GAZA (Arrahmah.id) – Selama beberapa pekan, rancangan rencana perdamaian Gaza yang didukung AS beredar di ibu kota-ibu kota Timur Tengah. Para pemimpin negara kunci di kawasan bahkan masih yakin dengan isinya beberapa jam sebelum dokumen itu resmi diumumkan Selasa lalu (30/9/2025).
Namun ketika Presiden AS Donald Trump akhirnya membeberkan rencana 20 poinnya, para pemimpin itu justru terkejut. Menurut beberapa sumber regional yang dikutip Middle East Eye, versi final berbeda jauh dari draf awal.
Perubahan paling mencolok ada pada jumlah tahanan Palestina yang akan dibebaskan serta tahapan penarikan mundur pasukan ‘Israel’ dari Gaza. Dari semula ratusan narapidana plus 1.700 warga Gaza, laki-laki, perempuan, anak-anak, yang ditahan, kini hanya 250 orang yang akan dilepas bersama para tahanan.
Begitu pula soal bantuan: draf awal menjamin 600 truk bantuan per hari masuk ke Gaza, sementara versi final hanya menggunakan bahasa samar tanpa komitmen jelas.
Soal tata kelola, Gaza rencananya dijalankan oleh sebuah “Dewan Perdamaian” dipimpin langsung Trump dan mantan PM Inggris Tony Blair, tanpa konsultasi internasional. Sedangkan “Pasukan Stabilisasi Internasional” (ISF) yang awalnya hanya untuk melatih polisi Palestina, kini mendapat kewenangan luas yang membuka peluang kendali ‘Israel’ lebih besar.
Penarikan pasukan ‘Israel’ juga tak lagi punya tenggat jelas, ditambah penciptaan zona keamanan di sekeliling Gaza yang berpotensi membuat kehadiran militer ‘Israel’ bersifat permanen.
Meski begitu, beberapa negara seperti Mesir, Yordania, dan Turki menilai ada konsesi penting: AS menolak pengakuan aneksasi Tepi Barat oleh ‘Israel’, warga Palestina dijamin tetap tinggal di Gaza, dan Israel sepakat tidak menduduki permanen wilayah itu.
Sumber politik Mesir mengatakan, Presiden Abdel Fattah al-Sisi dan Mohammed bin Zayed (UEA) lebih fokus pada peluang ekonomi: rekonstruksi Gaza yang bisa menyalurkan miliaran dolar ke Mesir, dari pembersihan puing hingga proyek infrastruktur. Selain itu, rencana itu dianggap bisa menghentikan skenario pengusiran massal warga Gaza ke Sinai, yang sempat bikin Mesir tegang dengan ‘Israel’.
Di sisi lain, Turki, Qatar, dan Mesir langsung menekan Hamas untuk menerima rencana tersebut, bahkan sebelum diumumkan resmi. Sumber keamanan Mesir menyebut Kepala Intelijen Hassan Rashad mendapat instruksi langsung dari Sisi untuk “mempersiapkan Hamas” agar setuju.
Meski semua negara Arab-Muslim yang diajak Trump dalam pertemuan di New York menyatakan dukungan di depan publik, di balik layar banyak pertanyaan soal ISF: siapa yang memimpin, aturan keterlibatan, dan legitimasi hukum. Turki, Yordania, dan Mesir ingin restu Dewan Keamanan PBB, tapi AS dan ‘Israel’ menolaknya.
Sementara itu, isu sensitif lain adalah nasib para pemimpin Hamas. ‘Israel’ bersumpah memburu mereka di mana pun, bahkan di luar Gaza. Upaya serangan di Doha bulan lalu yang gagal, serta dugaan rencana pembunuhan di Mesir, membuat negara-negara regional khawatir. Jika Hamas menerima rencana ini, sebagian pemimpinnya mungkin pindah ke Turki, Mesir, atau Arab Saudi, namun tanpa jaminan bebas dari serangan ‘Israel’. (zarahamala/arrahmah.id)