1. Kontribusi
  2. Opini

Opini: Pengaturan Tanah ala Kapitalisme, Siapa yang Diuntungkan?

Oleh Ummu Kholda Pegiat Literasi
Sab, 2 Agustus 2025 / 8 Safar 1447 18:50
Opini: Pengaturan Tanah ala Kapitalisme, Siapa yang Diuntungkan?
Ilustrasi. (Foto: infobanknews.com)

Belakangan ini ramai diberitakan terkait status tanah yang tidak ada tanda-tanda pengelolaannya atau terlantar, nantinya akan diambil oleh negara. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) bahwa tanah yang dibiarkan tidak digunakan atau tanah terlantar selama dua tahun berpotensi diambil alih oleh negara. Ketentuan ini telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar.

Hal tersebut disampaikan oleh Kepala Biro Humas dan Protokol Kementerian ATR/BPN, Harison Mocodompis, pada Rabu, 16 Juli 2025. Menurutnya, tanah-tanah yang dengan sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan, tidak dipelihara terhitung mulai dua tahun sejak diterbitkannya hak, maka tanah tersebut akan diidentifikasi oleh negara. Adapun tanah yang dimaksud adalah tanah dengan status Hak Milik, Hak Guna Bangunan (HGB) , Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pengelolaan Lahan (HPL), dan Hak Pakai. Misalnya lahan dengan status HGU dan HGB, maka harus melampirkan proposal usaha, rencana bisnis, hingga studi kelayakan saat pendaftaran. (Kompas.com, 18/7/2025)

Rencana pemerintah di atas sontak menimbulkan reaksi dari berbagai pihak. Ada yang mendukung dengan alasan hal itu termasuk upaya optimalisasi pemanfaatan lahan dan mengurangi potensi konflik. Ada juga yang menolak karena khawatir hilangnya hak kepemilikan dan timbulnya dampak sosial ekonomi, terutama para petani kecil. Karena pemerintah dinilai belum mempunyai kerangka yang jelas mengenai pemanfaatan tanah-tanah terlantar tersebut. Bahkan dari tanah kosong yang dianggap tidak bertuan tersebut dapat berpotensi menimbulkan konflik, apalagi tidak sedikit fakta saat ini status tanah yang tiba-tiba sudah atas nama orang lain. Maka dari itu ATR/BPN tidak bisa serta merta mengambil alih tanah yang terlantar, akan tetapi harus diperiksa terlebih dahulu apa alasan penelantaran tanah tersebut.

 

Sistem Kapitalisme, Menguntungkan Para Pemodal

Sebagaimana sumber daya alam yang lainnya, tanah pun berpeluang menimbulkan berbagai masalah. Apalagi jika statusnya tidak jelas, tanah milik individu, negara, atau milik umum. Sehingga wajar jika masing-masing pihak akhirnya saling mengeklaim atau rentan terjadi perebutan lahan. Tak hanya itu, tanah yang terlantar bahkan menjadi peluang bagi pemerintah secara ekonomi. Mengingat dalam kehidupan saat ini yang diatur oleh sistem buatan manusia, yakni kapitalisme, hampir semua kebijakan bermuara pada keuntungan atau materi.

Dalam sistem kapitalisme tanah dipandang sebagai komoditas ekonomi yang dapat diperjualbelikan demi keuntungan segelintir pihak, yakni para pemilik modal. Apalagi fakta tanah yang berstatus HGB dan HGU itu lebih banyak dikuasai oleh para pengusaha atau korporasi besar.  Terlebih tanah yang berlokasi strategis dengan harga fantastis, akan banyak memberikan keuntungan jika diperjualbelikan.

Sementara dampaknya bagi rakyat tidak diperhitungkan. Mereka  menjadi korban keserakahan manusia. Di antara mereka ada yang kehilangan mata pencaharian, trauma psikologis hingga kesulitan ekonomi jika tidak memperoleh kompensasi yang sepadan atau relokasi yang tepat.

Bahkan saat ini pemerintah tidak segan mengambil alih lahan tanah atau hutan demi menyukseskan pembangunan infrastruktur atas nama Proyek Strategis Nasional (PSN). Padahal lahan tersebut bukan lahan kosong tanpa pemilik, sementara PSN sendiri hanyalah legalitas yang seolah proyek tersebut milik negara padahal sejatinya pelaksana dan sumber modalnya dari swasta. Di saat yang sama justru banyak tanah milik negara yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan umum, malah dibiarkan terbengkalai.

Di sisi lain, rakyat kecil justru banyak mengalami kesulitan untuk mendapatkan lahan, padahal untuk kebutuhan mereka, seperti untuk tempat tinggal, lahan bertani atau berdagang. Seharusnya pemerintah lebih melindungi hak rakyat, di mana negara sebagai penanggung jawab atas pemenuhan kebutuhannya, bukan sebagai fasilitator bagi kepentingan para pemodal dalam pemanfaatan tanah. Lebih jauh lagi, pengambilan tanah oleh pemerintah dapat memicu penyalahgunaan atau pengelolaan yang tidak tepat sasaran. Akhirnya, rakyat sendiri yang jadi korban, sementara para pemodal banyak mendapat kemudahan dan keuntungan. Sehingga jelaslah di sini bahwa pemerintah lebih berpihak pada kepentingan kapitalis dibandingkan kepada rakyat sendiri.

 

Pandangan Islam

Dalam Islam, kepemilikan atas tanah sangat jelas. Islam membaginya menjadi tiga, yakni: kepemilikan individu, umum, dan negara. Dalam hal ini, negara tidak boleh menetapkan status tanah yang sejatinya milik individu atau negara menjadi milik umum dengan alasan demi kemaslahatan. Namun penetapan itu harus berdasarkan syariat, sehingga harus dikaji terlebih dahulu.

Adapun tanah yang status kepemilikannya milik individu merupakan tanah yang menjadi hak seseorang menurut ketetapan syariat sebagai bagian dari kekayaannya. Ini dapat dilihat dari sebab-sebab kepemilikan yang syar’i, seperti bekerja, pewarisan, pemberian dari negara, dan perolehan tanpa kompensasi harta atau tenaga. Salah satu dari aktivitas bekerja adalah menghidupkan tanah mati (ihya’ al-mawat), yaitu tanah yang tidak dimanfaatkan oleh seorangpun, kemudian dihidupkan dalam arti dimanfaatkan. Terhadap tanah ini, negara sangat melindunginya, tidak boleh seorangpun mengambilnya atau merampasnya meski negara sekalipun dengan alasan untuk kemaslahatan. Jika terjadi demikian, maka akan ditindak dan diadukan kepada Mahkamah Mazalim, atau penguasa/hakim.

Kepemilikan tanah ini berbeda dengan harta benda lainnya. Maksudnya, selama masih ada produktivitas di sana maka hak milik masih tetap ada, mau tanah itu luas atau sempit. Sebaliknya jika tidak ada produktivitas maka hak tanah itu akan hilang setelah melewati masa tiga tahun. Khalifah Umar ra. pernah berkata: “Siapa saja yang memiliki tanah, lalu ia telantarkan selama tiga tahun, tidak digunakan, kemudian datang orang lain memanfaatkan tanah itu, maka orang lain itu lebih berhak atas tanah tersebut.” (HR Abu Yusuf)

Perkataan Umar ini didengar dan diketahui oleh para sahabat, dan tidak seorangpun dari mereka yang mengingkarinya. Artinya langkah Umar ini telah menjadi ijmak dari para sahabat, yakni ijmak sukuti bahwa tanah yang ditelantarkan oleh pemiliknya selama tiga tahun, maka kepemilikan hak atas tanah tersebut hilang. Tanah terlantar tersebut akan diambil oleh negara (khalifah) lalu diberikan kepada kaum muslim yang sanggup menggarapnya.

Sementara tanah yang menjadi kepemilikan umum, seperti hutan, jalan raya, tanah-tanah umum, lapangan, dan sebagainya tidak boleh dimiliki oleh individu, akan tetapi individu boleh memanfaatkan nya. Sedangkan tanah milik negara adalah tanah yang negara berhak memberikannya kepada individu tertentu dan tidak kepada yang lain. Negara juga berhak mencegahnya dari individu, bahkan negara boleh memproteksi sebagian lahan/tanah yang berstatus milik harta umum untuk suatu kebutuhan tertentu. Sebagaimana Rasulullah saw.  pernah memproteksi beberapa tempat seperti Naqi’ yang khusus digunakan untuk memberi minum kuda-kuda kaum muslim yang biasa dipakai berperang di jalan Allah Swt.

Sebaliknya, negara tidak boleh menyerahkan tanah negara untuk dikuasai individu atau swasta tanpa batas. Apalagi menjualnya ke asing atau korporasi. Namun negara akan mengelola tanah itu untuk proyek strategis dalam rangka kebutuhan rakyat, seperti permukiman, infrastruktur umum, pertanian, bahkan kebutuhan logistik jihad. Karena tujuan pengelolaan oleh negara adalah dalam rangka pengaturan urusan rakyat, kesejahteraan, dan keberkahan, bukan mencari keuntungan.

Demikianlah kepemilikan tanah dalam Islam, semuanya hanya untuk kepentingan rakyat. Pengaturan seperti ini niscaya akan berjalan jika negara sebagai institusinya menerapkan aturan Islam secara keseluruhan, juga rakyatnya dipimpin oleh seorang pemimpin yang amanah (khalifah) yang hanya tunduk pada Allah Swt.

Wallahu a’lam bis shawab

Editor: Hanin Mazaya