Arib ar-Rantawi – Penulis dan analis politik Yordania
(Arrahmah.id) — Gaza tampaknya sedang menuju titik terang dan kemungkinan pelonggaran situasi. Perang pengepungan, pembersihan, genosida, dan kelaparan yang telah berlangsung selama lebih dari 20 bulan kini berada di babak akhirnya. Gaza kini bersiap menghitung jumlah para syuhada, korban luka, dan warga yang hilang, dengan angka yang tampaknya jauh lebih besar dari yang diketahui selama ini.
Namun, berdasarkan pengalaman masa lalu dengan Netanyahu dan pemerintahan sayap kanannya yang fasis—yang selalu ingkar janji dan melanggar kesepakatan—tidak ada ruang untuk optimisme mutlak. Harapan atas akhir bencana ini tetap bersifat relatif dan bersyarat. Ada faktor-faktor objektif dan subjektif yang memperkuat harapan tersebut, namun juga terdapat ancaman yang mengintainya.
Lima Faktor yang Mendorong Optimisme
Pertama, dan yang paling utama, adalah dampak perang bersama antara Amerika dan “Israel” terhadap Iran. Netanyahu kini bisa mengklaim telah meraih “kemenangan bersejarah”, meski sebenarnya itu adalah klaim yang sangat dibesar-besarkan. Karena tak mampu menunjukkan kemenangan di Gaza, Netanyahu kini mencoba menggambarkan kemenangan di Iran, Lebanon, dan Suriah sebagai kompensasi atas kegagalannya di medan Gaza. Survei opini publik “Israel” bahkan menunjukkan peningkatan popularitas Netanyahu dan partainya. Maka, mengembalikan para tawanan saat ini bisa menjadi peluang emas untuk mempertahankan momentum tersebut sebelum semuanya kembali merosot akibat perang yang tampak tak berujung.
Kedua, Netanyahu menemukan “jaring pengaman” baru untuk masa depan politik dan pribadinya, bukan dari rekan atau rivalnya di dalam negeri, melainkan dari Donald Trump. Ancaman Trump terhadap sistem peradilan “Israel” jika Netanyahu tetap diadili telah memberikan harapan besar bagi sang Perdana Menteri. Kini sedang dibahas solusi untuk menghentikan proses hukum itu, menunjukkan bahwa “Israel” di bawah kepemimpinan “raja”-nya tak lebih dari “republik pisang” yang tunduk pada restu Gedung Putih.
Yang penting bagi Gaza dari faktor ini adalah: jika Netanyahu berhasil selamat dari masa sulit ini, maka ia akan menghadapi pemilu dari posisi yang sangat kuat—bahkan terkuat sejak serangan 7 Oktober.
Ketiga, arsitek kebijakan perang dan perdamaian di Washington kini melihat Gaza dalam konteks regional yang lebih luas—bukan sekadar sandera dan gencatan senjata. Trump, yang sebelumnya digambarkan sebagai pencinta damai yang mendambakan Nobel, kini justru memulai perang dengan Iran dan ingin memetik hasilnya. Ia hendak menyelesaikan sejumlah kesepakatan strategis besar secara bersamaan, termasuk percepatan normalisasi Abraham dan keuntungan ekonomi raksasa yang bisa dinikmati oleh “Israel”. Trump butuh Netanyahu untuk mengeksekusi proyek-proyek besarnya, dan Netanyahu tahu betul bahwa satu-satunya jalan keluar adalah melalui “kesepakatan” yang dirancang Washington.
Keempat, militer pendudukan telah berulang kali menyatakan bahwa tujuan perang sudah tercapai. Sekitar dua pertiga hingga tiga perempat wilayah Gaza kini berada di bawah kendali mereka. Melanjutkan operasi ke seluruh wilayah dinilai terlalu berisiko, karena bisa membahayakan sandera dan memakan waktu berbulan-bulan serta korban yang lebih besar. Kerugian tentara pada bulan Juni saja lebih banyak daripada jumlah sandera hidup yang masih ditahan. Tentara sudah kelelahan secara fisik dan mental karena perang yang berkepanjangan dan situasi yang semakin kompleks.
Memang sebelumnya tentara pernah menyuarakan kelelahan, namun kali ini situasinya berbeda pasca-perang terhadap Iran dan semua dampaknya.
Kelima, protes di “Israel” kini tak lagi datang dari keluarga sandera saja. Keluarga para tentara yang sedang bertempur di Gaza juga mulai bersuara. Korban jiwa dan luka semakin meningkat, dan ribuan tentara menderita trauma fisik maupun psikis, sebagian bahkan mengarah pada kecacatan permanen. Banyak warga “Israel” mulai meragukan bahwa perang ini benar-benar berkaitan dengan keamanan mereka.
Perangkap dan Kendala di Depan Mata
Meski demikian, jalan menuju “kesepakatan Gaza” belum sepenuhnya terbuka. Netanyahu sendiri sejatinya tidak berbeda dengan rekan-rekannya dari sayap kanan ekstrem seperti Ben Gvir dan Smotrich, hanya saja ia lebih lihai dalam membungkus ekstremismenya dengan kemasan diplomasi.
Kelompok kanan garis keras di Knesset masih bisa menggagalkan keputusan pemerintah, apalagi jika bersatu dengan kelompok Haredi yang punya kepentingan sendiri. Proses hukum terhadap Netanyahu juga belum menemukan solusi pasti—terbuka kemungkinan pengampunan dengan syarat mundur dari politik.
Pemilu dini juga masih sebatas prediksi, belum ada kepastian soal pelaksanaannya, apalagi hasilnya.
Yang paling penting adalah: tidak ada yang benar-benar tahu isi kepala Trump. Apa sebenarnya rencana besar yang disiapkannya untuk Gaza dan wilayah sekitarnya? Tidak ada jaminan bahwa sikap Trump hari ini akan sama esok hari jika terjadi perubahan situasi.
Tidak ada kepastian bagaimana ia memandang Gaza, perlawanan, Tepi Barat, Otoritas Palestina, atau sistem baru kawasan yang dibayangkannya. Setiap satu dari isu-isu itu saja bisa mengubah keseluruhan peta permainan.
Berdasarkan semua dinamika tersebut—baik dari sisi Palestina, kawasan, dan terutama kondisi “Israel” dari sudut pandang AS—kesepakatan yang mungkin terjadi akan berbentuk multi-tahap dalam bingkai besar yang mungkin hanya mencakup prinsip-prinsip umum.
Yang sedang dipertimbangkan saat ini misalnya, adalah versi modifikasi dari rencana Weitekoff: gencatan senjata 60 hari, pembebasan semua sandera, dan masuknya bantuan kemanusiaan. Itu bisa menjadi gerbang menuju visi besar AS, di mana Washington akan memediasi kesepakatan jangka panjang untuk mengakhiri perang, sambil mendorong lebih banyak negara Arab masuk ke dalam proyek Abraham.
“Israel” mungkin akan menerima rencana tersebut tanpa komitmen resmi menghentikan perang, tapi semua pihak tahu bahwa mereka tak akan kembali berperang. Hal itu bertentangan dengan ambisi besar Trump sang penjual kesepakatan.
Trump berhasil “menundukkan” Netanyahu sepenuhnya. Belum pernah sebelumnya pengaruh Washington atas kebijakan internal “Israel” sebesar ini. Trump ingin Netanyahu membantunya mewujudkan agenda-agenda besar, dengan imbalan: perlindungan dari pengadilan, dukungan mutlak dalam perang, dan legitimasi untuk “perdamaian paksa” dengan negara-negara Arab (dan Iran).
Menarik untuk mengamati bagaimana Trump akan menyenangkan Netanyahu dan menenangkan para ekstremis “Israel”, serta berapa harga yang harus dibayar oleh rakyat Palestina—baik dari wilayah Al-Quds maupun Tepi Barat.
Juga menarik untuk melihat apa arti “reformasi dan rehabilitasi Otoritas Palestina”. Apakah peran mereka hanya sebatas mengajarkan sejarah penderitaan dan kepahlawanan di sekolah-sekolah, menghancurkan narasi perjuangan rakyat Palestina, dan mengalihkan semua energi dan dana untuk menjaga keamanan para pemukim dan jalan-jalan khusus mereka?
Namun, hal yang paling menarik untuk dicermati adalah sikap negara-negara Arab besar. Apakah mereka akan tetap berpegang pada Inisiatif Perdamaian Arab, atau justru akan melunak lebih jauh, apalagi setelah melemahnya peran Poros Perlawanan dalam dua tahun terakhir?
Akhir kata, Gaza memang mungkin berada di ambang pelonggaran, tetapi Palestina—dalam makna rakyat, hak, dan perjuangan—masih berada di awal dari sebuah babak strategis baru, dengan bentuk-bentuk, alat, dan visi perjuangan yang baru. Adapun “perdamaian yang berbasis keadilan”, masih jauh dari kenyataan dan belum melewati fase ilusi politik yang diperdagangkan.
Artikel opini ini diterjemahkan dari Aljazeera Arabic dengan judul asli كيف نفهم قرار ترامب بشأن غزة؟ (Kaifa Nafhamu Qarāra Trāmb Bisyāni Ghazzah?) yang berarti Bagaimana Memahami Keputusan Trump Terkait Gaza?.
(Samirmusa/arrahmah.id)