1. Opini

Perdagangan Bayi Kembali Terkuak, di Mana Peran Negara?

Oleh Reni Rosmawati Pegiat Literasi
Rabu, 30 Juli 2025 / 5 Safar 1447 17:14
Perdagangan Bayi Kembali Terkuak, di Mana Peran Negara?
Ilustrasi. (Foto: jogja.polri.go.id)

Kasus perdagangan bayi lintas negara kembali terkuak dan menggegerkan negeri ini, khususnya warga Jawa Barat. Berdasarkan keterangan Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Jabar, setidaknya ada 24 bayi dari berbagai wilayah di Jawa Barat yang dijual ke Singapura oleh sindikat jual beli bayi dengan modus adopsi. Rata-rata bayi tersebut berusia 2-3 bulan, bahkan beberapa di antaranya dipesan ketika masih dalam kandungan dan dijual dengan harga berkisar antara Rp11 juta hingga Rp16 juta.

Ada 16 tersangka yang berhasil diidentifikasi polisi. Dari jumlah itu, 13 pelaku telah ditangkap (12 perempuan, 1 laki-laki), beberapa di antaranya merupakan lansia berusia di atas 50 tahun. Para pelaku tersebut memiliki peranan masing-masing, seperti AHA (perempuan 59), ia berperan mencarikan orang tua, membuat dokumen palsu dan paspor agar memudahkan akses bayi masuk ke Singapura. Adapun AK (perempuan 58) dan DFK (perempuan 52) berperan sebagai pengasuh bayi serta pengantar bayi dari Jakarta ke Kalimantan, dan lalu ke Singapura. Sementara dalang utama dan pengendali sindikat perdagangan bayi L.S (perempuan 69) hingga kini masih buronan (DPO). (Kompas.com, 17/7/2025)

Menanggapi ini, Anggota Komisi ll DPR RI Muhammad Khozin menduga adanya keterlibatan pegawai Dukcapil dalam sindikat perdagangan bayi di Bandung. Ia meminta Kemendagri (Kementerian dalam Negeri) untuk segera mengaudit para pegawai Dukcapil dan melakukan pengawasan ketat di instansi tersebut. Menurutnya bukan kali ini pegawai Dukcapil terlibat dalam kasus perdagangan bayi, dan ini merupakan pelanggaran fatal terhadap Pasal 7 UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan dalam hal manipulasi data penduduk. (Media Indonesia, 18/7/2025)

Persoalan Sistemik

Perdagangan orang di negeri ini memang bukan persoalan baru. Dari data yang dirilis Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KemenPPPA) tampak bahwa TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang) khususnya anak-anak masih tinggi yakni 1.265 kasus terhitung dari 2020-2024. Sedangkan untuk kasus penculikan, perdagangan, dan penjualan bayi sepanjang periode 2021-2024, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPPI) mencatat ada 155 kasus yang terjadi, dengan motif yang beragama terutama ekonomi dan akibat pergaulan bebas. (Databoks.co.id, 19/6/2025)

Kenyataan ini jelas bencana besar bagi Indonesia. Pemerintah harus segera bertindak agar TPPO khususnya pada anak-anak dan bayi dapat segera diberantas. Sebenarnya TPPO memiliki banyak faktor yang mendasarinya, seperti: ketakwaan di sisi individu, masyarakat, dan negara yang minim; kemiskinan sistemis dan sulitnya mencari kerja; membudayanya pergaulan bebas disertai tontonan kebarat-baratan yang kian marak merusak pemikiran; serta lemahnya institusi negara sebagai kontroling masyarakat termasuk dalam mengawasi tontonan dan memberikan sanksi yang tegas bagi pelaku kejahatan.

Tentu diperlukan peran sentral dari negara agar mata rantai faktor-faktor tersebut bisa diputus. Dimulai dari membebani perekonomian dan menghilangkan kemiskinan, sebab biasanya kedua faktor tersebutlah yang senantiasa berkaitan dengan kejahatan. Dalam hal ini negara bisa melakukan pengelolaan SDA secara mandiri oleh negara, dengan begitu maka akan terbuka lapangan pekerjaan yang luas sehingga para kepala keluarga dapat bekerja dan memenuhi kebutuhan keluarganya.

Negara juga harus memperkuat pemahaman agama (Islam) di sisi individu maupun masyarakat. Sehingga masyarakat memiliki pemahaman agama yang benar dan paham bahwa bagi anak sangatlah penting memiliki nasab/garis keturunan yang jelas. Di sisi lain negara harus mengawasi ketat berbagai tayangan di media, serta memberikan sanksi tegas bagi pelaku kejahatan, bukan hanya kurungan penjara tapi dibarengi tindakan lainnya yang bisa bersifat memberikan efek jera dan pencegahan. Ini bisa mencontoh kepada sistem sanksi dalam Islam.

Sayangnya, semua itu akan sulit diwujudkan jika negara masih berpedoman pada sistem kapitalisme sekuler. Karena kapitalismelah muara dari munculnya masalah TPPO, maupun kejahatan lainnya. Kemiskinan terstruktur adalah hasil dari arah politik sistem ekonomi berbasis kapitalisme yang meniscayakan para kapital sebagai pemeran dan pengendali sektor ekonomi dari hulu hingga hilir. Sementara negara hanya sebatas regulator dan fasilitator yang memuluskan langkah para kapital tersebut melalui pengesahan undang-undang. Alhasil kita dapati 94,8% kekayaan alam negeri ini dikuasai oleh oligarki, dan 10% orang terkaya di Indonesia menguasai 75,3% total kekayaan bangsa ini. Imbasnya terjadilah berbagai tindak kejahatan termasuk penjualan bayi.

Kapitalisme pun melahirkan budaya segala bebas dan kebarat-baratan karena agama dipinggirkan dari kehidupan. Ini diperparah dengan maraknya berbagai tayangan yang merusak tanpa saringan dari negara. Malah, para pegawai negara yang semestinya menjadi pihak penjaga dan pelindung masyarakat, justru turut andil dalam tindak kejahatan.

Islam Solusi Tuntas Atasi TPPO

Dalam pandangan Islam, negara memiliki tanggung jawab berlapis dalam melindungi dan memperhatikan anak-anak maupun manusia pada umumnya. Perlindungan tersebut mencakup fisik, nasab, karakter, maupun nyawa. Ini karena Islam adalah satu-satunya agamanya yang memberikan penghormatan tinggi terhadap darah dan jiwa manusia. Dalam nash Al-Qur’an dan hadis banyak dijelaskan betapa bagi Allah darah, nyawa, dan kehormatan seorang muslim lebih berharga bagi-Nya daripada dunia dan seisinya.

Firman Allah Swt: “….Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, dia ibarat memelihara kehidupan seluruh manusia….(QS. Al-Maida: 32)

Rasulullah saw bersabda: “Kehilangan dunia lebih ringan di sisi Allah, daripada kematian seorang mukmin tanpa hak. (HR. An-Nasai dan Tirmidzi)

Karenanya memperjual belikan manusia adalah haram. Islam akan menempuh beberapa mekanisme untuk mencegah tindakan TPPO, seperti: Pertama, menetapkan bahwa peran negara adalah pelindung rakyat sepenuhnya. Negara wajib menerapkan sistem pendidikan berbasis Islam sejak dini kepada generasi. Di samping itu, para calon ayah dan ibu akan dibimbing oleh negara agar paham tentang hakikat nasab. Ini penting, karena nasab sebagai penentu terpenuhinya hak dan kewajiban serta dapat memperkuat identitas dan karakter manusia.

Kedua, menjamin kesejahteraan dan semua kebutuhan dasar rakyatnya tanpa kecuali. Ini akan diwujudkan negara dengan membuka lapangan pekerjaan yang luas juga melakukan pengelolaan terhadap SDA secara mandiri agar hasilnya bisa dinikmati rakyat.

Ketiga, menerapkan hukuman yang berat dan menjerakan bagi para pelaku kejahatan. Dalam hal TPPO, karena termasuk kejahatan bersifat sosial dan merusak nasab manusia, maka sanksinya adalah ta’zir yang kadarnya telah ditetapkan negara. Sanksi ini akan dijatuhkan sesuai keterlibatan dan kejahatan yang dilakukan. Dalam Kitab Nizhamul Uqubat dijelaskan sanksi bagi orang yang membawa/melarikan orang lain dengan tipu muslihat/paksaan selama 3 hari tanpa disertai penyiksaan adalah penjara 5 tahun. Jika disertai penyiksaan maka 15 tahun penjara berikut jilid dan pengasingan.

Wallahu a’lam bis shawwab

Editor: Hanin Mazaya