Dunia kerja kembali dihebohkan dengan fenomena ‘Job Hugging’, yakni kecenderungan para pekerja untuk bertahan di tempat kerjanya, meskipun sudah tidak nyaman, kehilangan minat, dan juga motivasi. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, akan tetapi melanda dunia. Jika dulu banyak orang sering pindah-pindah kerja atau job hopping, kini justru banyak pekerja yang lebih ‘memeluk’ pekerjaan yang ada saat ini.
Fenomena ini marak di tengah situasi pasar kerja yang penuh dengan ketidakpastian, perekonomian lesu, dan risiko PHK yang mungkin saja meningkat. Sehingga mereka lebih memilih bertahan dan cari aman dalam hal finansial daripada harus pindah kerja yang belum tentu lebih baik dari pekerjaan yang ada.
CNBC mencatat setidaknya dalam beberapa bulan terakhir ini hanya 2 persen tingkat pekerja yang keluar dari pekerjaannya. Ini terendah sejak 2016. Sementara itu, survei ZipRecruiter menemukan 52 persen karyawan baru hanya berganti pekerjaan sekali dalam dua tahun terakhir, dan naik 43 persen dari sebelumnya. (Detik finance.com, 20/9/2025)
Job hugging yang diambil para pekerja sesungguhnya lebih menunjukkan sikap ‘mengamankan diri’ bukan karena dirinya telah berkembang di tempat kerja. CEO dari salah satu pendiri Summit Group Solutions, Jennifer Schielke juga mengatakan ‘job hugging‘ ini, alih-alih setia terhadap pekerjaan yang dimiliki, justru lebih cocok disebut sebagai bentuk stagnasi. (CNN Indonesia, 19/9/2025)
Kapitalisme Gagal Mengayomi Rakyat
Fenomena job hugging menunjukkan kegagalan kapitalisme global dalam menjamin lapangan kerja. Karena ini bukan hanya sekedar masalah individu karyawan yang tidak mau ambil risiko tetapi sudah sistemik. Negara tidak memenuhi tanggung jawabnya sebagai pengurus rakyat, dalam hal menjamin ketersediaan lapangan kerja. Seharusnya bukan perkara sulit menyediakannya karena ada banyak sektor sentral yang bisa dijadikan pilihan oleh masyarakat, seperti pertanian, industri, perdagangan, sektor tambang, dan pengelolaan SDA lainnya yang cukup banyak di negeri ini. Namun, alih-alih memberi peluang pada masyarakat terutama generasi muda, negara justru menyerahkan sektor-sektor tersebut kepada pihak swasta, bahkan tidak sedikit yang mendatangkan tenaga kerja dari luar.
Tersebab itu, masyarakat semakin sulit mendapatkan haknya, terutama keadilan dalam memperoleh pekerjaan. Bukan karena tidak mau berkembang akan tetapi sistem juga tidak mendukung, karena dalam negara kapitalis negara lebih cenderung berpihak kepada elit oligarki daripada rakyatnya sendiri. Negara berlepas tangan dan menyerahkan urusan kerja kepada mekanisme pasar. Padahal pekerjaan adalah kebutuhan pokok para laki-laki penanggung nafkah sehingga tidak dapat digantungkan pada paradigma kapitalisme yang selalu menjadikan untung-rugi sebagai standar perbuatannya.
Lebih dari itu, dalam sistem kapitalisme jamak diketahui jika negara sah-sah saja menyerahkan pengurusan kekayaan alam kepada swasta, asal mereka punya modal. Padahal kekayaan yang melimpah ruah jika dikelola dengan benar oleh negara akan berpotensi menyerap tenaga kerja. Sehingga peluang rakyat untuk mendapatkan pekerjaan sekaligus mampu meningkatkan taraf perekonomian mereka akan lebih besar.
Selain kurangnya kontribusi negara terhadap lapangan kerja, kapitalisme juga menjadikan sektor non-riil sebagai solusi ekonomi negara. Imbasnya, bukan hanya menyebabkan roda ekonomi macet dan kekayaan berputar dikalangan kaya saja tapi merajalelanya praktik ribawi. Sektor ini juga minim sekali dalam menyerap tenaga kerja dimana banyak lulusan perguruan tinggi sulit mendapatkan kerja yang layak. Alih-alih mereka didorong adaptif dengan pasar kerja, justru terjebak dengan situasi yang ada. Di sisi lain, liberalisasi perdagangan dan jasa justru dibuka lebar. Alhasil, masyarakat dipaksa untuk dapat membuka lapangan kerja sendiri, memenuhi kebutuhan sendiri tanpa campur tangan negara karena dianggap membebani.
Inilah bukti nyata sistem kapitalisme global yang nir-empati, tidak ada kepedulian dengan rakyat yang menjadi tanggung jawabnya. Maka selama sistem ini masih diemban negeri ini, job hugging dan masalah dunia kerja lainnya tidak akan pernah terselesaikan.
Islam Menjamin Lapangan Kerja dan Kesejahteraan
Berbeda dengan sistem kapitalisme yang kerap menciptakan kesemrawutan di dunia kerja, Islam berperan sebaliknya, yakni menciptakan dunia kerja yang aman dan nyaman. Hal ini karena pemimpin dalam pemerintahan Islam benar-benar hadir sebagai pengurus rakyat (‘raa’in) yang bertanggung jawab menyediakan lapangan kerja. Sebagaimana sabda Rasul saw. yang artinya: “Imam itu adalah pemimpin dan dia diminta pertanggungjawaban atas orang yang ia pimpin.” (HR Al-Bukhari dan Muslim)
Adapun langkah-langkah yang ditempuh negara dalam menjamin tersedianya lapangan kerja, ada banyak sektor, seperti sektor riil yang bisa dijadikan pilihan bagi masyarakat sesuai dengan skill yang dimiliki. Pertama, negara mengelola sumber daya alam secara mandiri yang otomatis akan membuka lapangan perkerjaan tersendiri. Sebab dari sektor ini akan membutuhkan banyak tenaga terampil dan ahli.
Kedua, di bidang pertanian, jika seseorang tidak memiliki lahan tetapi mempunyai kemampuan mengelolanya, maka negara akan memberikan lahan untuk di kelola (iqtha’) dan menerapkan syariat ihyaul mawat, yaitu menghidupkan tanah mati. Artinya mengelola tanah tersebut dengan sesuatu yang menunjukkan bahwa tanah tersebut dikelola. Negara dapat memberikan status tanah mati, yaitu tanah yang telah ditelantarkan pemiliknya kepada siapa saja yang dapat mengelola dan menanaminya sehingga produktivitas masyarakat akan tumbuh seiring kebijakan ini. Rasul bersabda yang artinya: “Barang siapa menghidupkan tanah mati (membuka lahan baru), tanah itu menjadi miliknya.” (HR Ahmad, At-Tirmidzi, dan Abu Dawud)
Ketiga, di bidang industri, negara akan menciptakan industri alat-alat berat. Dengan adanya industri ini maka akan tumbuh industri-industri lain yang membutuhkan banyak tenaga kerja, lulusan dunia pendidikan pun akan terserap di sektor industri ini. Apalagi dalam sistem ekonomi Islam, sistem ketenagakerjaan diatur dengan akad ijarah yang menjamin kesejahteraan antara pegawai dan majikan.
Keempat, di bidang perdagangan dan bisnis, bagi orang yang tidak memiliki modal maka negara dapat memberikan modal dari baitulmal berupa hibah atau pinjaman tanpa riba agar rakyat dapat memulai usahanya. Selain itu, negara juga akan memberikan fasilitas berupa pelatihan dan keterampilan agar mereka dapat bekerja di berbagai jenis industri dan pekerjaan.
Tak hanya itu, dalam pemerintahan Islam, pendidikan dan pekerjaan senantiasa dibingkai dengan ruh dan keimanan. Sehingga rakyat melaksanakan pekerjaannya atas dorongan ibadah yang bernilai pahala, serta menjadikan halal haram sebagai standar dalam menentukan perbuatannya. Negara pun sama, dalam menjalankan kewajiban mengurusi rakyat juga atas dorongan ibadah, semata hanya menjalankan perintah Allah Swt..
Demikianlah, Islam telah sangat jelas menangani berbagai macam persoalan termasuk masalah job hugging. Dengan mekanisme seperti di atas niscaya bukan hanya pekerjaan yang didapat, akan tetapi kesejahteraan juga keadilan. Namun sistem Islam ini tidak serta merta ada jika tidak didukung oleh masyarakat juga negara. Karena hanya negara yang menerapkan Islam secara kafah (menyeluruh) yang mampu menjalankan mekanisme ini.
Wallahu a’lam bi ash-shawab
Editor: Hanin Mazaya