1. News
  2. Nasional

Wacana Tunjangan Rumah DPR Ratusan Juta Kebijakan Naif dan Menyayat Hati Rakyat

Ameera
Ahad, 31 Agustus 2025 / 8 Rabiul awal 1447 08:07
Wacana Tunjangan Rumah DPR Ratusan Juta Kebijakan Naif dan Menyayat Hati Rakyat

JAKARTA (Arrahmah.id) – Publik tengah ramai membicarakan wacana pemberian tunjangan rumah ratusan juta rupiah per tahun bagi anggota DPR.

Kebijakan ini muncul setelah fasilitas rumah dinas dihapus dan diganti dengan tunjangan, namun justru menuai kritik tajam dari berbagai pihak.

Sorotan publik menguat karena wacana tersebut dinilai tidak sensitif terhadap kondisi ekonomi rakyat yang serba sulit.

Banyak yang menilai kebijakan itu bukan hanya berpotensi membebani keuangan negara, tetapi juga melukai rasa keadilan masyarakat.

Menanggapi hal ini, Pakar Kebijakan Publik Universitas Airlangga (Unair), Prof Jusuf Irianto, menegaskan setiap kebijakan publik seharusnya berlandaskan pada keadilan, etika, dan moralitas.

Menurutnya, penolakan masyarakat terhadap wacana tunjangan rumah merupakan bentuk aksi rasional.

“Di tengah pengetatan anggaran pemerintah, mestinya semua pihak menahan diri untuk tidak bernafsu dan memaksakan demi mementingkan diri dan kelompoknya. Kebijakan memberi tunjangan rumah bernilai jutaan justru dikhawatirkan semakin menyayat hati rakyat. Pemerintah bagai menambah luka di atas luka bagi penderitaan rakyat,” ujarnya melalui laman resmi Unair, Jumat (29/8/2025).

Lebih lanjut, Prof Jusuf menilai penambahan fasilitas untuk anggota legislatif di saat seperti ini terkesan naif.

Kebijakan publik, menurutnya, seharusnya memberi nilai tambah bagi kesejahteraan masyarakat luas, bukan hanya untuk kelompok tertentu.

Dari perspektif keadilan sosial, Jusuf menilai pemberian tunjangan rumah hingga ratusan juta tidak sejalan dengan prinsip social equity.

“Kebijakan seperti ini perlu dikaji ulang agar tidak melukai rasa keadilan masyarakat yang masih menghadapi kesulitan ekonomi,” tegasnya.

Prof Jusuf menjelaskan bahwa fasilitas untuk anggota legislatif memang lazim ada di berbagai negara. Namun, jumlah dan bentuknya biasanya disesuaikan dengan kondisi keuangan negara serta prinsip fairness.

Ia mencontohkan, di Amerika Serikat dan Australia, fasilitas yang diberikan jelas diatur normatif dan selaras dengan kemampuan negara.

“Pemberian tunjangan DPR seperti saat ini sulit diterima akal sehat karena bertentangan dengan kebijakan efisiensi anggaran yang ditetapkan Presiden,” tambahnya.

Ia juga mengingatkan DPR agar lebih peka terhadap kondisi rakyat yang sedang menghadapi melemahnya daya beli, maraknya PHK, hingga jeratan pinjaman online (pinjol).

Tansparansi dan akuntabilitas, katanya, harus menjadi dasar dalam setiap penyusunan kebijakan publik.

(ameera/arrahmah.id)