1. Rubrik
  2. Artikel

Rencana Trump dan Netanyahu di Suriah: Menguasai Jantung Dunia

Oleh Dr. Sami Al-Arian Profesor urusan publik dan Direktur Pusat Studi Islam dan Urusan Global di Universitas Sabahattin Zaim, Istanbul, Turki.
Jum, 25 Juli 2025 / 30 Muharram 1447 15:46
Rencana Trump dan Netanyahu di Suriah: Menguasai Jantung Dunia
Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Perdana Menteri "Israel" Benjamin Netanyahu (Reuters)

 (Arrahmah.id) – Sejak pecahnya revolusi Suriah tahun 2011, Amerika Serikat dan “Israel” menjalankan agenda yang saling tumpang tindih namun berbeda arah di Suriah, didorong oleh tujuan strategis jangka panjang, persaingan regional, dan dinamika geopolitik yang terus berubah.

Di balik tumpang tindih tersebut, tersembunyi proyek besar: melemahkan Suriah sebagai negara yang bersatu dan berdaulat, serta memastikan bahwa tidak ada kekuatan regional maupun global yang mampu menantang dominasi Amerika-“Israel” di kawasan Timur Tengah.

Jika Amerika mengutamakan dominasi geopolitik dan perlindungan kepentingan energi serta keamanannya, maka “Israel” justru mengincar penghancuran Suriah menjadi entitas-entitas sektarian dan etnis. Hal ini merupakan bagian dari strategi lama yang bertujuan memecah dunia Arab dan mengukuhkan hegemoninya.

Strategi Lama “Israel” dalam Memecah Suriah

Pendekatan “Israel” terhadap Suriah dan kawasan Arab bukanlah hal baru. Akar strategi ini dapat ditelusuri ke dokumen-dokumen internal “Israel” dari tahun 1950-an, termasuk dari Kementerian Luar Negeri dan dinas intelijen Mossad, yang menyerukan pembentukan negara Kurdi sebagai penghalang terhadap gelombang nasionalisme Arab yang saat itu sedang menguat.

Gagasan tersebut kemudian dirumuskan secara lebih sistematis dalam “Rencana Yinon” pada tahun 1982, yang ditulis oleh Oded Yinon, seorang pejabat Kemenlu “Israel”. Rencana ini menyerukan “pembubaran Suriah menjadi wilayah-wilayah berbasis agama dan etnis… karena Suriah dianggap sebagai ancaman terbesar bagi ‘Israel’ dalam jangka panjang, khususnya dari arah timur… oleh karena itu, harus dipecah menjadi beberapa negara berdasarkan struktur sektarian dan etnisnya.”

Menurut Rencana Yinon, keamanan dan dominasi “Israel” hanya dapat terjamin jika negara-negara Arab yang kuat dipecah menjadi entitas kecil berbasis agama atau etnis—seperti Druze, Alawi, Kurdi, Maronit, dan Koptik—yang tidak lagi mampu mengancam keamanan “Israel”, bahkan dapat dijadikan sekutu atau wilayah protektoratnya.

Dalam konteks Suriah, strategi ini meliputi pembagian wilayah ke dalam empat zona utama kekuasaan:

  1. Negara Druze, berpusat di Provinsi Suwaida (Selatan Suriah), yang diharapkan oleh “Israel” menjadi entitas sekutu.
  2. Negara Alawi, di wilayah pesisir (Latakia dan Tartus), berada di bawah perlindungan Rusia.
  3. Wilayah Kurdi, di timur laut Suriah, di bawah dukungan Amerika Serikat dan dikendalikan oleh pasukan SDF yang didominasi PYD/YPG.
  4. Sabuk Sunni Arab, di bawah pengaruh Turki, mencakup perbatasan utara dan tengah Suriah.

Tujuan dari pembagian ini adalah menjadikan Suriah lemah, terfragmentasi, dan tidak lagi mampu berperan sebagai pendukung perlawanan terhadap penjajahan Palestina ataupun penentang ekspansi “Israel”.

Pembantaian Infrastruktur Militer Suriah

Sejak 2013, “Israel” melancarkan ratusan serangan udara ke Suriah dengan dalih menghantam pos Iran dan Hizbullah. Sejak 7 Oktober 2023, serangan tersebut semakin ditingkatkan dan menargetkan para pemimpin Iran dan Hizbullah yang berada di Suriah.

Serangan-serangan ini telah menghancurkan sistem pertahanan udara Suriah, gudang senjata, pangkalan militer, dan pusat-pusat penelitian strategis. Tujuannya jelas: mencegah Suriah membangun kembali kemampuan militernya, serta memaksakan dominasi psikologis dan militer permanen “Israel” di kawasan.

Setelah kejatuhan rezim Bashar Assad pada Desember 2024, serangan “Israel” meningkat drastis hingga mencaplok lebih dari 400 kilometer persegi wilayah Suriah, selain Dataran Tinggi Golan yang telah lama didudukinya.

Pascaserangan 7 Oktober: Peta Baru Timur Tengah

Serangan besar pada 7 Oktober terhadap “Israel” dan balasan brutal yang direspons dengan genosida di Gaza telah mengguncang doktrin pertahanan “Israel”.

Sebagai balasan, “Israel” memperluas operasi militer ke seluruh poros perlawanan—Hamas, Jihad Islam, Hizbullah, dan sekutunya di Lebanon, Suriah, Irak, Yaman, dan Iran. Para pemimpinnya menyatakan bahwa ini adalah “kesempatan emas untuk menggambar ulang wilayah”, menghancurkan musuh, dan membentuk ulang aturan konfrontasi.

Dalam konteks ini, Suriah kembali menjadi sasaran utama, dengan pemboman terhadap Damaskus, Homs, dan Suwaida. Semua ini dilakukan demi mencegah Suriah menjadi basis baru bagi perlawanan, sambil memanfaatkan kekacauan regional untuk mempercepat proyek pemecahan negara.

Kebijakan ini disertai strategi kelaparan massal di Gaza, pengusiran paksa penduduk, dan pembunuhan para komandan Hizbullah untuk menambah instabilitas regional.

Agenda Amerika: Dominasi Lewat Kekacauan Terkontrol

Strategi AS di Suriah sejalan dengan prinsip geopolitiknya sejak era pasca-Perang Dingin: mencegah munculnya kekuatan yang mampu menandingi dominasi globalnya.

Sejak era Hafez al-Assad, Suriah dipandang AS sebagai sekutu Soviet dan pendukung perlawanan terhadap penjajahan “Israel”. Pasca invasi Irak 2003, AS berusaha mengisolasi Suriah dari pengaruh kawasan.

Sejak 2011, AS menjalankan kebijakan “intervensi selektif” di Suriah: mendukung milisi Kurdi di timur laut dengan dalih memerangi ekstremisme dan membendung Iran, sembari membiarkan “Israel” menyerang fasilitas militer Suriah.

Tujuan utama AS bukan membagi Suriah secara sektarian seperti “Israel”, melainkan mempertahankan kehadiran jangka panjang, mencegah dominasi Rusia dan Iran di Mediterania Timur, dan memastikan setiap pemerintahan Suriah ke depan tunduk pada kepentingan Washington.

Ketegangan di Suwaida: Ambisi “Israel” di Kawasan Druze

Ketegangan yang meningkat di Suwaida—wilayah mayoritas Druze di selatan Suriah—telah menarik perhatian besar “Israel”, yang ingin membentuk entitas sekutu di wilayah utara.

Laporan menunjukkan keterlibatan kelompok Druze yang pro-“Israel” dalam menggerakkan kerusuhan, memanfaatkan krisis ekonomi dan sosial. Meski AS menyerukan de-eskalasi dan menghormati kedaulatan Suriah, ia enggan mengecam campur tangan “Israel”.

Hal ini sejalan dengan “Rencana Yinon”: membentuk aliansi dengan kelompok minoritas seperti Druze yang mungkin lebih memilih otonomi di bawah perlindungan “Israel”. Namun banyak kalangan Druze tetap menolak intervensi asing dan menegaskan kesetiaan pada negara Suriah.

Perbedaan Pendekatan AS-“Israel” Soal Wilayah Druze

Sementara “Israel” berupaya membentuk negara Druze di selatan Suriah, AS lebih berhati-hati. Washington khawatir dukungan terbuka terhadap proyek ini dapat memicu gejolak di Yordania, Lebanon, dan bahkan komunitas Druze dalam wilayah pendudukan “Israel”.

AS juga khawatir bahwa pemecahan Suriah justru akan memperkuat kelompok ekstremis atau membuka ruang lebih luas bagi pengaruh Rusia dan Iran.

Karena itu, Washington lebih memilih Suriah yang terfragmentasi namun tidak sepenuhnya runtuh—cukup untuk mempertahankan pengaruhnya, tanpa menciptakan kekacauan total. Sedangkan bagi “Israel”, kekacauan itu justru peluang emas untuk menghapus ancaman Suriah selamanya.

Peran Sentral Turki: Penyeimbang Baru?

Turki memainkan peran strategis dalam peta baru Suriah. Setelah gagal menggulingkan Assad melalui dukungan terhadap oposisi dan kelompok bersenjata, Ankara kini fokus mencegah berdirinya negara Kurdi di perbatasan selatan.

Pasukan Turki masuk ke wilayah utara Suriah, mendukung milisi Arab dan Turkmen Suriah guna membatasi ekspansi Kurdi. Sejak kejatuhan Assad, Turki justru menjadi pendukung utama pemerintahan transisi Suriah.

Kebijakan Turki berseberangan dengan AS dan “Israel”, yang mendukung separatis Kurdi dan Druze. Ankara menganggap proyek otonomi Kurdi sebagai ancaman serius terhadap keamanan dan integritas nasionalnya.

Menteri Luar Negeri Turki, Hakan Fidan, dengan tegas menyatakan: “Turki akan bertindak melawan siapa pun yang mencoba memecah Suriah atau memberi otonomi pada kelompok bersenjata. Kami memperingatkan semua pihak: jangan terlibat dalam proyek pemecahan.”

Siapa yang Menguasai Suriah, Menguasai Dunia?

Mengutip Halford Mackinder, bapak geopolitik Inggris: “Siapa yang menguasai Eropa Timur menguasai jantung dunia; siapa yang menguasai jantung dunia menguasai pulau dunia; dan siapa yang menguasai pulau dunia menguasai dunia.”

Begitu pula dengan Suriah yang berada di jantung dunia Arab, mengontrol jalur perdagangan dan dinamika aliansi regional. Bagi kekuatan besar, siapa pun yang menguasai Suriah, atau sebagian besarnya, akan mampu membentuk ulang Timur Tengah.

AS dan “Israel” pun menjalankan peran masing-masing. Bagi Washington, Suriah adalah papan catur demi membendung musuh, menjaga kekuasaan atas petrodolar, dan menjamin dominasi sekutunya tanpa tenggelam dalam kekacauan.

Sementara bagi “Israel”, Suriah adalah ancaman eksistensial yang harus dipecah belah dan dijadikan mozaik kecil dari negara-negara lemah.

Namun korban sejati dari proyek ini adalah rakyat Suriah—yang terus menderita di tengah keruntuhan kedaulatan nasional Arab dan potensi pecahnya perang regional yang lebih luas.

Jika kekuatan regional, khususnya Turki, Iran, dan negara-negara Arab utama, tidak menyusun respons kolektif, maka skenario terburuk dapat menjadi kenyataan: pembubaran Suriah secara permanen, demi mewujudkan rencana lama Zionis dalam membentuk Timur Tengah yang terpecah, lemah, dan tunduk.


Catatan: Artikel opini ini diterjemahkan dari Aljazeera Arabic, berjudul خطة ترامب ونتنياهو في سوريا والسيطرة على قلب العالم (Khiththatu Tramp wa Netanyahu fi Suriyya wa As-Saytharatu ‘ala Qalbi Al-‘Alam), yang berarti: Rencana Trump dan Netanyahu di Suriah: Menguasai Jantung Dunia.

(*/arrahmah.id)

Editor: Samir Musa