GAZA (Arrahmah.id) – Kabinet Keamanan ‘Israel’ dikabarkan menggelar rapat pada Kamis (7/8/2025) untuk membahas proposal reokupasi penuh Jalur Gaza, sebuah rencana yang didorong Perdana Menteri Benjamin Netanyahu namun memicu perpecahan tajam antara kepemimpinan politik dan militer, lapor media ‘Israel’.
Rencana tersebut, yang disebut sebagai strategi operasional pilihan Netanyahu, mendapat tekanan kuat dari menteri-menteri sayap kanan dalam koalisi, termasuk Menteri Keuangan Bezalel Smotrich, Menteri Permukiman Orit Strock, dan Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir.
Harian Maariv melaporkan, militer akan mempresentasikan kajian yang memperkirakan biaya dan konsekuensi operasi tersebut. Sumber-sumber militer memperingatkan, perluasan operasi ke seluruh Gaza berisiko menewaskan sebagian besar tawanan ‘Israel’ yang ditahan kelompok Palestina, baik oleh penyandera maupun akibat serangan udara sendiri.
Militer memperkirakan kampanye darat merebut seluruh wilayah Gaza akan memakan waktu setidaknya tiga bulan, termasuk menghancurkan jaringan terowongan Hamas, sebelum menerapkan pemerintahan militer langsung atas sekitar 2,5 juta warga Palestina. Intelijen Israel menilai wilayah itu padat ranjau dan jebakan, dengan potensi perlawanan perkotaan yang sengit.
Kepala Staf Eyal Zamir menolak keras rencana tersebut, menyebutnya sebagai “jebakan strategis” yang bisa menyeret militer selama bertahun-tahun. Ia mengusulkan strategi pengepungan wilayah tertentu di Gaza untuk menekan Hamas dan membebaskan tawanan tanpa invasi penuh.
Sementara itu, harian ekonomi Calcalist memperingatkan reokupasi bukanlah strategi militer, melainkan “pertaruhan sejarah” yang berisiko menjadi kesalahan termahal ‘Israel’. Studi Institut Studi Keamanan Nasional memperkirakan biaya tahunan reokupasi mencapai 16–18 miliar shekel (sekitar USD 4,5–5 miliar), menuntut pengerahan beberapa divisi militer, logistik besar-besaran, dan kontrol jangka panjang atas penduduk Gaza.
Pemerintah berpotensi menghadapi pemotongan belanja sipil atau kenaikan pajak besar, sementara dukungan internasional terhadap ‘Israel’ telah menurun tajam akibat tingginya korban sipil di Gaza. Calcalist juga menilai langkah ini dapat memicu penyelidikan Mahkamah Pidana Internasional serta membandingkannya dengan keterjebakan AS di Irak pasca-2003.
Baik militer maupun Kementerian Keuangan ‘Israel’ dilaporkan menentang rencana ini, namun tekanan politik dari sayap kanan tetap kuat. Beberapa pejabat memperingatkan, Gaza bisa menjadi “Vietnam-nya Israel” jika rencana itu dijalankan. (zarahamala/arrahmah.id)