan berbincang seperti ini.”
Asy-Syaraa menanggapi dengan senyum tipis, lalu mulai mengurai perjalanan panjang menuju kursi kepresidenan.
Strategi Menggulingkan Assad
Ditanya bagaimana rakyat Suriah berhasil menggulingkan rezim Assad, Asy-Syaraa menyebut kuncinya ada pada tiga hal: optimisme, legitimasi moral, dan dukungan rakyat.
“Kami berperang bukan hanya dengan senjata, tapi dengan keyakinan bahwa Allah bersama orang-orang yang tertindas. Setiap langkah kami mendapat dukungan rakyat, karena mereka tahu ini perjuangan untuk kebebasan, bukan untuk kepentingan pribadi,” tegasnya.
Tantangan Rekonsiliasi
Asy-Syaraa menegaskan transisi Suriah tidak hanya soal militer, tetapi juga rekonsiliasi. “Kami harus melindungi semua rakyat, termasuk minoritas. Kami tidak ingin mengulang pola tirani yang menindas sebagian demi sebagian lainnya,” ujarnya.
Ia mengungkapkan bahwa pemerintah transisi sudah membuka dialog dengan berbagai pihak, termasuk kelompok Kurdi. “Kesepakatan sudah ada. Kami pastikan semua warga menjadi bagian dari Suriah baru,” tambahnya.
Hubungan dengan AS dan Barat
Dalam sesi tersebut, Asy-Syaraa meminta dukungan nyata dari Barat dengan mencabut sanksi ekonomi, terutama Undang-Undang Caesar. “Sanksi ini menghancurkan rakyat, bukan rezim. Jika Barat benar-benar ingin melihat Suriah stabil, maka cabutlah sanksi itu,” tegasnya.
Petraeus menimpali dengan pengakuan bahwa posisi Washington kini tengah mempertimbangkan hal tersebut.
Sikap terhadap “Israel” dan Golan
Salah satu topik yang paling ditunggu adalah sikap pemerintah transisi Suriah terhadap “Israel”. Asy-Syaraa menegaskan bahwa Suriah tidak bisa diperlakukan sama dengan negara-negara yang menandatangani Abraham Accord.
“Tidak ada perdamaian, tidak ada normalisasi, dan tidak ada kompromi dengan penjajah yang merampas tanah kami dan menodai kesucian Al-Quds dan Masjid Al-Aqsha,” tegas Asy-Syaraa disambut tepuk tangan sebagian delegasi.
Ia menambahkan bahwa Suriah baru, yang lahir dari revolusi panjang dan penuh pengorbanan, akan tetap konsisten bersama rakyat Palestina. “Kami tidak akan pernah menjual prinsip kami demi kursi kekuasaan atau janji palsu Barat. Suriah berdiri teguh bersama Palestina, dari sungai hingga laut,” ujarnya lantang.
Namun ia tidak menutup kemungkinan adanya pembicaraan dengan mediasi AS, khususnya terkait pengembalian Dataran Tinggi Golan. “Jika ada jaminan pengembalian tanah yang dirampas, maka kami bisa membicarakan masa depan hubungan,” ujarnya.
Pemilu dan Masa Depan Suriah
Asy-Syaraa menegaskan bahwa pemerintah transisi bukanlah akhir. “Tugas kami hanya mengawal Suriah menuju pemilu yang bebas dalam empat hingga lima tahun ke depan. Rakyatlah yang akan menentukan pemimpin mereka,” katanya.
Menutup sesi wawancara, ia kembali menegaskan bahwa revolusi Suriah lahir dari penderitaan rakyat, dan kini saatnya dunia melihat wajah baru Damaskus.
Wawancara lengkap :
(Samirmusa/arrahmah.id)