GAZA (Arrahmah.id) – Kehidupan menjadi seorang ibu di Jalur Gaza kini bukan lagi soal merawat dan mengasuh, melainkan perjuangan harian untuk bertahan hidup di bawah blokade ketat dan perang yang menghancurkan infrastruktur pangan serta layanan kesehatan.
Sejak awal Maret, ‘Israel’ menutup total akses keluar-masuk Gaza, melarang pasokan pangan dan bantuan kemanusiaan. Akibatnya, kelaparan parah melanda, memaksa ibu-ibu memberi anak mereka susu kedaluwarsa atau air rebusan dengan sedikit dedaunan liar.
Di sebuah tenda pengungsian di barat Kota Gaza, Maysaa Taffash (31) menggendong bayi lima bulannya, Yusuf, yang tubuhnya bergetar karena lapar. ���Sudah dua pekan Yusuf tidak minum susu. Saya hanya punya air rebusan dengan sedikit herba liar,” katanya kepada The New Arab.
Susu formula yang sebelum perang seharga 20 shekel (sekitar Rp120 ribu) kini hilang dari pasaran. Sesekali muncul di pasar gelap dengan harga 250 shekel (sekitar Rp900 ribu), angka yang mustahil dijangkau sebagian besar warga.
Sebulan lalu, Taffash terpaksa menjual cincin kawinnya untuk membeli susu formula, namun ternyata kadaluarsa. “Saya tetap memberikannya. Dia meminumnya dengan lahap, dan saya hanya bisa menangis,” ujarnya.
Situasi serupa dialami ibu hamil. Di kamp pengungsian Sheikh Radwan, Abir Sabri (32), hamil empat bulan, mengaku terpaksa memakan daging landak untuk menambah asupan protein. “Tidak ada daging, telur, atau susu. Saya takut kehilangan bayi saya,” katanya. Suaminya berburu landak dan kura-kura di malam hari demi memberi makan keluarga.
Badan Kependudukan PBB (UNFPA) memperingatkan, 50 ribu perempuan hamil dan menyusui di Gaza menghadapi kelaparan akut, dengan risiko tinggi bayi lahir prematur dan kekurangan gizi. “Ibu-ibu tidak makan selama berhari-hari, sehingga tidak bisa menyusui. Susu formula sudah tidak ada,” tulis UNFPA pada 8 Juli.
Ghada Al-Haddad dari Oxfam menyebut kelaparan di Gaza sebagai “bencana kemanusiaan kedua dalam sejarah modern”. Ia menegaskan, penghancuran lahan pertanian dan sumber air secara sistematis memperburuk krisis pangan dan memicu penyebaran penyakit, sementara jutaan warga kini tinggal di tenda reyot setelah rumah mereka hancur.
“Anak-anak tak punya apa pun untuk dimakan, ibu hamil memakan yang tak layak konsumsi. Ini bukan hutan, ini salah satu wilayah terpadat di dunia,” katanya. (zarahamala/arrahmah.id)