GAZA (Arrahmah.id) – Para pakar militer dan strategi sepakat bahwa terdapat perbedaan mendasar antara level politik dan militer ‘Israel’ terkait pengelolaan operasi di Jalur Gaza. Perbedaan itu semakin terlihat jelas seiring meningkatnya tantangan operasional dan strategis yang dihadapi pasukan pendudukan.
Saluran TV ‘Israel’ Channel 13 melaporkan adanya ketegangan dalam rapat kabinet keamanan (kabinett) pada Ahad malam lalu (31/8/2025). Di sana, Kepala Staf Eyal Zamir melontarkan kritik tajam dan penuh amarah kepada Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, yang saat ini berstatus buron Mahkamah Pidana Internasional, serta sejumlah menteri.
Zamir mendesak para menteri agar mempertimbangkan tawaran gencatan senjata yang sudah disetujui Hamas. Ia memperingatkan bahwa keputusan untuk merebut Gaza sepenuhnya hanya akan berujung pada pendudukan militer total, yang otomatis membuat ‘Israel’ harus menanggung beban penuh atas dua juta lebih penduduk di sana.
Lima Titik Perselisihan
Menurut akademisi sekaligus pakar urusan ‘Israel’, Dr. Muhannad Mustafa, ada lima poros utama perbedaan pandangan antara militer dan politisi:
-
Biaya perang
Militer menyadari betapa mahal harga yang harus dibayar, baik dalam hal korban maupun sumber daya. Namun, politisi seolah menutup mata terhadap hal ini. -
Waktu operasi
Menurut kalkulasi militer, operasi di Gaza akan berlangsung berbulan-bulan, bahkan diperkirakan butuh delapan bulan hanya untuk menaklukkan Kota Gaza. Sementara Netanyahu menuntut hasil cepat, mengikuti desakan Presiden AS Donald Trump. -
Absennya visi politik
Militer khawatir, setelah Gaza jatuh, tidak ada rencana politik yang jelas. Itu berarti pasukan ‘Israel’ harus mengelola Gaza di bawah pemerintahan militer, sebuah skenario yang ditolak mentah-mentah oleh para jenderal. -
Nasib tawanan ‘Israel’
Ada kekhawatiran besar bahwa operasi akan menyebabkan tewasnya tawanan ‘Israel’ di Gaza, isu yang tidak dianggap penting oleh kalangan politik. -
Siapa bertanggung jawab
Militer merasa harus mempertanggungjawabkan hasil operasi di mata publik ‘Israel’. Sebaliknya, Netanyahu cenderung menghindar dari segala bentuk tanggung jawab atas potensi kegagalan.
Bayang-Bayang Kegagalan
Pakar militer Jenderal Fayez al-Duwairi menekankan bahwa kegelisahan militer sebenarnya bersumber dari rekam jejak kegagalan operasi sebelumnya. Dalam setahun terakhir saja, ‘Israel’ sudah meluncurkan tiga operasi besar: Rencana Para Jenderal, Gideon 1, dan kini Gideon 2. Semuanya gagal mencapai tujuan.
Selain itu, operasi terbaru dibayangi banyak kendala. Ribuan tentara cadangan menolak ikut serta, bahkan ada yang lebih memilih dipenjara ketimbang dikirim ke Gaza. Sementara itu, korps teknik militer mengalami kekurangan parah, khususnya kendaraan lapis baja dan buldoser, hingga 60% dari kebutuhan.
Di pihak lain, Brigade al-Qassam, sayap militer Hamas, mengumumkan dimulainya rangkaian operasi baru bertajuk “Asa Musa” (Tongkat Musa), sebagai respons atas serangan Gideon 2.
Namun, Duwairi mengkritik keras kepemimpinan Zamir, menilai ia gagal memanfaatkan lima poin perselisihan utama dengan politisi sebagai senjata untuk menegakkan pendapatnya. Ia membandingkan Zamir dengan mantan Kepala Staf Yitzhak Rabin, yang pada masanya bisa menundukkan Perdana Menteri Golda Meir dalam momen-momen genting.
Arah “Hari Berikutnya”
Di balik operasi militer, diskusi tentang “hari setelah Gaza” semakin terbuka. Trump pernah menyebut rencananya menjadikan Gaza sebagai “Riviera Timur Tengah.” Saat ini, salah satu skenario yang beredar adalah mendirikan 100 ribu tenda di selatan Gaza sebagai langkah awal menuju pengusiran massal. Netanyahu bahkan dilaporkan sudah menugaskan Mossad untuk mencari negara-negara yang bersedia menerima warga Palestina dalam jumlah besar. Semua ini dibungkus dalam gagasan lama tentang “Israel Raya” dari Sungai Nil hingga Sungai Efrat.
Peneliti urusan internasional, Hossam Shaker, menambahkan bahwa kegelisahan di tubuh militer ‘Israel’ semakin nyata. Banyak tentara cadangan lebih memilih mendekam di penjara daripada menjadi bagian dari agresi brutal terhadap Kota Gaza. Menurut Shaker, ini bisa menjadi tanda awal kesadaran moral di sebagian kalangan militer tentang kebiadaban misi yang diperintahkan pada mereka. (zarahamala/arrahmah.id)