TEPI BARAT (Arrahmah.id) – ‘Israel’ telah memberikan persetujuan akhir untuk proyek permukiman yang disebut “sangat kontroversial”, yang diperkirakan akan membelah Tepi Barat yang diduduki dan mengisolasi Yerusalem Timur, menurut laporan media ‘Israel’.
Komite Perencanaan Tinggi Administrasi Sipil, lembaga di bawah Kementerian Pertahanan ‘Israel’, menyetujui proyek E1 yang mencakup pembangunan lebih dari 3.400 unit rumah bagi pemukim antara Yerusalem dan permukiman Ma’ale Adumim di Tepi Barat, demikian dilaporkan Times of Israel mengutip kantor berita Anadolu.
Proyek ini bertujuan memisahkan Tepi Barat menjadi dua bagian, memutus kota-kota di utara seperti Ramallah dan Nablus dari Bethlehem dan Hebron di selatan, sekaligus mengisolasi Yerusalem Timur.
Smotrich Sebut Keputusan “Sejarah”
Menteri Keuangan sayap kanan jauh, Bezalel Smotrich, yang minggu lalu mendukung rencana tersebut, menyebut keputusan ini sebagai langkah “bersejarah”. Menurutnya, keputusan ini “merupakan langkah signifikan yang secara praktis menghapus ilusi solusi dua negara dan memperkuat cengkeraman bangsa Yahudi atas jantung Tanah ‘Israel’.”
Smotrich menambahkan, “Negara Palestina dihapus dari meja bukan dengan slogan, tapi dengan tindakan nyata. Setiap permukiman, setiap lingkungan, setiap unit rumah adalah paku tambahan di peti mati ide berbahaya itu.”
Menurut harian Yedioth Ahronoth, Subkomite Permukiman Administrasi Sipil juga telah mendorong rencana pembangunan 342 unit tambahan di permukiman Asahel, yang terletak antara Hebron Timur dan Barat.
Kelompok hak asasi ‘Israel’, Peace Now, menggambarkan proyek permukiman E1 sebagai “pukulan telak” bagi solusi dua negara. Mereka memperingatkan bahwa proyek ini akan membelah Tepi Barat dan semakin mengisolasi Yerusalem Timur.
“Rencana E1 adalah salah satu yang paling berbahaya bagi masa depan kedua bangsa dan kawasan secara keseluruhan. Dengan terus memaksakan proyek ini, pemerintah ‘Israel’ sedang menggagalkan setiap kemungkinan solusi politik dan menyeret baik ‘Israel’ maupun Palestina ke dalam lingkaran konflik tanpa akhir,” kata pernyataan kelompok itu.
Pengamat menilai dorongan baru terhadap proyek ini muncul sebagai respons atas pengumuman sejumlah negara, termasuk Inggris, Prancis, dan Australia, yang berniat mengakui negara Palestina pada sidang Majelis Umum PBB bulan September mendatang.
Komunitas internasional, termasuk PBB, menganggap permukiman ‘Israel’ ilegal menurut hukum internasional. PBB berulang kali memperingatkan bahwa ekspansi permukiman mengancam keberlangsungan solusi dua negara, kerangka yang dipandang sebagai kunci persoalan ‘Israel’-Palestina yang telah berlangsung selama puluhan tahun.
Ekspansi Permukiman Sejak 1967
Menurut Komisi Perlawanan terhadap Kolonisasi dan Tembok Palestina, sejak 1967 ‘Israel’ telah membangun sedikitnya 710 permukiman dan pos militer di Tepi Barat yang diduduki, rata-rata satu permukiman setiap 8 kilometer persegi.
Sejak ‘Israel’ memulai serangan genosida di Gaza pada Oktober 2023, sedikitnya 1.014 warga Palestina telah terbunuh dan lebih dari 7.000 terluka di Tepi Barat oleh pasukan ‘Israel’ dan pemukim ilegal, menurut Kementerian Kesehatan Palestina.
Dalam pendapat penasehat yang dikeluarkan Juli lalu, Mahkamah Internasional (ICJ) menyatakan bahwa keberadaan ‘Israel’ yang berkelanjutan di wilayah pendudukan Palestina adalah ilegal dan harus segera diakhiri “secepat mungkin”.
Mahkamah juga menegaskan bahwa semua negara “berkewajiban untuk tidak mengakui legalitas situasi yang timbul dari keberadaan ‘Israel ‘yang tidak sah di wilayah Palestina yang diduduki, serta tidak memberikan bantuan apa pun untuk mempertahankan keadaan tersebut.” (zarahamala/arrahmah.id)