Menurut Zionis Yahudi, Raja Solomon (Nabi Sulaiman AS) pernah membangun Kuil Haikal Sulaiman (Solomon’s Temple) di Yerusalem. Mereka mengklaim kuil tersebut berada di lokasi Baitul Maqdis, tepatnya di bawah tanah Masjid Al Aqsha. Oleh karena itu, mereka mengatakan tidak ada pilihan lain kecuali menghancurkan Masjid Al Aqsha dan kemudian membangun kembali Haikal Sulaiman di atasnya.
Bagi Zionis, Haikal Sulaiman merupakan pusat dunia, pusat seluruh kepercayaan dan pemerintahan segala bangsa. Yahudi meyakini bahwa di suatu hari nanti seorang Messiah akan datang untuk mengangkat derajat dan kedudukan bangsa Yahudi menjadi pemimpin dunia. Kehadiran Messiah inilah yang menjadi inti dari semangat kaum Yahudi untuk memenuhi tanah Palestina. Jika Messiah sudah bertahta di atas singgasana Haikal Sulaiman, maka ia akan memimpin kaum Yahudi untuk memerangi siapa pun yang tidak mau tunduk pada The New World Order, yakni dominasi Yahudi itu sendiri.
Haikal Sulaiman sejatinya hanyalah mitos yang dipropagandakan Zionis. Menurut Mahdy Saied, penulis buku Fadhailu Al Masjidi Al Aqsha, orang yang pertama kali menarik perhatian Yahudi terhadap ide pembangunan Haikal adalah Musa bin Maimun. Dokter Yahudi yang sempat bekerja pada Bani Umayyah di Andalusia ini pernah berziarah ke Al-Quds pada 1267 M. Ratusan tahun kemudian, tepatnya pada 1560 M, seorang rabi merekayasa ide ritual meratap di Tembok Ratapan yang terletak di sisi barat Masjid Al Aqsha.
Sumber satu-satunya mengenai Haikal hanyalah Talmud, kitab yang ditulis oleh rabi Yahudi. Dengan demikian, Haikal Sulaiman bukanlah ajaran Taurat asli, melainkan karangan para rabi yang menyeleweng dari tauhid Nabi Musa AS. Terlebih lagi, Masjid Al Aqsha sudah ada jauh sebelum Bani Israil muncul.
Seorang peneliti, Ahmed Soussa, yang masuk Islam setelah sebelumnya beragama Yahudi, juga mempertanyakan doktrin tentang Kuil Haikal tersebut. Ia meyakini bahwa doktrin itu sebenarnya diambil dari paganisme kuno. Mereka percaya para dewa bersemayam di langit, dan jika turun ke bumi, mereka harus tinggal di rumah-rumah besar (kuil). Sementara itu, Kais Al Kalby dalam karyanya History of Al Aqsa, menyatakan klaim Zionis tentang Kuil Sulaiman hanya berdasarkan penemuan reruntuhan terowongan Raja Jeconiah. Padahal, temuan itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan Kuil Sulaiman dan tidak memiliki makna keagamaan.
Kini Zionis kembali ingin merobohkan Masjid Al Aqsha untuk membangun kuil tersebut. Menurut mereka, Kerajaan Yahudi tidak akan bangkit kembali kecuali dengan menghancurkan Masjid Al Aqsha. Selama puluhan tahun, Zionis melakukan penggalian di bawah kompleks Baitul Maqdis dengan dalih mencari sisa-sisa Kuil Sulaiman. Pada Februari 2007, penggalian semakin mendekati Al Aqsha, hanya berjarak 60 meter dari masjid. Penggalian dengan dalih arkeologi itu sebenarnya dimaksudkan untuk melemahkan fondasi Masjid Al Aqsha, agar pada akhirnya roboh. Bahkan, di dalam terowongan yang digali, mereka mengalirkan air dalam jumlah besar untuk menggoyahkan tanah dan merapuhkan pondasi masjid.
Juru Bicara Pemerintah Palestina, Ibrahim Melhem, kala itu mengatakan kepada Arab News bahwa Zionis Israel tidak menyembunyikan niat mereka untuk menghancurkan Masjid Al Aqsha dan mendirikan Kuil Sulaiman di atas reruntuhannya. Di Israel sendiri, gerakan pembangunan kuil telah tersebar luas melalui berbagai lembaga, salah satunya The Temple Institute atau Machon HaMikdash. Organisasi tersebut secara terbuka menyatakan tujuan mereka untuk menghancurkan Masjid Al Aqsha dan Dome of the Rock, lalu menggantinya dengan kuil ketiga.
Menteri Perumahan dan Konstruksi Israel, Uri Ariel, bahkan pernah mengumumkan bahwa Israel berencana menghancurkan Masjid Al Aqsha agar Bait Suci Ketiga dibangun di sana. Ariel mengakui bahwa Bait Suci pertama dan kedua telah dihancurkan ribuan tahun lalu, sehingga Bait Suci ketiga harus segera dibangun.
Rencana Zionis ini jelas merupakan pelanggaran terhadap Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 194 tahun 1948, yang menyebutkan bahwa tempat-tempat suci, bangunan keagamaan, dan situs-situs di Palestina harus dilindungi serta akses bebas ke sana dijamin sesuai dengan hak dan praktik historis. Begitu pula Konvensi Den Haag 1954 untuk Perlindungan Benda Budaya dalam Peristiwa Konflik Bersenjata, yang melarang pencurian, penjarahan, penyalahgunaan, maupun vandalisme terhadap benda budaya. Namun, Israel secara terang-terangan melanggar semua hukum internasional tersebut.
Dengan menguasai Masjid Al Aqsha, Zionis Israel dapat memperkuat klaim mereka atas seluruh kota lama Yerusalem, yang juga diklaim Palestina sebagai ibu kota masa depan. Para pemimpin Israel berbicara tentang konsep “Yerusalem Metropolitan” yang mencakup sekitar 10 persen dari wilayah Tepi Barat. Rencana ini dikenal sebagai Rencana Induk Israel: Yerusalem 2020.
Sejatinya, Zionis menginginkan terjadinya Perang Dunia III guna mempercepat kehadiran juru selamat mereka, yakni Dajjal. Persiapan menyambutnya didahului dengan menghancurkan Baitul Maqdis. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, istilah Freemason bukanlah semata “tukang batu bebas”, melainkan pengelabuan. Maksud dari “tukang batu bebas” adalah mereka yang akan merobohkan bangunan Masjid Al Aqsha untuk kemudian membangun Kuil Sulaiman. Kini, misi tersebut secara nyata dijalankan oleh Zionis Israel sebagai pelanjut Freemasonry dan Kabbalah.
Tindakan Zionis Israel untuk menghancurkan Masjid Al Aqsha dan mendirikan Kuil Sulaiman harus dicegah dengan kekuatan negara-negara Islam yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). Perlu diingat, OKI sendiri berdiri berangkat dari peristiwa pembakaran Masjid Al Aqsha pada Agustus 1969, saat pendudukan Al-Quds (Yerusalem) oleh Israel. Selain itu, OKI juga memiliki komitmen mendukung perjuangan rakyat Palestina untuk meraih hak membentuk negara yang merdeka dan berdaulat.
Jakarta, 3 September 2025
(*/arrahmah.id)
Editor: Samir Musa