1. News
  2. Teknologi

Perang Algoritma Dimulai: Saat Kecerdasan Buatan Menjadi Senjata Global

Samir Musa
Rab, 30 Juli 2025 / 5 Safar 1447 18:24
Perang Algoritma Dimulai: Saat Kecerdasan Buatan Menjadi Senjata Global
Konsep kecerdasan buatan dan perancangan sirkuit motherboard untuk menganalisis jaringan data masa depan (Shutterstock)

(Arrahmah. Id) — Dalam momen yang menandai babak baru di panggung teknologi global, peluncuran model bahasa besar oleh perusahaan Tiongkok “DeepSeek” — yang disebut-sebut sebagai salah satu yang terbaik di dunia — bertepatan dengan pelantikan kembali Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat, telah membunyikan lonceng peringatan di kalangan intelijen AS.

Trump sendiri menyebut peristiwa tersebut sebagai “alarm bahaya”, sementara Wakil Ketua Komite Intelijen Senat AS, Mark Warner, mengakui bahwa komunitas intelijen AS “terkejut” dengan laju kemajuan Tiongkok, menurut laporan The Economist.

Tahun lalu, pemerintahan Presiden AS sebelumnya, Joe Biden, menyatakan kekhawatirannya akan potensi dominasi Tiongkok dalam adopsi cepat kecerdasan buatan (AI), baik oleh aparat militer maupun intelijen. Sebagai respons, Washington meluncurkan rencana darurat untuk memperkuat pemanfaatan AI dalam bidang militer dan intelijen.

Laporan The Economist menyebutkan bahwa rencana tersebut mencakup instruksi kepada Departemen Pertahanan (Pentagon), badan-badan intelijen, dan Departemen Energi (yang juga bertanggung jawab atas produksi senjata nuklir) untuk mempercepat eksperimen dengan model-model AI terbaru, serta memperkuat kolaborasi dengan laboratorium swasta terkemuka seperti Anthropic, Google DeepMind, dan OpenAI.

Perlombaan Terbuka

Langkah nyata dari rencana tersebut terlihat pada 14 Juli lalu, saat Pentagon memberikan kontrak senilai total 200 juta dolar kepada perusahaan-perusahaan tersebut, termasuk “xAI” milik Elon Musk. Tujuannya adalah mengembangkan model AI “agen cerdas” yang mampu mengambil keputusan, belajar dari interaksi, serta melaksanakan berbagai tugas kompleks secara otomatis — termasuk mengendalikan perangkat seperti komputer atau kendaraan.

Namun, menurut The Economist, perlombaan ini bukan hanya milik Pentagon. Model-model AI kini menyebar luas di kalangan badan intelijen, digunakan untuk menganalisis data rahasia dan menangani informasi sensitif.

Sejumlah perusahaan bahkan telah mengembangkan versi khusus dari model AI mereka yang dapat memproses dokumen rahasia, menguasai bahasa dan dialek kritis bagi kebutuhan intelijen, serta dijalankan di server yang terisolasi dari internet publik.

Pada Januari lalu, Microsoft mengumumkan bahwa 26 produk cloud computing miliknya telah mendapatkan izin untuk digunakan oleh badan intelijen AS. Kemudian pada Juni, Anthropic meluncurkan model “Claude Gov”, chatbot yang dirancang khusus untuk kebutuhan militer dan intelijen AS, dan kini telah digunakan secara luas di berbagai lembaga intelijen AS, bersama dengan model dari laboratorium lainnya.

Para Pesaing Lain

Amerika Serikat bukan satu-satunya yang bergerak ke arah ini. Inggris juga berupaya mengejar ketertinggalan. Seorang sumber senior Inggris yang dikutip The Economist menyatakan bahwa semua anggota komunitas intelijen negara itu kini memiliki akses ke “model bahasa besar yang sangat rahasia”.

Di Eropa daratan, perusahaan AI terkemuka asal Prancis, Mistral, bekerja sama dengan badan intelijen militer negara itu untuk mengembangkan model “Saba”, yang dilatih menggunakan data dari kawasan Timur Tengah dan Asia Selatan, serta memiliki keunggulan dalam bahasa Arab dan sejumlah bahasa daerah lainnya seperti Tamil.

Sementara itu, di “Israel”, majalah +972 melaporkan bahwa penggunaan model GPT-4 oleh militer telah meningkat 20 kali lipat sejak dimulainya agresi ke Jalur Gaza — mencerminkan percepatan adopsi AI dalam konteks militer aktif.

Meski aktivitas terlihat sangat intens, sejumlah pakar menyatakan bahwa adopsi AI di kalangan aparat keamanan masih tergolong lambat. Katrina Mulligan, pejabat kemitraan keamanan di OpenAI, mengakui bahwa pemanfaatan AI “belum mencapai level yang diharapkan”.

Bahkan dengan adanya lembaga yang relatif maju seperti Badan Keamanan Nasional AS (NSA), banyak lembaga lainnya masih tertinggal — baik karena mereka merancang antarmuka sendiri, atau karena kewaspadaan birokratis terhadap perubahan cepat pada model-model AI umum.

Beberapa pakar menyatakan bahwa transformasi sejati tidak cukup hanya dengan mengintegrasikan chatbot, tapi harus melibatkan “rekayasa ulang terhadap keseluruhan pekerjaan intelijen”, sebagaimana dikatakan oleh Tarun Chhabra, mantan pejabat Dewan Keamanan Nasional AS dan kini Direktur Kebijakan Keamanan di Anthropic.

Permainan Spionase Berbasis AI

Di sisi lain, sejumlah lembaga riset memperingatkan terhadap ekspektasi berlebihan terhadap AI. Dr. Richard Carter dari Institut Alan Turing Inggris mengatakan bahwa masalah utama dari model AI saat ini adalah “halusinasi” — yaitu keluaran yang tidak akurat atau menyesatkan — yang sangat berbahaya dalam dunia intelijen yang menuntut akurasi mutlak.

Model “agen cerdas” terbaru dari OpenAI, misalnya, memiliki tingkat halusinasi sekitar 8% — lebih tinggi dari model sebelumnya. Kekhawatiran semacam ini menjadi faktor kehati-hatian lembaga-lembaga seperti GCHQ (Dinas Intelijen dan Keamanan Inggris), yang dikenal sangat skeptis terhadap teknologi baru yang belum teruji.

Ini terkait pula dengan perdebatan lebih luas tentang masa depan AI. Dr. Carter termasuk yang percaya bahwa struktur model bahasa saat ini tidak cocok untuk pemikiran kausal (sebab-akibat) yang menjadi dasar pemahaman mendalam terhadap dunia nyata. Menurutnya, prioritas intelijen seharusnya mendorong pengembangan model AI baru dengan pendekatan berpikir dan penalaran berbeda.

Kecemasan atas Dominasi China

Di tengah kehati-hatian Barat, kekhawatiran terhadap dominasi Tiongkok makin mencuat. Philip Reiner dari Institute for Security and Technology di Silicon Valley menyatakan bahwa “kita masih belum tahu sejauh mana China menggunakan model DeepSeek dalam bidang militer dan intelijen”, sambil menambahkan bahwa “ketiadaan batasan etis yang ketat di China bisa membuat mereka lebih cepat dalam memperoleh wawasan strategis.”

Katrina Mulligan menambahkan: “Yang benar-benar membuat saya khawatir adalah jika kita berhasil mencapai kecerdasan buatan umum (AGI), tapi gagal dalam adopsi praktisnya.”

Atas kekhawatiran ini, pemerintahan Trump, pada 23 Juli lalu, memerintahkan Pentagon dan lembaga intelijen AS untuk melakukan evaluasi rutin terhadap tingkat adopsi AI di lingkungan keamanan nasional, serta merancang mekanisme adaptasi berkelanjutan terhadap perkembangan global — terutama dibandingkan dengan China.

Para pengamat hampir sepakat bahwa ancaman terbesar bukanlah pada terburu-burunya AS dalam mengadopsi AI, melainkan jika institusinya terus terperangkap dalam pola birokrasi lama yang lamban menghadapi perubahan.

“Kekhawatiran saya sebenarnya adalah jika kita memenangkan perlombaan menuju AGI, tapi justru kalah dalam perlombaan penggunaannya secara nyata.” — Katrina Mulligan, OpenAI

(Samirmusa/arrahmah.id)