GAZA (Arrahmah.id) – Seorang tentara bayaran asal Amerika yang bekerja di lokasi distribusi bantuan milik Gaza Humanitarian Foundation (GHF), lembaga yang kerap menuai kontroversi, mengaku bahwa pasukan ‘Israel’ dan kontraktor AS telah menembaki warga Gaza yang kelaparan dan tidak bersenjata. Ia menambahkan bahwa dirinya telah “menyaksikan kejahatan perang” secara langsung di Jalur Gaza.
Dalam wawancaranya bersama BBC, Anthony Aguilar, seorang perwira pasukan khusus AS yang telah pensiun, mengatakan, “Saya menyaksikan Pasukan Pertahanan ‘Israel’ (IDF) menembaki kerumunan warga Palestina. Saya melihat langsung tank Merkava menembakkan peluru utama ke arah kerumunan, menghancurkan mobil sipil yang sebenarnya hanya sedang mencoba menjauh dari lokasi. Saya juga melihat mortir ditembakkan ke arah kerumunan untuk mengendalikan mereka.”
Terkait lokasi distribusi bantuan GHF, Aguilar berkata, “Kalau saya harus bicara sejujurnya, saya akan katakan itu kriminal. Sepanjang karier militer saya, belum pernah saya melihat kebrutalan dan penggunaan kekuatan membabi buta terhadap penduduk sipil, terhadap warga sipil yang tidak bersenjata dan kelaparan. Saya belum pernah melihat hal seperti itu di semua zona perang tempat saya pernah bertugas, sampai saya datang ke Gaza, di tangan IDF dan kontraktor-kontraktor AS.”
Aguilar menyebut mekanisme bantuan yang didukung ‘Israel’ dan AS itu sebagai sesuatu yang “amatiran,” seraya menambahkan bahwa pelaksana GHF “tidak terlatih, tidak berpengalaman, dan sama sekali tidak tahu cara menjalankan operasi kemanusiaan sebesar ini.”
Tanpa ragu, ia menegaskan, “Saya menyaksikan kejahatan perang. Menembakkan peluru artileri, mortir, dan tank ke arah warga sipil tak bersenjata, itu jelas kejahatan perang.”
Dalam wawancara lainnya bersama UNXeptable, Aguilar bahkan menyebut bahwa sistem distribusi bantuan GHF dirancang untuk “mendehumanisasi penduduk sipil Palestina, agar tampak di mata dunia seolah mereka adalah binatang. Mereka dianggap ternak, hanya digiring dari satu titik ke titik lain, tanpa dianggap bernilai.”
Yang lebih memilukan, Aguilar menyatakan bahwa perlakuan terhadap warga sipil Gaza oleh pasukan ‘Israel’ dan kontraktor AS lebih buruk daripada perlakuan terhadap militan ISIS di Baghuz Fawqani, Suriah, pada 2018.
Ia pun menceritakan satu kisah nyata yang terjadi pada 28 Mei di lokasi distribusi bantuan nomor 2: Bantuan telah dibagikan dan banyak orang mulai pergi. Seorang anak laki-laki bernama Ameer masih berada di sana. Tubuhnya kurus kering, bajunya hampir jatuh dari tubuhnya, dan ia bahkan tidak memakai alas kaki. Ketika melihat Aguilar, Ameer mencium tangannya dan berkata, “terima kasih.”
“Itu bukan pejuang Hamas,” kata Aguilar. “Ameer berjalan kaki sejauh 12 km untuk sampai ke lokasi itu… Ia mengambil bantuannya, lalu berjalan kembali ke arah kerumunan. Tapi kemudian, ia diserang dengan gas merica, gas air mata, granat kejut, dan peluru… Ia lari ketakutan… IDF menembaki kerumunan… Ameer termasuk di antaranya… ia meninggal.”
“Itu bukan satu-satunya kejadian. Hal seperti itu terjadi setiap hari,” lanjutnya. “Warga sipil tak berdosa ditembak, bukan semata karena kebrutalan para tentara IDF, tapi karena kegagalan mereka yang berwenang, para pemimpin dan perancang operasi, yang menempatkan lokasi distribusi bantuan di tempat-tempat berbahaya… yang menempatkan IDF dan kontraktor UG Solutions dalam dilema etika yang parah.”
Menurut Aguilar, sistem distribusi bantuan ala Gaza Humanitarian Foundation ini “harus dihentikan.” (zarahamala/arrahmah.id)