1. Opini

Opini: Kapitalisme Memiskinkan, Islam Menyejahterakan

Oleh Hana Annisa Afriliani, S.S Aktivis dakwah, Penulis Buku dan Praktisi Pendidikan
Selasa, 5 Agustus 2025 / 11 Safar 1447 17:10
Opini: Kapitalisme Memiskinkan, Islam Menyejahterakan
Ilustrasi kemiskinan. (Foto: sigapnews.co.id)

“Kemisinan itu dekat dengan kekufuran”. Hadis Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Abu Na’im tersebut menunjukkan bahwa kemiskinan akan mendekatkan seseorang pada hal-hal yang buruk, misalnya menjadi orang yang menyimpang dari kebaikan dan kebenaran agama. Misalnya, sering kita dapati kesulitan ekonomi justru membuat orang mengambil jalan pintas mencuri bahkan ketika putus asa dan merasa depresi banyak yang memilih mengakhiri hidupnya sendiri.

Namun realitasya, dalam naungan sistem kapitalisme hari ini, kemiskinan kian merajalela. Sangat kontradiktif dengan fakta melimpahnya kekayaan alam di negeri ini, rakyatnya justru terjerat kemiskinan. Sebagaimana yang dilansir oleh beritasatu.com (21-07-2025) bahwa Pemerintah Kabupaten Indramayu mencatat angka kemiskinan di daerahnya pada 2024 mengalami penurunan menjadi 11,93%, dari sebelumnya 12,13% di tahun 2023. Selain angka kemiskinan umum, penurunan juga tercermin pada tingkat kemiskinan ekstrem yang berhasil ditekan dari 2,28% pada 2023 menjadi 1,72% pada tahun 2024. Hal tersebut terjadi di tengah-tengah fakta bahwa Indramayu memiliki lahan pertanian terluas di Indonesia dan menyumbang besar terhadap kebutuhan pangan nasional. Namun, kondisi ekonomi masyarakatnya masih memprihatinkan.
Kemiskinan hari ini memang menjadi hal yang jamak terjadi di negeri ini, bukan sekadar terjadi di pedesaan, tetapi juga di perkotaan. Badan Pusat Statistik (BPS) mengatakan tingkat kemiskinan di perkotaan meningkat dari 6,66% atau setara 11,05 juta jiwa pada September 2024 menjadi 6,73% atau setara 11,27 juta jiwa pada Maret 2025. Hal tersebut disebabkan Sebagian besar kaum laki-lakinya menganggur. (beritasatu.com/25-07-2025)

Fakta tersebut sangat tidak relevan dengan adanya pernyataan Presiden Prabowo Subianto beberapa waktu lalu bahwa angka kemiskinan di negeri ini menurun. Inilah jika negara menetapkan batas kemiskinan berdasarkan pada pendapatan nasional per kapita. Badan Pusat Statistik (BPS) menetapkan garis kemiskinan nasional pada Maret 2025 sebesar Rp609.160 per kapita per bulan atau setara sekitar Rp20.305 per hari. Adapun kriteria penduduk miskin di Indonesia adalah yang memiliki pengeluaran di bawah garis kemiskinan.

Padahal jika kita melihat realitanya, jangankan pendapatan 609.190 per bulan, pendapatan sesuai Upah Minimum Regional saja rakyat masih megap-megap memenuhi kebutuhan.

Kapitalisme Mewujudkan Kesengsaraan

Penerapan sistem ekonomi kapitalisme di negeri ini dengan kebebasan berkepemilikan yang menjadi asasnya, telah membuat kekayaan alam negeri ini dikuasai oleh segelintir elite. Betapa tidak, pasar bebas yang menjadi jantungnya perekonomian Kapitalisme telah melahirkan hukum rimba di tengah masyarakat. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Negara tidak hadir sebagai pelayan rakyat, melainkan sebatas menjadi regulator saja. Rakyat dilepas untuk berjuang hidup sendiri.

Kebebasan berkepemilikan yang diakui dalam sistem kapitalisme ini meniscayakan para pemilik modal menguasai harta kekayaan tanpa batas, tambang yang depositnya besar, hingga fasilitas-fasilitas layanan publik. Rakyat menjadi objek komersialisasi. Tumbal sistem kapitalisme.

Kesejahteraan yang diklaim berdasarkan angka rata-rata pendapatan nasional, tidak menunjukkan kondisi real ekonomi masyarakat. Faktanya di lapangan, potret kemiskinan begitu nyata terpampang di depan mata. Stunting, busung lapar, putus sekolah, hingga perceraian dan bunuh diri akibat tekanan ekonomi menjadi beritas sehari-hari hari.

Hanyalah sistem Islam yang mampu menjadi pemecah atas segala persoalan ini. Islam memiliki aturan yang komprehensif bagi manusia, termasuk dalam perekonomian. Islam memiliki konsep pembatasan kepemilikan kekayaan, yakni kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara.

Dalam Islam, setiap individu boleh saja memiliki kekayaan melimpah selama tidak menyentuh harta yang terkategori kepemilikan umum, seperti tambang batu bara, migas, nikel, air, hutan, dll. Sebagaimana hadis Rasulullah Saw.

اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّارِ

“Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)

Di dalam hadis yang lain menunjukkan bahwa tambang yang depositnya besar dan tidak terbatas terlarang untuk dikuasai individu karena sejatinya hal itu adalah milik umat.

Dari Abyad bin Hammal, ia mendatangi Rasulullah ﷺ dan meminta beliau ﷺ agar memberikan tambang garam kepadanya. Nabi ﷺ pun memberikan tambang itu kepadanya. Ketika Abyad bin Hamal ra. telah pergi, ada seorang lelaki yang ada di majelis itu berkata, “Tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepadanya? Sesungguhnya, Anda telah memberikan kepadanya sesuatu yang seperti air mengalir (al-maa’ al-‘idd).” Ibnu al-Mutawakkil berkata, “Lalu Rasulullah ﷺ mencabut kembali pemberian tambang garam itu darinya (Abyad bin Hammal).” (HR Abu Dawud dan At-Timidzi)

Sungguh jelaslah bahwa pembatasan kepemilikan dalam Islam tersebut sangat bertolak belakang dengan konsep ekonomi dalam sistem kapitalisme hari ini. Karena kapitalisme tidak membatasi kepemilikan. Inilah yang menjadikan para pemilik harta (kapitalis) menghegemoni negeri ini. Miris!

Selain itu, Islam juga akan memperhatikan persoalan distribusi kekayaan di tengah-tengah umat, agar harta kekayaan dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat, bukan hanya di kalangan tertentu saja. Sebagaimana firman Allah Swt.

“…كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ…”

“…agar harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian.” (TQS Al-Hasyr: 7)

Oleh karena itu, jelaslah bahwa hanya sistem ekonomi Islam yang mampu mengentaskan kemiskinan hingga ke akarnya. Karena sistem Islam bersumber dari Wahyu Allah Sang Maha Pencipta manusia, alam semesta dan kehidupan. Adapun sistem ekonomi Islam hanya bisa diterapkan jika negaranya sejalan dengan nilai-nilai Islam dan berfondasi pada akidah Islam, bukan negara yang menganut liberalisme ala demokrasi.

Editor: Hanin Mazaya