1. Opini

Opini: Pandangan Islam Terkait Pajak dan Zakat

Oleh Ummu Kholda Pegiat Literasi
Rabu, 27 Agustus 2025 / 4 Rabiul awal 1447 16:43
Opini: Pandangan Islam Terkait Pajak dan Zakat
Ilustrasi. (Foto: pajak.go.id)

Belum lama ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dalam pidatonya mengatakan bahwa membayar pajak sama seperti menunaikan zakat dan wakaf. Menurutnya, ketiganya memiliki tujuan yang sama, yakni menyalurkan sebagian harta kepada yang membutuhkan. Selain itu, Sri Mulyani juga mengatakan bahwa di setiap rezeki dan harta yang didapatkan ada hak orang lain. Hal itu disampaikan pada acara Sarasehan Nasional Ekonomi Syariah Refleksi Kemerdekaan RI 2025, Rabu (13/8/2025)

Tak hanya itu, ia juga menjelaskan, dalam konteks kebijakan fiskal, pajak yang dibayarkan oleh masyarakat akan kembali ke masyarakat dalam berbagai bentuk,  seperti program perlindungan sosial, hingga subsidi yang manfaatnya langsung dirasakan oleh masyarakat, terutama kelompok yang berpendapatan rendah. (CNBC Indonesia, 14/8/2025)

Di sisi lain, demi menaikkan pemasukan APBN, pemerintah berencana mencari objek baru pajak, seperti pajak kekayaan, pajak karbon, pajak warisan, pajak kepemilikan rumah ketiga, dan lain-lain. Padahal, pajak yang sudah ada saat ini pun sudah sangat memberatkan. Seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di beberapa daerah yang naik 200-300 persen, sehingga memicu keresahan dan protes dari masyarakat terhadap pemerintah daerah.

Menurut pemerintah, objek baru pajak dinilai akan memberikan potensi penerimaan yang sangat besar. Pajak kekayaan diperkirakan  memiliki potensi penerimaan sekitar Rp81,6 triliun hanya dari pajak 50 orang terkaya di Indonesia. Pajak karbon dapat menghasilkan RP76,4 triliun, pajak warisan Rp20 triliun, pajak kepemilikan rumah ketiga Rp4,7 triliun. Belum lagi potensi pajak-pajak lainnya yang dinilai dapat mendongkrak penerimaan pajak. (CNN Indonesia, 12/8/2025)

 

Pajak dalam Kapitalisme; Zalim dan Mencekik Rakyat

Tidak dimungkiri, dalam sistem hidup hari ini, yakni kapitalisme sekuler, pajak dijadikan tulang punggung ekonomi. Bahkan keberadaannya dijadikan penopang ekonomi negara, yakni sekitar 82 persen (pajak, bea, dan cukai), sementara 18 persen sisanya diperoleh dari penerimaan negara bukan pajak dan juga hibah. Tak heran pemerintah terus menggenjot sektor ini. Sementara pada saat yang sama, pemerintah justru menyerahkan pengelolaan sumber daya alam (SDA) kepada pihak swasta kapitalis. Padahal dari SDA ini, sejatinya pendapatan negara mengalir deras jika pengelolaannya di tangan yang berwenang yakni negara.

Tersebab itu, lagi-lagi rakyat kecil yang terkena imbasnya. Rakyat semakin tercekik dengan berbagai tuntutan pajak, belum lagi memikirkan kebutuhan hidup lainnya, seperti kebutuhan sandang, pangan, dan papan yang terus meningkat, ditambah lagi biaya pendidikan dan kesehatan yang semakin mahal. Sehingga tidak sedikit rakyat yang semakin jatuh ke lembah kemiskinan. Sementara para kapitalis semakin kaya raya dan mendominasi perekonomian negara, karena mendapatkan fasilitas yang istimewa dari pemerintah.

Berbagai undang-undang yang disahkan nyatanya lebih berpihak pada kepentingan para kapitalis atau pemilik modal dari pada memihak kepada kepentingan rakyat. Hal ini juga karena penguasa dalam sistem kapitalis berperan sebagai regulator dan fasilitator kepentingan para kapitalis. Tak heran jika pajak dalam sistem ini sangat zalim, karena mengambil harta rakyat miskin tanpa pandang bulu, rakyat pun semakin sulit.

Mirisnya lagi, uang hasil pajak selama ini tidak digunakan untuk kesejahteraan rakyat miskin, tetapi digunakan untuk proyek-proyek yang justru menguntungkan para kapitalis. Bahkan kebijakan pajak seringkali memberikan karpet merah kepada para konglomerat melalui berbagai program, seperti tax amnesty, dan lain-lain, sehingga jelaslah sistem pajak dalam kapitalisme hanyalah alat eksploitasi rakyat yang menguntungkan segelintir orang. Oleh karena itu, selama sistem kapitalis masih mendominasi negeri ini, maka rakyat akan terus dipalak dengan berbagai pungutan yang semakin menzalimi.

 

Pajak dan Zakat dalam Pandangan Islam

Dalam Islam, pajak berbeda dengan zakat maupun wakaf. Islam menetapkan dharibah atau pungutan kepada rakyat hanya bersifat temporal dan terbatas. Pungutan ini hanya diberlakukan jika kondisi kas negara atau baitulmal dalam keadaan kosong. Itupun dipungut hanya dari laki-laki muslim yang kaya saja. Pungutannya pun dilakukan jika negara benar-benar membutuhkan atau kondisi mendesak, seperti jihad, penyediaan layanan publik mendasar, atau jika terjadi bencana yang membutuhkan dana besar.

Sedangkan zakat adalah kewajiban atas harta bagi muslim yang kaya dan kekayaannya sudah melebihi nisab dan mencapai haul. Sementara wakaf hukumnya sunah bukan kewajiban. Islam telah menetapkan zakat sebagai salah satu sumber pemasukan baitulmal pada pos zakat. Penerimanya juga telah ditetapkan dalam Al Qur’an yakni 8 asnaf (golongan). Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam surat At-Taubah ayat 60,yang artinya: “Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya untuk (memerdekakan) hamba sahaya/budak, untuk orang yang berutang, untuk jihad di jalan Allah, dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana.”

Hadis di atas menjelaskan kepada kita bahwa zakat mempunyai jalur distribusi yang jelas, tidak boleh dimanfaatkan seenaknya, seperti untuk proyek atau kebijakan lain di luar ketentuan syariat. Selain itu, sistem Islam akan memastikan setiap dana yang keluar benar-benar sampai kepada pihak yang berhak. Oleh karena itu, zakat dan pajak jelas berbeda, tidak dapat dipaksakan baik pungutannya maupun peruntukannya, sebagaimana sistem saat ini.

Selain dari zakat, baitulmal juga masih memiliki sumber pemasukan lain selain zakat. Salah satu pemasukan terbesarnya adalah dari pengelolaan sumber daya alam milik umum oleh negara. Dalam Islam SDA ini tidak boleh diserahkan kepada swasta, baik swasta lokal maupun asing. Seperti tambang besar, hutan, laut, air, migas, batu bara dan sebagainya wajib dikelola oleh negara dan hasilnya dipergunakan untuk kemaslahatan rakyat. Misalnya untuk layanan pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan sebagainya. Rasul bersabda, yang artinya: “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal, yakni air, padang gembalaan dan api.” (HR Abu Dawud, Ahmad, dan Ibnu Majah)

Selain itu, penerapan sistem ekonomi Islam oleh negara juga akan membawa kesejahteraan dan keberkahan bagi rakyat dan negara. Karena sistem ekonomi Islam mengatur bahwasannya negara bertanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan dasar rakyat, sandang, pangan, dan papan secara gratis. Serta kebutuhan kolektif seperti pendidikan, kesehatan dan juga keamanan secara cuma-cuma diberikan oleh negara. Semua itu dipenuhi dari sumber-sumber pemasukan syar’i tanpa membebani rakyat.

Wallahu a’lam bis shawab

Editor: Hanin Mazaya

Tag: ,