1. Opini

Opini: Patutkah Pemerintah Mewajibkan Infak?

Oleh Nazwa Hasna Humaira Aktivis Dakwah
Kamis, 28 Agustus 2025 / 5 Rabiul awal 1447 16:53
Opini: Patutkah Pemerintah Mewajibkan Infak?
Ilustrasi. (Foto: iStock)

Program infak telur merupakan gerakan sosial dalam mengumpulkan dan menyalurkan telur sebagai sumber protein hewani kepada pihak yang membutuhkan. Tujuannya untuk meningkatkan status gizi, mencegah stunting, dan menumbuhkan rasa sosial melalui sedekah dengan memanfaatkan bahan pokok telur. Orang-orang yang turut terlibat dalam program ini diantaranya pemerintah daerah, ASN, dan masyarakat. Dengan demikian, seorang guru diberikan tanggung jawab untuk berinfak setiap bulannya dari hasil mendapatkan dana sertifikasi.

Pemerintah menetapkan program infak untuk para guru dengan tujuan agar mereka dapat membangun dan memperkuat karakter sosial, kepedulian terhadap siswa, dan membiasakan beramal salih yang sejalan dengan nilai-nilai agama Islam. Tanpa disadari, hal ini seperti menggiring para guru untuk memenuhi kebutuhan orang lain dengan tidak ada lagi campur tangan pemerintah dalam mengurusinya.

Sejatinya, program tersebut bukanlah bentuk tanggung jawab personal apalagi infak itu sendiri hukumnya adalah sunnah, tapi dengan adanya program infak telur tersebut seolah menjadi wajib. Terlebih lagi kewajiban utama menyejahterakan rakyat sekaligus mengatasi stunting atau gizi buruk adalah tanggung jawab negara (penguasa). Individu atau masyarakat muslim memang dianjurkan untuk berbuat baik dan menolong orang lain, namun bukan mengambil alih peran pemerintah sehingga lalai akan kewajibannya mengurus rakyat.

Negara sebenarnya mampu memenuhi dan mengatur urusan rakyat tanpa membebani masyarakat yakni dengan mengelola sumber-sumber keuangan yang dimiliki negara seperti tambang minyak, tambang emas, hasil laut, dan sebagainya yang berlimpah ruah di negeri ini.

Dengan pengelolaan secara mandiri maka suatu keniscayaan negara mampu mensejahterakan masyarakat di setiap aspek kehidupannya. Sayangnya, kekayaan yang harusnya dinikmati rakyat secara umum ini diserahkan kepada pihak swasta dan asing. Alhasil, negara tak memiliki kekayaan secara utuh dan tak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dengan layak selain mengandalkan pajak dari berbagai aspek. Dan ketika kasus stunting mencuat, kemiskinan meningkat, rakyatlah yang ditunjuk untuk memenuhinya seperti guru atau pegawai negara.

Berbeda halnya dengan sistem Islam yang sangat menghargai perjuangan seorang guru, mereka diberikan gaji yang layak dan dijamin kesejahteraanya oleh negara. Bahkan, tidak akan ada kedudukan seorang guru ASN atau pun honorer. Semua guru diberikan perlakuan yang sama, tanpa adanya perbedaan seperti pada sistem kapitalisme. Menjadi seorang pemimpin yang hakiki paham akan kewajibannya terhadap masyarakat. Dengan begitu, kesejahteraan akan didapatkan dan dirasakan oleh seluruhnya.

Seperti pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, kedudukan seorang guru begitu dimuliakan dan sejahtera. Sebab, mereka mendapatkan gaji dan kehidupan yang layak ketika berada di dalam naungan Islam. Mereka mendapatkan gaji sebesar 15 dinar dengan besarnya 4.25 gram/Dinar, maka dapat dipastikan bahwa gaji seorang guru bisa sampai hingga 76jt atau 90jt per bulan yang mereka terima.

Selain itu, keamanan dan kebutuhan fasilitas pengajarannya dijamin oleh negara. Sebab, seorang pemimpin sadar bahwa guru memiliki tanggung jawab yang besar untuk mencetak generasi yang unggul dari segi pengetahuan dan akhlaknya.

Dengan pengelolaan SDA yang tersedia, pemimpin Islam tidak akan menyerahkannya kepada pihak asing atau swasta. Ia akan mengelolanya dengan keterampilan yang dimiliki oleh setiap masyarakat di dalam wilayahnya. Sehingga, dana yang diperoleh oleh negara akan tercukupi dan tersedia untuk bisa memenuhi kebutuhan masyarakat.

Terkait infak, Islam memandang sebagai suatu hal yang mulia dilakukan oleh masyarakat, hukumnya pun tidak wajib melainkan sunnah. Dan yang paling penting adalah niat yang ikhlas berasal dari diri sendiri bukan karena paksaan dari luar. Allah Swt. Berfirman :

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang takwa. Yaitu orang-orang yang menginfakkan (hartanya) baik di waktu senang atau di waktu susah, dan orang-orang yang
menahan kemarahannya dan memaafkan kesalahan orang. Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan. ” (QS. Ali Imran: 133-134)

Maka dari itu, untuk menyejahterakan masyarakat dan meningkatkan kualitas kesehatan tanggung jawabnya ada di pundak negara, bukan guru atau ASN yang statusnya adalah rakyat. Islam telah tegas membebankan tanggung jawab ini saat seseorang diamanahi kekuasaan.
Rasulullah saw. bersabda:

“Seorang imam adalah pemimpin dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (H.R.Muslim)

Wallahu’alam bis Shawwab

Editor: Hanin Mazaya