KABUL (Arrahmah.id) – The New York Times, dalam laporan investigasi yang baru-baru ini diterbitkan, mengungkap budaya kekebalan yang diberikan kepada beberapa pasukan AS yang dituduh melakukan kejahatan perang di Afghanistan.
Menurut laporan tersebut, kasus-kasus terkait dugaan kejahatan perang oleh tentara Amerika di Afghanistan telah ditangani dengan standar ganda.
Laporan tersebut menyoroti dua kasus penting: Matthew Golsteyn, seorang perwira Baret Hijau, mengakui dalam sebuah wawancara dengan CIA bahwa pada 2010, saat berada di Afghanistan, ia melepaskan seorang tersangka pembuat bom dan kemudian membunuhnya, membakar tubuhnya. Kasus ini berulang kali dibuka dan ditutup, dan ia dituntut secara intensif, lansir Tolo News (2/10/2025).
Sebaliknya, kasus di distrik Nerkh di provinsi Kunduz, yang melibatkan pembunuhan dan penyiksaan sembilan tahanan Afghanistan oleh tim ODA, akhirnya ditutup meskipun terdapat banyak bukti, dan tidak ada anggota militer AS yang didakwa.
Wahid Faqiri, pakar hubungan internasional, mengatakan: “Hampir empat hingga lima laporan terbaru The New York Times tentang kejahatan perang AS di Afghanistan sungguh mengejutkan. Laporan tersebut mengungkap budaya impunitas, menunjukkan bahwa AS enggan menyelidiki kejahatan yang dilakukan oleh tentaranya di Afghanistan.”
Temuan ini mengungkapkan bahwa Komando Operasi Khusus AS telah berulang kali memilih untuk bungkam, menutup-nutupi, dan bahkan mempromosikan para terdakwa. Salah satu contohnya adalah serangan udara tahun 2015 di rumah sakit Doctors Without Borders di Kunduz, yang menewaskan 42 warga sipil. Meskipun akuntabilitas dijanjikan dalam kasus tersebut, tidak ada pejabat senior AS yang pernah dihukum.
Ruhullah Hotak, seorang analis politik, mengatakan: “Dalam menyelidiki kejahatan perang yang dilakukan di Afghanistan selama dua dekade terakhir, terdapat pendekatan standar ganda yang sepenuhnya berlaku.”
Para kritikus berpendapat bahwa standar ganda ini mencerminkan budaya loyalitas buta dan kekebalan struktural dalam Pasukan Khusus AS. Pengungkapan ini menimbulkan pertanyaan serius tentang transparansi, akuntabilitas, dan kepatuhan pasukan elit Amerika terhadap hukum perang.
Sebelumnya, Imarah Islam telah berulang kali mendesak negara-negara yang bertanggung jawab atas kejahatan perang di Afghanistan untuk membayar kompensasi dan membawa para pelaku ke pengadilan. (haninmazaya/arrahmah.id)