NEW YORK (Arrahmah.id) — Pemantau sanksi Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak melihat adanya “hubungan aktif” tahun ini antara Al Qaeda dan kelompok perlawanan Suriah Hai’ah Tahrir Syam (HTS) menurut sebuah laporan PBB yang belum dipublikasikan. Temuan ini dapat memperkuat desakan AS untuk mencabut sanksi PBB terhadap Suriah.
Laporan tersebut, seperti dilansir Reuters (11/7/2025), akan dipublikasikan bulan ini.
HTS sebelumnya dalah bekas cabang Al Qaeda di Suriah, tetapi memutuskan hubungan pada tahun 2016. Kelompok ini, yang sebelumnya dikenal sebagai Jabhah al-Nusra, melakukan perlawanan menggulingkan Presiden Bashar al Assad setelah dikirim oleh pemimpin kelompok militan Islamic State (ISIS), Abu Bakar al Baghdadi dari Irak.
Laporan tersebut muncul ketika para diplomat memperkirakan Amerika Serikat akan mengupayakan pencabutan sanksi PBB terhadap HTS dan Syaraa, yang menyatakan keinginannya untuk membangun Suriah yang inklusif dan demokratis.
“Banyak individu di tingkat taktis memiliki pandangan yang lebih ekstrem daripada … Syaraa dan Menteri Dalam Negeri Anas Khattab, yang umumnya dianggap lebih pragmatis daripada ideologis,” demikian bunyi laporan PBB tersebut.
Laporan tersebut mencakup periode enam bulan hingga 22 Juni dan mengandalkan kontribusi serta penilaian dari negara-negara anggota PBB.
Para pemantau PBB menulis dalam laporan mereka kepada Dewan Keamanan: “Beberapa negara anggota menyuarakan kekhawatiran bahwa beberapa anggota HTS dan anggota yang bersekutu, terutama mereka yang memegang peran taktis atau terintegrasi ke dalam tentara Suriah yang baru, tetap terikat secara ideologis dengan Al Qaeda.”
Presiden AS Donald Trump mengumumkan perubahan besar kebijakan AS pada bulan Mei ketika ia mengatakan akan mencabut sanksi AS terhadap Suriah. Ia menandatangani perintah eksekutif yang memberlakukan hal ini pada akhir Juni, dan Washington mencabut status HTS sebagai organisasi teroris asing minggu ini.
AS saat itu mengatakan bahwa pencabutan status tersebut merupakan langkah menuju visi Trump tentang Suriah yang damai dan bersatu.
AS sedang “meninjau kembali status teroris yang tersisa terkait HTS dan Suriah serta penempatannya dalam daftar sanksi PBB,” kata seorang juru bicara Departemen Luar Negeri kepada Reuters.
Para diplomat, organisasi kemanusiaan, dan analis regional mengatakan bahwa pencabutan sanksi akan membantu membangun kembali ekonomi Suriah yang hancur, menjauhkan negara itu dari otoritarianisme, dan mengurangi daya tarik kelompok-kelompok radikal.
Trump dan para penasihatnya berpendapat bahwa tindakan tersebut juga akan menguntungkan kepentingan AS dengan membuka peluang bagi bisnis Amerika, melawan pengaruh Iran dan Rusia, dan berpotensi membatasi seruan untuk keterlibatan militer AS di kawasan tersebut.
Namun, Washington menghadapi kendala diplomatik untuk mendapatkan dukungan Dewan Keamanan dalam pencabutan sanksi tersebut.
AS juga perlu mendapatkan dukungan dari Rusia—yang merupakan sekutu Assad—dan Tiongkok untuk setiap keringanan sanksi Suriah di PBB, kata para diplomat.
Keduanya khususnya prihatin dengan warga negara asing yang bergabung dengan HTS selama perang 13 tahun antara kelompok pemberontak dan Assad. Para pakar PBB mengatakan diperkirakan ada lebih dari 5.000 pejuang asing di Suriah.
Status pejuang asing telah menjadi salah satu isu paling pelik yang menghambat pemulihan hubungan Suriah dengan Barat. Namun, AS telah memberikan restunya kepada rencana para pemimpin baru Suriah untuk mengintegrasikan pejuang asing ke dalam militer.
“Cina sangat prihatin dengan perkembangan tersebut. Otoritas sementara Suriah harus sungguh-sungguh memenuhi kewajiban kontraterorisme mereka,” kata Duta Besar Tiongkok untuk PBB, Fu Cong, kepada Dewan Keamanan bulan lalu.
Ia mengatakan Suriah harus memerangi organisasi teroris, termasuk “Gerakan Islam Turkistan Timur, yang juga dikenal sebagai Partai Islam Turkistan.” Pejuang Uighur dari Cina dan Asia Tengah adalah anggota Partai Islam Turkistan. Kelompok-kelompok hak asasi manusia menuduh Beijing melakukan pelanggaran HAM yang meluas terhadap etnis minoritas yang sebagian besar Muslim tersebut.
Duta Besar Rusia untuk PBB, Vassily Nebenzia, mengatakan kepada Dewan Keamanan bulan lalu bahwa sangat penting “tentara dan polisi Suriah dikelola secara eksklusif oleh personel profesional dengan rekam jejak yang bersih,” sebuah referensi yang tampaknya merujuk pada pejuang ireguler seperti militan.
Para pemantau PBB mengatakan beberapa pejuang asing menolak langkah untuk mengintegrasikan mereka ke dalam militer.
“Pembelotan terjadi di antara mereka yang melihat Syaraa sebagai sesuatu yang sia-sia, meningkatkan risiko konflik internal dan menjadikan Sharaa sebagai target potensial,” kata para pakar PBB. (hanoum/arrahmah.id)