1. News
  2. Internasional

Netanyahu Ancam Duduki Gaza: Serius atau Sekadar Gertakan Politik?

Oleh Qadri Awad dan Diana Jarrar Penulis di Aljazeera.net
Selasa, 5 Agustus 2025 / 11 Safar 1447 20:01
Netanyahu Ancam Duduki Gaza: Serius atau Sekadar Gertakan Politik?
Surat kabar “Israel” menyatakan bahwa hingga kini belum ada keputusan final dari Netanyahu untuk menduduki Jalur Gaza. (AFP)

GAZA (Arrahmah.id) — Di tengah buntu­nya jalur negosiasi gencatan senjata di Gaza dan memburuknya krisis kelaparan akibat pengepungan ketat oleh penjajah “Israel”, muncul pernyataan dari para pejabat “Israel” dalam beberapa jam terakhir—termasuk dari Perdana Menteri Benjamin Netanyahu yang kini menjadi buronan Mahkamah Pidana Internasional—yang mengancam akan menduduki seluruh wilayah Jalur Gaza.

Media Aljazeera.net pun menanyakan kemungkinan realisasi ancaman ini kepada sejumlah analis.

Pada Selasa malam (5/8/2025), kabinet keamanan “Israel” (kabinét) dijadwalkan menggelar pertemuan penting yang diperkirakan akan menentukan arah perluasan agresi militer di Jalur Gaza. Pertemuan ini menyusul kabar bahwa Presiden Amerika Serikat Donald Trump telah memberikan lampu hijau kepada Netanyahu untuk menduduki Gaza, meskipun langkah ini ditentang oleh sebagian aparat keamanan.

Menurut harian Israel Hayom, mengutip seorang pejabat senior politik, hingga kini belum ada keputusan final dari Netanyahu untuk memerintahkan tentara melakukan serangan baru ke seluruh wilayah Gaza. Namun, arah kebijakan menuju opsi tersebut semakin menguat.

Sementara itu, sejumlah sumber menyebutkan bahwa Kepala Staf Angkatan Bersenjata “Israel”, Eyal Zamir, kemungkinan akan mengundurkan diri jika rencana pendudukan total terhadap Gaza dijalankan.

Meski begitu, Menteri Keamanan Nasional yang ekstremis, Itamar Ben Gvir, pada Selasa (5/8) mendesak Eyal Zamir agar secara terbuka menyatakan kesediaannya mematuhi perintah Perdana Menteri, meskipun perintah itu adalah pendudukan ulang Gaza.


Ancaman atau Sekadar Tekanan?

Akademisi dan pakar urusan “Israel”, Muhannad Mustafa, dalam wawancara dengan Aljazeera.net, menilai bahwa tidak ada kontradiksi antara ancaman nyata pendudukan Gaza dan penggunaan ancaman tersebut sebagai alat tekanan terhadap gerakan Hamas.

Ia menjelaskan bahwa “Israel” bersedia menerima perjanjian sementara apabila Hamas bersedia tunduk pada syarat-syarat mereka untuk gencatan senjata. Namun, bila Hamas menolak, maka ancaman pendudukan bisa berubah menjadi kenyataan.

Sebaliknya, pengamat militer dan keamanan, Usamah Khalid, berpandangan bahwa Netanyahu serius dalam upaya memperluas agresi militer di Gaza, terlebih di tengah kebuntuan politik dan diplomatik serta meningkatnya tekanan internasional atas kebijakan pengepungan dan bencana kemanusiaan di Gaza.

Dalam wawancara dengan Aljazeera.net, Khalid menyatakan bahwa Netanyahu berusaha menciptakan status quo baru yang memaksa perlawanan Palestina untuk mundur, sambil menampilkan diri sebagai pemimpin yang “menang mutlak” dengan menghancurkan perlawanan bersenjata dan menghapus pemerintahan Hamas di Gaza—demi mengamankan front selatan “Israel”.

Sementara itu, analis politik Ibrahim al-Madhoun menilai bahwa Netanyahu tidak berniat mengakhiri perang di Gaza. Justru, ia memandang kelanjutan perang sebagai alat pengungkit politik internal, di tengah krisis kepercayaan dan perpecahan sosial yang melanda “Israel”.

Menurut al-Madhoun, perluasan operasi militer juga menjadi alat tekanan dalam negosiasi, meskipun Netanyahu memahami bahwa setiap konsesi akan dibalas dengan tuntutan tambahan, yang pada akhirnya membuat proses negosiasi tidak bermakna. Ia lebih memilih eskalasi daripada gencatan senjata yang tidak memberi keuntungan konkret.

Ia juga menyebutkan bahwa negosiasi kini mengalami “kelumpuhan fungsional”. Hamas sudah menunjukkan fleksibilitas, sementara tanggapan “Israel” hanya berupa janji verbal tanpa komitmen, yang menunjukkan adanya niat licik untuk terus mengelak.

Al-Madhoun juga menyoroti bahwa peran Amerika Serikat telah berubah dari penekan menjadi pengacau, seraya menuding utusan AS Steve Witkoff sebagai mitra dalam strategi pemusnahan massal. Sikap bias ini, menurutnya, justru melemahkan jalur diplomatik dan mengembalikan proses perdamaian ke titik nol.

Sementara itu, Usamah Khalid menambahkan bahwa negosiasi kemungkinan akan terus berlangsung dalam tempo yang lebih lambat, disertai tekanan militer dan kemanusiaan yang lebih besar, hingga salah satu pihak menyerah, atau negosiasi terus terjebak dalam lingkaran setan tanpa akhir yang jelas.

Ia menegaskan bahwa Netanyahu tidak menginginkan perang berhenti, baik karena alasan politik, ideologi, maupun ambisi pribadi. Netanyahu diduga ingin menerapkan proyek ekspansi wilayah di Yerusalem, Tepi Barat, hingga Gaza.


Apakah Pendudukan Gaza Mungkin Terwujud?

Saat ditanya tentang kemungkinan pendudukan Gaza secara penuh, Muhannad Mustafa menjawab bahwa ada tantangan besar yang menghambat realisasi keputusan ini. Salah satunya adalah penolakan dari militer “Israel” sendiri.

Ia menjelaskan bahwa tentara “Israel” saat ini mengalami kelelahan berat di banyak unitnya, serta khawatir akan jatuhnya korban besar di pihak mereka. Di samping itu, tidak ada legitimasi publik untuk melanjutkan perang, dan potensi risiko terhadap nyawa para tawanan pun sangat tinggi.

Ancaman paling serius bagi militer, menurutnya, adalah kemungkinan harus menerapkan pemerintahan militer di Gaza pasca-pendudukan. Ini akan menjebak tentara “Israel” lebih dalam dalam “lumpur Gaza” dan memaksa mereka membayar mahal dalam nyawa dan biaya ekonomi.

Mustafa juga memperingatkan bahwa menduduki Gaza dan memasuki daerah padat penduduk seperti Kota Gaza dan kamp-kamp pengungsi di tengah Gaza akan memicu kemarahan publik dunia dan meningkatkan tekanan terhadap “Israel”, bahkan terhadap Amerika Serikat.

Pandangan serupa disampaikan oleh Ibrahim al-Madhoun, yang mengatakan bahwa logika militer lebih realistis, sebab mereka menyadari bahwa setiap langkah maju akan dihadapkan pada perlawanan sengit yang dapat menguras tenaga, menimbulkan kerugian manusia, dan memicu kecaman internasional.

Al-Madhoun menambahkan bahwa hingga kini, penjajah belum mampu membongkar struktur perlawanan, meski telah bertempur selama dua tahun.


Apakah Pemerintah Netanyahu Akan Mendengar Tekanan dari Keluarga Tawanan?

Terkait tekanan dari keluarga tawanan “Israel” di Gaza, al-Madhoun menyebut bahwa protes mereka menjadi tekanan moral yang tidak bisa diabaikan, apalagi setelah tersebarnya gambar-gambar kondisi mereka yang tampak sangat mengenaskan, yang memicu pertanyaan keras dari publik “Israel”. Namun, ia menegaskan bahwa pemerintah mengabaikan isu ini, dan justru memanfaatkannya sebagai alat tekanan tambahan.

Sementara itu, Muhannad Mustafa berpendapat bahwa jatuhnya korban di pihak tentara atau tawanan bisa mengubah gelombang protes menjadi “pemberontakan besar” yang tidak sanggup dihadapi oleh pemerintah.

Namun, Usamah Khalid menilai bahwa tekanan dari keluarga tawanan tak lagi seefektif dulu. Netanyahu, menurutnya, sudah terbiasa mengelola isu ini dengan berbagai cara, meski keluarga para tawanan semakin gelisah.

Ia menegaskan bahwa pemerintah “Israel” memandang setiap kekuatan yang dipegang oleh perlawanan Palestina bukan sebagai alasan untuk berkompromi, tetapi sebagai alat tawar-menawar yang bisa terus dieksploitasi.

(Samirmusa/arrhmah.id)

Editor: Samir Musa