1. Opini

Menkeu manipulasi Zakat, Wakaf, Pajak

Oleh Ustaz Irfan S. Awwas
Ahad, 17 Agustus 2025 / 23 Safar 1447 02:21
Menkeu manipulasi Zakat, Wakaf, Pajak

(Arrahmah.id) – Sri Mulyani Indrawati telah menjabat sebagai Menteri Keuangan selama 4 periode di bawah tiga presiden berbeda secara berturut-turut: Presiden SBY (2005–2014), Jokowi (2016–2024), dan Prabowo (2024–sekarang).

Meskipun memiliki pengalaman luas, kinerjanya justru menuai kontroversi, terutama terkait dengan utang negara yang semakin meningkat dan kebijakan pajak yang memberatkan rakyat.

Akhir-akhir ini, Sri Mulyani semakin banyak menuai kontroversi karena berulangkali mengeluarkan pernyataan yang meresahkan. Mulai dari pernyataannya tentang gaji guru dan dosen yang dianggap sebagai beban negara, hingga pernyataan blundernya yang terkesan memanipulasi ajaran agama. Ia menyatakan bahwa membayar pajak memiliki manfaat yang sama mulianya dengan zakat dan wakaf. Menurutnya, setiap rezeki dan harta yang dimiliki terdapat hak orang lain yang dapat disalurkan melalui tiga cara tersebut. Sri Mulyani menjelaskan bahwa pajak digunakan untuk membantu masyarakat menengah bawah melalui berbagai program, seperti bantuan sosial dan penyediaan layanan kesehatan gratis.

“Dalam setiap rezeki dan harta yang kamu dapatkan ada hak orang lain. Caranya hak orang lain itu diberikan, ada yang melalui zakat, wakaf, ada yang melalui pajak, dan pajak itu kembali kepada yang membutuhkan,” kata Sri Mulyani dalam acara Sarasehan Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah, Rabu 13 Agustus 2025.

Beda Pajak, Zakat, dan Wakaf

Pajak, zakat, dan wakaf memiliki tujuan mulia untuk kemaslahatan bersama, namun berbeda dalam hal landasan hukum, sifat kewajiban, dan penerima manfaatnya.

Pajak merupakan salah satu sumber pembiayaan negara yang digunakan untuk kepentingan semua rakyat tanpa membedakan agama. Sedangkan zakat adalah kewajiban ibadah bagi setiap muslim yang mampu, dan salah satu dari 5 rukun Islam, untuk membantu sesama, khususnya golongan yang berhak menurut syariat Islam. Adapun wakaf adalah amal jariyah yang bersifat sukarela dan berkelanjutan, biasanya dalam bentuk fasilitas ibadah, pendidikan, atau kegiatan sosial.

Ketiganya memiliki peran penting dalam menciptakan keadilan sosial dan kesejahteraan. Pajak menjadi sumber pembiayaan negara, zakat membantu distribusi kekayaan kepada yang membutuhkan, dan wakaf menyediakan manfaat jangka panjang yang berkelanjutan (jariyah). Perintah berzakat terdapat dalam Al-Qur’an dan hadits, serta merupakan salah satu dari 5 rukun Islam.

Firman Allah SWT:

خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْۗ اِنَّ صَلٰوتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ

“Wahai Muhammad, pungutlah zakat dari sebagian harta orang-orang mukmin, agar dengan zakat itu engkau dapat membersihkan harta mereka dan menyucikan jiwa mereka. Wahai Muhammad, doakanlah mereka. Doamu menjadikan hati kaum mukmin tenang. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui perbuatan kalian.” (QS At-Taubah [9]: 103)

Kisah Imam Nawawi Menolak Pajak

Imam Nawawi, seorang ulama besar, menolak permintaan penguasa untuk memungut pajak tambahan demi membiayai peperangan. Beliau menolak dengan alasan bahwa kas negara belum kosong, aset pribadi penguasa dan pejabat belum dimanfaatkan, dan belanja negara belum dihemat dari pos-pos yang tidak mendesak.

Suatu masa, terjadi kemarau panjang di negeri Syam. Tanah pertanian mengering, ternak-ternak banyak yang mati, rakyat hidup dalam kemiskinan. Dalam kondisi serba sulit itu, tersiar kabar bahwa pasukan Mongol dan Tartar yang terkenal kejam dan memusuhi Islam akan datang menyerang. Rakyat khawatir mereka akan menghancurkan negeri Syam.

Maka Raja Zhahir Baibars, penguasa Syam kala itu, memerintahkan seluruh rakyat untuk menggalang dana guna membiayai perang. Dana perang harus segera terkumpul, dan suara serta fatwa ulama akan dijadikan alat legitimasi.

Hampir seluruh ulama Syam setuju, kecuali beberapa orang yang menolak. Namun, setelah diancam dan diintimidasi aparat negara, akhirnya mereka yang tadinya menolak terpaksa setuju—kecuali seorang ulama yang teguh menolak, yaitu Imam An-Nawawi.

Penolakan Imam Nawawi disertai argumentasi:

“Sesungguhnya rakyat Syam sekarang sedang ditimpa kemelaratan. Berat bagi mereka bila dipungut pajak untuk biaya perang. Dan bukankah masih ada dana lain yang bisa ditarik tanpa menyulitkan masyarakat?” kata Imam Nawawi.

“Dana apa itu?” tanya sang Raja.

“Bukankah terdapat ribuan pegawai kerajaan yang kekayaannya melimpah, pakaian kebesaran mewah dan ditaburi emas permata. Bahkan di dalam istana terdapat dayang-dayang dengan perhiasan serta pakaian mewah. Maka sebaiknya raja menggunakan kekayaan pribadinya yang jumlahnya tak terhitung untuk membiayai jihad,” jawab Imam Nawawi.

Raja Baibars marah, bahkan sempat mencurigai Imam Nawawi sebagai musuh kerajaan, antek-antek musuh asing yang ingin menguasai kerajaannya. Lalu ia mengusir Imam Nawawi dari negeri Syam.

Kisah Imam Nawawi menolak pajak mengajarkan kita tentang pentingnya keadilan dan transparansi dalam pengelolaan keuangan negara. Pemimpin harus memastikan bahwa keuangan negara dikelola dengan baik dan tidak memberatkan rakyat. Jika kas negara kosong karena penyalahgunaan oleh pejabat, maka tidak adil untuk mengambil pajak dari rakyat. Oleh karena itu, pemerintah harus lebih fokus dalam memberantas korupsi, mengembalikan dana negara yang disalahgunakan, serta melakukan efisiensi pada pos-pos pengeluaran yang tidak mendesak.

Yogyakarta, Ahad 17/8/2025
IRFAN S. AWWAS

(*/arrahmah.id)

Editor: Samir Musa