Saat ini, dunia sedang dibayang-bayangi masalah serius, terutama masalah ketenagakerjaan. Sejumlah negara besar seperti Amerika, Perancis, Inggris, hingga Cina pun mengalami lonjakan angka pengangguran. Kondisi ini menunjukkan rapuhnya pemulihan ekonomi global di tengah tekanan inflasi, perlambatan pertumbuhan, hingga ketidakpastian politik. Situasi ini tak hanya berimbas pada menurunnya daya beli masyarakat, tetapi juga membawa dampak sosial dan politik yang luas. Di mana kesempatan kerja semakin terbatas, yang dapat memicu ketidakstabilan di berbagai negara. (CNBC Indonesia, 30/8/2025)
Di Cina, para pemuda harus menelan pil pahit. Mereka terpaksa harus berpura-pura kerja atau tetap bekerja tanpa mendapatkan gaji demi agar terlihat kerja. Tercatat pengangguran kaum muda di Cina masih sangat tinggi, yakni mencapai lebih dari 14%. Bahkan menurut data World Bank, tingkat pengangguran kalangan pemuda usia 15-24 tahun di Cina terus merangkak naik sejak 2018, dan per 2024, angkanya sudah mencapai 15,23 persen. Ironisnya lagi, sejumlah pemuda ada yang suka membayar untuk berangkat ke kantor dari pada hanya berdiam diri di rumah. (CNBC Indonesia, 17/8/2025)
Bagaimana dengan Indonesia? Menurut Presiden Prabowo, angka pengangguran di Indonesia mengalami penurunan sebagaimana yang dilaporkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Namun tidak menyebutkan berapa jumlah penurunannya. Di sisi lain, pengamat ekonomi Institut Pertanian Bogor (IPB), Deniey Adi Purwanto mengatakan apa yang disampaikan oleh pak presiden tidak sepenuhnya salah karena data tersebut bersumber dari badan perhitungan resmi negara. Akan tetapi, angka penurunan pengangguran ini tidak bisa dijadikan acuan bahwa kondisi ini telah membaik. (Tempo.co,28/7/2025)
Fakta lain, bahwa di balik statistik itu menunjukkan sesuatu yang lebih pahit, di mana separuh jumlah pengangguran justru datang dari kalangan generasi muda. Padahal anak muda seharusnya menjadi tumpuan masa depan bangsa, hari ini predikat itu tercerabut karena pada faktanya mereka justru menjadi korban kegagalan sistem. (Tempo.co, 3/9/2025)
Kapitalisme Gagal Mewujudkan Kesejahteraan
Krisis tenaga kerja global yang sedang melanda sejatinya menunjukkan bahwa sistem ekonomi yang mendominasi dunia, yaitu kapitalisme telah gagal dalam menyediakan lapangan pekerjaan. Artinya, sistem ini juga telah gagal mengantarkan rakyatnya pada level sejahtera. Bahkan yang nampak oleh mata adalah kesenjangan atau ketimpangan hidup antara yang kaya dan yang miskin. Kekayaan dunia lebih terpusat pada si kaya, sementara yang miskin tambah miskin karena sulitnya mendapatkan pekerjaan.
Center of Economic and Law Studies (Celios) merilis laporan terbarunya yang bertajuk ‘Pesawat Jet untuk si Kaya, Sepeda untuk si Miskin’. Laporan tersebut menyoroti adanya ketimpangan ekonomi yang semakin ekstrem dan terlihat dari perbandingan kekayaan orang terkaya Indonesia dengan warga biasa. Celios juga mengungkapkan ada penambahan kekayaan para triliuner yang melonjak drastis di saat kelas pekerja kesulitan untuk hidup. “Kekayaan 50 orang terkaya di Indonesia setara dengan kekayaan 50 juta orang Indonesia,” sementara negara justru lepas tangan terhadap tanggung jawabnya menyediakan lapangan pekerjaan. (Tempo, 26/9/2024)
Memang benar, sejauh ini pemerintah telah melakukan upaya membuka lapangan kerja, seperti mengadakan jobfair. Akan tetapi sejauh ini upaya tersebut belum dapat menjadi solusi dan terlihat sekedar formalitas. Karena saat ini dunia industri justru mengalami badai PHK. Ironisnya lagi, sekolah vokasi atau kejuruan yang digadang-gadang lulusannya mudah untuk mencari kerja, justru banyak lulusan vokasi yang masih menganggur karena sulit cari kerja.
Di sisi lain, negara dalam kapitalisme cenderung berlepas tangan dari tanggung jawabnya sebagai penyedia lapangan kerja. Peran ini justru diserahkan kepada mekanisme pasar sebagaimana yang negara lakukan dengan jobfair-nya. Satu lowongan kerja diperebutkan ribuan pelamar kerja, ini membuktikan betapa sulitnya mencari kerja.
Jelaslah, selama sistem kapitalisme masih mendominasi dunia, termasuk Indonesia, masalah pengangguran pun tetap menjadi masalah utama. Sistem pendidikan sekuler kapitalistik hanya mencetak SDM tenaga kerja yang siap pakai, bukan menjadi perintis atau pelopor. Begitupun dengan sistem ekonominya, yakni ekonomi kapitalis yang meniscayakan adanya liberalisasi ekonomi. Hal ini berimbas pada kebijakan privatisasi kekayaan alam milik umum yang diperjualbelikan kepada siapa saja yang memiliki modal. Padahal SDA tersebut berpotensi menciptakan industri-industri yang akan dapat menyerap tenaga kerja. Alhasil, masyarakat sulit cari kerja, termasuk pemuda yang malah menjadi korban krisis tenaga kerja ini.
Islam Menjamin Tersedianya Lapangan Kerja dan Kesejahteraan
Berbeda dengan sistem kapitalis, sistem Islam menjadikan negara sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap lapangan kerja. Hal itu karena dalam Islam pemimpin (khalifah) adalah pengurus rakyat. Sebagaimana sabda Rasul saw. yang artinya: ‘Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR Al-Bukhari)
Konsep ini mengharuskan negara hadir dalam menjamin setiap individu untuk mendapatkan kerja. Terutama bagi laki-laki dewasa agar dapat menafkahi dirinya dan keluarganya. Inilah bentuk pelaksanaan kewajiban negara memenuhi kebutuhan dasar rakyat. Dengan bekerja, mereka dapat memenuhi kebutuhan pokoknya seperti sandang, pangan, dan papan. Bahkan negara secara langsung memberikan layanan gratis terhadap kebutuhan kolektif rakyat seperti kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Selain itu, negara juga akan memberikan bantuan modal tanpa riba, membuka peluang industrialisasi berbasis pada potensi SDA, maupun melalui pemberian dan pengelolaan tanah agar rakyat bisa memanfaatkannya. Rasul bersabda yang artinya: ‘Barang siapa menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR At-Tirmidzi)
Selanjutnya adalah melalui penerapan sistem ekonomi Islam, di mana kekayaan akan terdistribusi secara adil, tidak terkonsentrasi pada segelintir pihak atau kelompok tertentu. Sebagaimana firman Allah surah Al-Hasyr ayat 7 yang artinya: “Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja.”
Hadis ini menegaskan bahwasannya harta harus terdistribusi secara merata dan adil. Sejarah telah mencatat betapa penerapan Islam secara kafah (menyeluruh) mampu mewujudkan kesejahteraan di tengah umat. Seperti pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, distribusi kekayaan begitu merata, sehingga sulit ditemukan orang miskin yang layak untuk menerima zakat.
Selain itu, melalui sistem pendidikan yang berbasis akidah Islam, negara mampu mencetak SDM yang berkualitas. Mereka dididik tidak hanya untuk siap kerja, akan tetapi ahli di bidangnya. Juga menghasilkan individu yang berkepribadian Islam, yakni berpola pikir dan pola sikap Islam, serta menguasai berbagai ilmu terapan.
Dengan penerapan Islam secara kafah, tidak hanya masalah pengangguran yang teratasi, tetapi juga masalah ketimpangan. Semua warga negara Islam mendapatkan hak yang sama untuk memperoleh kesejahteraan, tidak hanya orang kaya saja. Namun penerapan aturan seperti ini tidak dapat dijalankan tanpa adanya negara yang siap menerapkan syariat, yakni negara khilafah yang mengikuti metode kenabian Muhammad saw..
Wallahu a’lam bis shawab
Editor: Hanin Mazaya