1. Artikel

Mereka Bunuh Diri Sejak Hari Pertama Perang… Apa yang Terjadi pada Tentara “Israel”?

Oleh Dr. Ammar Ali Hassan Penulis dan peneliti di bidang sosiologi politik
Diperbaru: Rabu, 16 Juli 2025 / 21 Muharram 1447 23:37
Mereka Bunuh Diri Sejak Hari Pertama Perang… Apa yang Terjadi pada Tentara “Israel”?
Seorang tentara "Israel" menangis di makam Sersan "Israel" Adar Barsano (Getty).

(Arrahmah.id) —  Sejak awal perang brutal “Israel” di Jalur Gaza, sebanyak 44 tentara “Israel” telah bunuh diri. Dalam sepuluh hari terakhir saja, tiga tentara mengakhiri hidup mereka.

Salah satunya berasal dari Brigade Nahal, yang setelah bertempur selama satu tahun di Gaza, dipindahkan ke Dataran Tinggi Golan dan kemudian bunuh diri. Yang kedua dari Brigade Golani, menembak dirinya sendiri di pangkalan militer Sde Teyman di Gurun Negev setelah menjalani interogasi yang berujung pada penyitaan senjatanya. Sedangkan yang ketiga mengeluhkan penderitaan mental akibat horor yang ia saksikan selama perang, lalu menembak dirinya sendiri.

Fenomena bunuh diri kini menjadi penyebab kematian terbesar kedua di antara pasukan penjajah, yang menderita kerugian berat akibat serangan gerilya dan jebakan mematikan yang disiapkan oleh perlawanan Palestina. Sebagian tentara bahkan menolak kembali ke Gaza, dan sebagian dari mereka kini dipenjara karena membangkang.

Banyak tentara “Israel” mengeluhkan gangguan kejiwaan—baik karena takut kehilangan nyawa, maupun akibat rasa bersalah atas kejahatan dan kehancuran yang mereka timbulkan di Gaza. Sebanyak 75% veteran perang membutuhkan dukungan psikologis, dan ribuan lainnya menjalani perawatan karena gangguan stres pascatrauma (PTSD), memaksa militer menyediakan sekitar 800 psikolog untuk membantu mereka.

Media-media “Israel” menyebut pemerintah gagal menjaga moral tentaranya dan tak mampu memenuhi kebutuhan bantuan psikologis. Organisasi Breaking the Silence—yang beranggotakan para veteran perang—menuduh militer menyembunyikan kondisi mental para tentara dan perwira yang terluka secara psikologis.

Surat kabar Haaretz bahkan mengungkap bahwa banyak kasus bunuh diri disamarkan sebagai “kecelakaan”. Di media sosial “Israel”, para tentara yang mengalami gangguan mental mulai disebut sebagai “korban diam 7 Oktober.”

Sementara itu, laporan dari media Italia Insanid Over mengisahkan seorang tentara cadangan bernama Daniel Edri yang dihantui oleh gambaran jenazah-jenazah hangus yang terus mengganggu tidurnya. Ia akhirnya membakar dirinya sendiri di dekat kota Safed. Dalam surat yang ia tulis kepada rekannya, ia berkata: “Saudaraku, pikiranku runtuh. Aku telah menjadi bahaya, bom yang siap meledak.”

Ibunya mengungkap bahwa putranya disiksa oleh trauma perang yang membuatnya tak bisa tidur, dibayangi aroma daging terbakar dan mayat rekan-rekannya yang ia evakuasi dengan tangannya sendiri. Hal ini diperparah oleh kenyataan bahwa ia kehilangan dua sahabat dalam perang.

Hal senada diungkapkan ibu dari tentara cadangan Eliran Mizrahi, yang bunuh diri setelah bertugas selama 78 hari di Gaza. Ia berkata: “Ia memang keluar dari Gaza, tapi Gaza tak pernah keluar dari dirinya.”

Tragedi ini juga menimpa para perwira. Seorang perwira aktif menembak kepalanya dua pekan setelah dimulainya Perang Thufan Al-Aqsha. Seorang lainnya berpangkat letnan kolonel, seorang mayor, dan bahkan seorang dokter militer juga bunuh diri karena tidak mampu lagi menyaksikan tubuh-tubuh hangus dan darah yang berserakan.

Fenomena ini menunjukkan bahwa krisis mental di kalangan militer “Israel” lebih dalam dibandingkan perang-perang sebelumnya. Banyak tentara dan perwira perlahan kehilangan karakter dasar seorang prajurit: rasa percaya diri, keberanian, semangat, dan keyakinan terhadap keadilan misi mereka.

Gejala ini serupa dengan yang mendorong tentara-tentara dari berbagai negara dalam sejarah untuk bunuh diri—rasa kalah, ketidakmampuan memenangkan perang, ketidakjelasan arah, ketakutan tertangkap, perintah melakukan kejahatan perang, atau perang yang berkepanjangan tanpa harapan.

Hal ini pernah dialami oleh ratusan tentara Jerman pada akhir Perang Dunia II, serta oleh tentara AS di Irak dan Afghanistan. Bahkan Departemen Pertahanan AS mengakui bahwa bunuh diri tentara menjadi salah satu masalah paling kompleks yang mereka hadapi.

Banyak studi menyebutkan bahwa bunuh diri di kalangan militer dipicu oleh gangguan stres pascatrauma, depresi, konsumsi alkohol, perundungan, pelecehan seksual, hingga rasa bersalah dan kecenderungan menyakiti diri.

Penyair Amerika keturunan Serbia, Charles Simic, menggambarkan fenomena ini dalam memoarnya A Fly in the Soup, saat ia bertanya-tanya tentang perasaan pilot-pilot Perang Dunia II ketika menekan tombol bom yang menghancurkan rumah-rumah dan membakar manusia hidup-hidup.

Namun, kasus “Israel” memiliki dimensi tersendiri—di antaranya adalah birokrasi militer yang kaku, pengabaian terhadap nyawa tentara, serta ketidakpedulian pemerintah terhadap nasib tawanan perang, yang terlihat jelas dari keputusan menerapkan Protokol Hannibal sejak awal perang.

Selain itu, ada tekanan dari para perwira lapangan agar tentara tidak mengungkap kondisi psikologis mereka, agar tidak menyebarkan kepanikan. Siapa yang melanggar diperiksa, didenda, bahkan diancam penjara.

Kini, sebagian tentara yang direkrut bahkan memiliki gangguan kejiwaan, karena tentara tidak punya waktu untuk menyeleksi akibat tekanan perang yang tinggi. Seorang perwira mengatakan, “Kami bertempur dengan siapa pun yang tersedia. Dampaknya kita pikirkan nanti.”

Situasi ini memperburuk krisis psikologis di tubuh militer, dan para ahli memperkirakan bahwa sekitar 50.000 tentara “Israel” akan membutuhkan perawatan mental dalam beberapa tahun ke depan, yang berarti angka bunuh diri akan terus meningkat, baik selama perang maupun setelahnya.

Meski bunuh diri di militer “Israel” bukan hal baru—sekitar 1.230 tentara telah bunuh diri sejak Perang Oktober 1973—namun dalam Perang Thufan Al-Aqsha, tren ini berubah secara drastis. Dulu, bunuh diri terjadi setelah perang usai, kini terjadi di tengah pertempuran.

Hal ini mengejutkan Yossi Tevi Balz, kepala Pusat Riset Bunuh Diri dan Nyeri Psikologis, yang berkata: “Ini benar-benar mengejutkan. Bunuh diri terjadi pada hari-hari pertama pertempuran, bukan setelah perang berakhir sebagaimana biasanya.”


Artikel opini ini diterjemahkan dari Al Jazeera Arabic dengan judul asli dalam bahasa Arab: ينتحرون منذ اليوم الأول للمعركة.. ماذا يحدث لجنود جيش إسرائيل؟, dalam tulisan latin: Yantahiruna mundzu al-yaum al-awwal lil-ma‘rakah.. madza yahduts lijunud jaysy Israil?, yang berarti: Mereka Bunuh Diri Sejak Hari Pertama Perang… Apa yang Terjadi pada Tentara “Israel”?

(Arrahmah.id)

Editor: Samir Musa