1. News
  2. Internasional

Pembunuhan Jurnalis Al Jazeera Dinilai sebagai Strategi Terencana untuk Bungkam Suara Gaza

Zarah Amala
Diperbaru: Selasa, 12 Agustus 2025 / 18 Safar 1447 10:15
Pembunuhan Jurnalis Al Jazeera Dinilai sebagai Strategi Terencana untuk Bungkam Suara Gaza
Jurnalis Anas al-Sharif beserta empat rekannya yang gugur dalam serangan udara 'Israel' (Al Jazeera)

GAZA (Arrahmah.id) – Pembunuhan terhadap dua koresponden Al Jazeera, Anas Al-Sharif dan Muhammad Quraiqa, bersama rekan-rekan mereka, dinilai para analis bukan sekadar kelanjutan dari rangkaian panjang pelanggaran terhadap jurnalis di Gaza, tetapi langkah strategis yang bertujuan membungkam kamera yang merekam tragedi di wilayah tersebut.

Serangan itu menargetkan tenda media di depan Rumah Sakit Al-Shifa dan terjadi di tengah data mengejutkan yang diungkap Kepala Biro Al Jazeera di Gaza, Wael Al-Dahdouh. Ia menyebut sebanyak 238 jurnalis telah tewas sejak perang dimulai, angka yang belum pernah terjadi bahkan dalam perang dunia yang berlangsung bertahun-tahun.

Menurut Al-Dahdouh, angka tersebut bukan akibat serangan acak, melainkan bagian dari kebijakan sistematis untuk membungkam suara jurnalis Palestina yang berpotensi membongkar kejahatan pendudukan dan mematahkan blokade informasi terhadap Gaza. Namun, ia menilai respons internasional masih jauh dari proporsional, di mana banyak media dan asosiasi jurnalis dunia hanya mengeluarkan pernyataan lemah atau diam sama sekali, bahkan ada yang mengulang narasi ‘Israel’.

Sekretaris Jenderal Federasi Jurnalis Eropa, Ricardo Gutierrez, menyebut pembunuhan itu sebagai “aksi pembunuhan” yang diputuskan di tingkat politik dan militer tertinggi ‘Israel’. Ia menegaskan sebagian besar jurnalis Eropa tidak mempercayai klaim ‘Israel’ yang mengaitkan korban dengan Hamas, tetapi masih ada media Barat yang menyebarkan propaganda tersebut. Gutierrez menambahkan, dukungan publik Eropa terhadap Palestina semakin kuat, ditandai dengan bendera Palestina yang kerap terlihat di demonstrasi dan festival, serta meningkatnya tekanan pada pemerintah untuk menghentikan ekspor senjata dan menangguhkan perjanjian dagang dengan Tel Aviv.

Pengamat urusan ‘Israel’, Dr. Mohannad Mustafa, menilai ‘Israel’ kini menghadapi krisis citra internasional yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ia menyebut media global mulai mengandalkan “fakta di lapangan” alih-alih narasi resmi Tel Aviv, sehingga pembungkaman jurnalis lapangan menjadi cara ‘Israel’ mengosongkan medan dari saksi independen.

Menurut Mustafa, langkah ini menciptakan “ruang kosong informasi” yang dibutuhkan ‘Israel’ untuk menjalankan operasi militer dan kebijakan di Gaza tanpa pantauan kamera internasional, termasuk kemungkinan invasi, perluasan wilayah, atau kebijakan pengusiran dan kelaparan.

Meski risiko besar membayangi, Al-Dahdouh menegaskan semangat pengorbanan jurnalis Palestina tidak akan padam, dan mereka tetap berkomitmen menyampaikan kebenaran, meski harus membayar dengan nyawa. (zarahamala/arrahmah.id)