1. News
  2. Nasional

Saksi Ahli Ditolak Pengadilan Singapura, Paulus Tannos Tetap Tolak Diekstradisi ke Indonesia

Ameera
Ahad, 17 Agustus 2025 / 23 Safar 1447 08:44
Saksi Ahli Ditolak Pengadilan Singapura, Paulus Tannos Tetap Tolak Diekstradisi ke Indonesia

JAKARTA (Arrahmah.id) – Upaya pemerintah Indonesia untuk memulangkan buron kasus korupsi e-KTP, Paulus Tannos, masih menemui jalan buntu.

Meskipun Pengadilan Singapura menolak keterangan saksi ahli yang diajukan pihak Tannos, ia tetap menolak diekstradisi ke Tanah Air.

Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM, Widodo, mengatakan penolakan saksi seharusnya melemahkan posisi Tannos. Namun, melalui tim kuasa hukumnya, ia bersikeras menolak pulang ke Indonesia.

“Dia mengajukan ahli, tapi informasinya ditolak berdasarkan pemeriksaan semua, termasuk bukti dari pemerintah Indonesia. Kalau ditolak, harusnya dia berada di posisi lemah dan menyetujui (ekstradisi), tapi dia tetap bersikeras tidak mau,” ujar Widodo, Minggu (17/8/2025).

Widodo menjelaskan proses hukum di Pengadilan Singapura masih berjalan. Pemerintah Indonesia tidak bisa langsung memulangkan Tannos tanpa adanya keputusan final dari pengadilan setempat.

“Nunggu sampai putusan definitif. Kecuali Pengadilan Singapura menetapkan dia harus diekstradisi, kalau belum, kita belum bisa,” jelasnya.

Pasca-penolakan ekstradisi, masa penahanan Paulus Tannos di Singapura pun diperpanjang sambil menunggu perkembangan persidangan.

Paulus Tannos, yang juga dikenal dengan nama Thian Po Tjhin, merupakan tersangka kasus megakorupsi e-KTP.

Ia masuk dalam daftar buron Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak 19 Oktober 2021.

Pelarian Tannos berakhir ketika otoritas Singapura menangkapnya pada 17 Januari 2025 atas permintaan resmi pemerintah Indonesia. Namun, proses pemulangan masih terkendala upaya hukum yang diajukan Tannos.

KPK sebelumnya mengungkap bahwa Tannos memiliki paspor Guinea-Bissau, negara yang memperbolehkan kewarganegaraan ganda. Dengan paspor tersebut, Tannos sempat berusaha melepas kewarganegaraan Indonesia.

Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menyebut langkah itu ditolak oleh pemerintah Guinea-Bissau karena adanya masalah administratif.

“Ada upaya dari Tannos untuk mencabut kewarganegaraan Indonesia. Tapi ditolak. Guinea-Bissau memang memperbolehkan dua kewarganegaraan, sehingga Tannos tetap memiliki paspor negara itu,” jelas Asep.

Kasus korupsi e-KTP merupakan salah satu skandal korupsi terbesar di Indonesia, dengan kerugian negara mencapai Rp 2,3 triliun.

Beberapa tokoh politik dan pejabat telah dipidana, sementara Tannos menjadi salah satu tersangka penting yang masih berupaya menghindari jerat hukum di Indonesia.

(ameera/arrahmah.id)