Setiap tahun pemerintah menggaungkan pajak untuk pembangunan, tetapi yang terjadi hanyalah korupsi, salah kelola dan proyek mercusuar yang tidak menyentuh kebutuhan dasar masyarakat. Pajak yang katanya demi rakyat, justru hanya mengalir ke kantong segelintir elit saja.
Lebih menyakitkan lagi, ketika rakyat mulai mempertanyakan untuk apa dana pajak? Jawaban yang keluar hanya sebuah dalih, bahwa itu kewajiban sebagai warga negara. Betul itu adalah kewajiban rakyat untuk membayar pajak, akan tetapi apakah negara sudah memastikan uang pajak benar-benar kembali pada rakyat?
Alasan inilah yang membuat rakyat marah, karena seharusnya pajak menjadi instrumen kesejahteraan, tetapi berubah menjadi alat pemerasan legal. Rakyat terus dicekik, sementara para pejabat tertawa di kursi empuknya dengan bergelimang tunjangan dan fasilitas.
Jika pemerintah terus memaksakan kebijakan pajak tanpa keadilan, maka yang akan runtuh bukan hanya perekonomian saja, namun juga kepercayaan. Ketika masyarakat sudah tidak percaya lagi, apa yang tersisa dari sebuah negara selain kemarahan massal.
Baru-baru ini, demo terjadi di berbagai daerah seperti Jakarta, Tangerang, Bandung, Yogyakarta, Makassar, dan sebagainya. Para demonstran tidak hanya menyuarakan aspirasi mereka, akan tetapi sebagai bentuk protes atas kebijakan ini hingga merusak, bahkan membakar fasilitas negara sekalipun nyawa dipertaruhkan, sebagai bukti kemarahan massal rakyat yang tertindas.
Fakta tersebut bukan hanya masalah kenaikan pajak saja, tetapi juga kenaikan tunjangan anggota DPR yang sangat fantastis. Belum lagi terkait perkataan dari para anggotanya sendiri yang tidak mencerminkan kepribadian dan sikap sebagai wakil rakyat. Mereka dengan enaknya menari, bergembira di atas penderitaan rakyat. Dari sinilah, masyarakat bersatu berunjukrasa dari seluruh penjuru daerah.
Semua itu disebabkan oleh sistem pemerintahan kapitalisme yang bercokol di negeri ini. Dalam sistem kapitalisme, pajak menjadi tulang punggung APBN. Ketika penerimaan seret, maka pemerintah mencari objek pajak baru. Bahkan tarif yang sudah ada dinaikkan berkali-kali lipat, kemudian rakyat kecil dipaksa membayar, akan tetapi kekayaan alam yang seharusnya menjadi milik mereka dibiarkan dikelola oleh swasta kapitalis.
Pajak tidak memberi ruang napas, melainkan semakin menjerumuskan masyarakat ke jurang kemiskinan. Uang pajak pun tidak sepenuhnya kembali kepada rakyat, melainkan mengalir pada proyek-proyek besar yang lebih menguntungkan para pemilik modal. Kebijakan seperti tax amnesty adalah bukti nyata bagaimana kapitalis selalu dipelihara, sementara rakyat dibiarkan terus menderita.
Bahkan pemerintah berani menyamakan pajak dengan zakat dan wakaf. Pajak dalam sistem kapitalisme bersifat memaksa, tanpa batasan asnaf penerima. Sementara zakat diatur tegas oleh hukum syariat, dan tidak membebani rakyat kecil. Penyamaan ini bukan hanya menyesatkan, namun menegaskan betapa sistem kapitalisme dapat memelintir makna agama, demi menutupi kebocoran anggaran negara.
Sungguh semua itu sangat berbeda dengan sistem Islam. Dalam pandangan Islam, pajak bukan sebagai kewajiban permanen, melainkan solusi temporer yang sangat terbatas. Pajak sendiri dalam Islam hanya diambil dari laki-laki muslim kaya, ketika kas negara kosong dan sifatnya pun sementara. Berbeda dengan zakat yang merupakan kewajiban syariat bagi muslim kaya, dan memenuhi nisab serta haul. Wakaf pun tidak dipaksakan, karena bersifat sunnah sebagai ladang pahala.
Oleh karena itu, zakat dan wakaf sejatinya adalah instrumen ibadah yang menimbulkan solidaritas sosial, bukan alat untuk menutup lubang defisit anggaran. Pajak dalam Islam di tempatkan secara proporsional saat mendesak, dan tidak pernah menjerat kaum lemah. Inilah perbedaan mendasar yang menunjukkan keunggulan sistem Islam, dibandingkan kapitalisme yang menjadikan pajak beban permanen bagi rakyat.
Islam memiliki sumber pemasukan yang berlimpah, tanpa harus menindas rakyat lemah. Kekayaan alam seperti tambang, minyak, gas, dan hutan dikelola langsung oleh negara bukan diserahkan kepada swasta. Zakat menjadi salah satu sumber, tetapi bukan satu-satunya. Dengan cara seperti ini, maka negara mampu memenuhi hak dasar rakyat yakni sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, keamanan, serta infrastruktur yang dapat menunjang kehidupan.
Dalam negara Islam, menempatkan pajak, zakat, dan wakaf pada posisi jelas dan adil. Tidak ada tipu daya, istilah untuk menutupi ketidakadilan. Kesejahteraan bukan mimpi, melainkan kenyataan yang pernah hidup dalam sejarah sepanjang peradaban Islam.
Wallahu a’lam bis shawab
Editor: Hanin Mazaya