(Arrahmah.id) Di tengah riuhnya dunia politik Amerika, nama Zohran Kwame Mamdani mencuat sebagai sosok muda, vokal, dan kontroversial. Ia adalah seorang politisi Demokrat Sosialis yang mewakili distrik ke-36 di Queens, New York, dan menjabat sebagai anggota Majelis Negara Bagian sejak 2021.
Pada 24 Juni lalu, Zohran secara resmi memenangkan pemilihan pendahuluan Partai Demokrat (Democratic primary) untuk jabatan Wali Kota New York City, mengalahkan mantan Gubernur Andrew Cuomo, dengan hasil final sekitar 56% berbanding 44% dalam putaran akhir sistem ranked-choice voting.
Kemenangan ini menjadikan Zohran Mamdani sebagai nominee Partai Demokrat untuk Pilkada NYC 2025, dan membawa momentum besar menuju pemilihan umum November mendatang, di mana ia akan bersaing dengan calon independen seperti Eric Adams, serta kandidat dari partai Republik dan independen lainnya.
Selain pandangan politiknya yang cenderung progresif dan kiri yang banyak menarik perhatian, identitas Zohran sebagai seorang penganut Syiah juga kerap menjadi bahan sorotan, terutama karena ia sendiri pernah mengungkapkannya secara terbuka dalam beberapa kesempatan, salah satunya dalam wawancara dengan William Shoki dari Jacobin, “When I was a kid I used to struggle with the experience of always being a minority. Not only national heritage, but even religious heritage, not only am I Muslim, but I’m also Shia, not Sunni” (Waktu kecil, aku sering merasa berat menjalani hidup sebagai minoritas, bukan cuma secara asal kebangsaan, tapi juga dalam hal keyakinan. Aku bukan hanya seorang Muslim, tapi juga seorang Syiah, bukan Sunni seperti mayoritas).
Latar Belakang Keluarga dan Keimanan
Lahir di Uganda pada 1991 dari pasangan campuran India-Afrika, Zohran tumbuh di New York dalam keluarga yang berpendidikan tinggi. Ibunya, Mira Nair, adalah sutradara film ternama yang banyak mengangkat tema identitas dan diaspora, sedangkan ayahnya adalah seorang profesor keturunan India-Uganda bernama Mahmood Mamdani, sosok yang sangat berpengaruh dalam dunia akademik internasional, khususnya dalam bidang kajian kolonialisme, politik Afrika, dan hubungan kekuasaan global. Mahmood Mamdani saat ini adalah Profesor Pemerintahan dan Direktur Institute of African Studies di Columbia University, New York.
Secara keagamaan, Zohran menganut Syiah Imamiyah (Syiah Itsna Asyariyah), yang tentu memiliki banyak perbedaan mendasar dengan akidah mayoritas umat Islam (Ahlus Sunnah), terutama dalam hal keyakinan terhadap imamah, posisi para sahabat Nabi, dan tafsir terhadap sejarah Islam pasca wafatnya Rasulullah.
Meski demikian, ia dengan bangga membawa identitas keislamannya dalam ruang publik Amerika. Dalam wawancara dengan sejumlah media, ia menekankan bahwa Islam adalah bagian tak terpisahkan dari komitmen politiknya, memperjuangkan hak, kesetaraan, dan keberpihakan terhadap rakyat biasa.
Politik Kiri dan Gerakan Sosialis
Sebagai bagian dari gelombang baru politisi sayap kiri di AS, Zohran memperjuangkan agenda yang sangat progresif, di antaranya: perumahan gratis sebagai hak dasar, penghapusan utang medis dan pendidikan, reformasi total terhadap kepolisian dan pajak tinggi terhadap miliarder.
Zohran didukung oleh Democratic Socialists of America (DSA) dan memenangkan pemilihan dengan mengalahkan petahana dalam pemilu Partai Demokrat. Namun, di sinilah muncul dilema. Banyak dari agenda yang ia dorong lahir dari pandangan dunia sekuler, bahkan cenderung liberal, seperti sikapnya terhadap LGBTQ+, kebebasan berekspresi, dan pluralisme mutlak, yang tentu tidak sepenuhnya sejalan dengan prinsip-prinsip Islam.
Dukungan Terbuka terhadap Palestina
Satu hal yang patut diapresiasi oleh umat Islam, terlepas dari perbedaan mazhab akidah, adalah dukungan tegas Zohran terhadap Palestina. Ia menjadi salah satu politisi AS yang paling vokal mengecam penjajahan ‘Israel’, menolak pendanaan militer ke Tel Aviv, serta menyuarakan penghentian genosida di Gaza.
Namun karena sikap ini pula, ia menjadi sasaran kampanye Islamofobia oleh kelompok Zionis dan sayap kanan AS. Bahkan, identitas keagamaannya sebagai Muslim Syiah kerap dijadikan alat serangan untuk menggambarkan dirinya sebagai “radikal.”
Bagi Ahlus Sunnah, kehadiran sosok seperti Zohran Mamdani patut disikapi dengan hikmah dan kewaspadaan. Di satu sisi, ia menunjukkan bahwa Muslim bisa tampil di ranah publik Barat dengan keberanian dan integritas. Tapi di sisi lain, akidah Syiah yang ia anut mengandung banyak penyimpangan yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
Agenda-agenda sosialnya boleh jadi menarik di permukaan, tetapi umat juga perlu memilah antara nilai-nilai Islam yang sejati dengan ideologi kiri sekuler yang mendasari banyak gerakan sosialis modern. Perjuangan membela keadilan, seperti pembelaan terhadap rakyat Palestina, adalah hal yang harus diapresiasi. Namun, posisi kita sebagai Ahlus Sunnah tetap harus tegas dalam prinsip, sambil bersikap adil terhadap siapa pun.
Zohran Mamdani adalah potret rumit dari zaman kita, seorang politisi muda Muslim yang lantang membela keadilan, namun juga menjadi simbol persimpangan antara agama, ideologi, dan politik identitas. Ia bukan panutan dalam hal aqidah, tetapi mungkin bisa menjadi pelajaran dalam hal keberanian bersuara di tengah sistem yang tidak ramah terhadap Islam. (zarahamala/arrahmah.id)