1. Opini
  2. Geopolitik

Mengapa Netanyahu Membuka Kembali Wacana ‘Israel Raya’ Sekarang?

Oleh Dr. Mahmoud Al-Hanafi Pakar Hukum Internasional dan Hak Asasi Manusia
Jumat, 15 Agustus 2025 / 21 Safar 1447 21:39
Mengapa Netanyahu Membuka Kembali Wacana ‘Israel Raya’ Sekarang?
Perdana Menteri “Israel” Benjamin Netanyahu (AFP)

(Arrahmah.id) – Dalam pernyataan yang mengungkap esensi proyek Zionis, Perdana Menteri “Israel” Benjamin Netanyahu menyatakan keterkaitannya yang mendalam dengan visi “Israel Raya”, menggambarkan doktrin ekspansionis yang telah ada sejak awal gerakan Zionis. Visi ini melampaui batas-batas negara yang diakui secara internasional, membuka peluang untuk pemukiman dan aneksasi atas tanah-tanah Arab dan Palestina.

Pernyataan ini bukanlah sekadar kekeliruan atau provokasi sementara, melainkan pengakuan sengaja atas proyek ideologis yang telah mengakar dalam pemikiran dan politik “Israel”, yang terus muncul kembali setiap kali situasi regional dan internasional memungkinkan. Artikel ini mengulas waktu pengumuman Netanyahu tentang mimpinya untuk “Israel Raya”, akar sejarah dan ideologis konsep ini sejak awal Zionisme Revisi, hingga kemunculannya kembali secara terang-terangan dalam pidato terbarunya. Artikel ini juga menganalisis dimensi pernyataan tersebut—baik dari latar belakang ideologis maupun kalkulasi politik saat ini—serta mengevaluasi reaksi regional dan internasional, implikasi hukum dan politiknya, termasuk pertanyaan kritis tentang efektivitas perjanjian damai dan normalisasi, serta kebutuhan mendesak untuk menyatukan barisan dalam menghadapi proyek kolonial yang diumumkan tanpa tedeng aling-aling.

Konsep “Israel Raya” dan Konteks Sejarah

Istilah “Israel Raya” merujuk pada visi ekspansionis batas-batas negara “Israel” yang, dalam beberapa versinya, didasarkan pada narasi Taurat dan sejarah. Visi ini bervariasi: sebagian mencakup seluruh wilayah Palestina historis (dari sungai hingga laut), sementara versi yang lebih ekstrem melibatkan aneksasi sebagian wilayah Yordania, Lebanon, Suriah, Mesir, bahkan Irak dan Jazirah Arab.

Istilah ini menguat setelah Perang Juni 1967, ketika “Israel” menduduki Tepi Barat, Jalur Gaza, Yerusalem Timur, Semenanjung Sinai, dan Dataran Tinggi Golan. Namun, akarnya lebih dalam. Aliran Zionisme Revisi di bawah pimpinan Ze’ev Jabotinsky—bapak spiritual Partai Likud yang menjadi afiliasi Netanyahu—mengadopsi gagasan “Israel Raya”, yang menyatakan bahwa tanah air nasional Yahudi harus mencakup Palestina di bawah Mandat Inggris, baik bagian barat maupun timur, termasuk Tepi Barat, Gaza, dan Yordania timur (Yordania saat ini). Mereka mengusung slogan, “Kedua tepi Sungai Yordan adalah milik kita”, menegaskan klaim atas tepi timur sungai tersebut.

Sikap “Israel” terhadap visi ini bervariasi. Pasca-ekspansi besar pada 1967, “Israel” mengembalikan Sinai ke Mesir melalui Perjanjian Camp David 1979, namun menganeksasi Yerusalem Timur dan Golan secara resmi melalui undang-undang sepihak yang ditolak komunitas internasional. Tepi Barat dan Gaza tetap berada di bawah pendudukan langsung tanpa aneksasi resmi, meski kebijakan pemukiman intensif memperkuat kontrol de facto. Dalam konteks Perjanjian Oslo pada 1990-an, yang secara teori membuka jalan bagi negara Palestina, penggunaan istilah “Israel Raya” meredup dalam wacana resmi, tetapi tetap hidup di kalangan nasionalis dan kelompok religius sayap kanan.

Partai Likud, sejak berdiri, dengan keras menolak pembentukan negara Palestina dan berkomitmen untuk tidak menyerahkan Tepi Barat dan Gaza. Meskipun Netanyahu pada 2009 tampak menerima gagasan negara Palestina dengan syarat tertentu, kebijakan berikutnya menunjukkan penolakan praktis terhadap solusi dua negara. Kini, pernyataannya menghidupkan kembali istilah yang selama beberapa dekade dihindari pemimpin “Israel” untuk diucapkan secara terbuka, karena implikasi kolonialnya yang berbahaya—menandakan kembalinya ambisi ekspansionis ke pusat wacana resmi di tingkat tertinggi.

Netanyahu dan Visi “Israel Raya”: Antara Ideologi dan Pragmatisme Politik

Pernyataan Netanyahu muncul di tengah situasi politik dan keamanan yang tegang. Ia memanfaatkan suasana pasca-7 Oktober untuk membenarkan perang pemusnahan di Gaza dan pendekatan serupa berupa pembunuhan serta pengusiran di Tepi Barat.

Pada 12 Agustus 2025, dalam wawancara dengan i24 News yang ditujukan bagi audiens lokal dan internasional, presenter sayap kanan ekstrem Sharon Gal memberikan Netanyahu kalung dengan peta “Tanah Perjanjian” yang mencakup Palestina yang diduduki, serta sebagian wilayah Yordania, Lebanon, Suriah, dan Mesir. Saat ditanya apakah ia merasa “terkait” dengan visi ini, Netanyahu menjawab tegas, “Sangat”, sambil menambahkan bahwa ia sedang menjalankan “misi bersejarah dan spiritual” untuk mewujudkan mimpi generasi Yahudi.

Pernyataan ini, disampaikan dalam bahasa Ibrani di hadapan audiens domestik bersama presenter nasionalis ekstrem, merupakan pesan bagi basis sayap kanan dan sekutunya di pemerintahan seperti Smotrich dan Ben-Gvir bahwa visinya tidak kalah radikal dari agenda mereka. Ini juga datang setelah pemungutan suara Knesset pada Juli 2025 yang mayoritasnya mendukung resolusi simbolis aneksasi Tepi Barat, serta undang-undang 2023 yang mengukuhkan kedaulatan hukum “Israel” atas pemukiman dan membatalkan pelepasan keterlibatan dengan Gaza.

“Israel Raya” dalam konteks ini bukan sekadar slogan, tetapi perpanjangan verbal dari kebijakan aneksasi bertahap di lapangan. Dimensi ideologisnya kuat, mengacu pada warisan Zionisme Revisi Jabotinsky. Namun, ada pula aspek pragmatis: Netanyahu menggunakan wacana ini di tengah krisis domestik untuk memulihkan popularitas yang merosot akibat perang berkepanjangan di Gaza, kegagalan mencapai target yang diumumkan, serta meningkatnya protes, sekaligus untuk memanfaatkan posisi tawar dalam negosiasi regional seperti proses normalisasi.

Reaksi Regional dan Internasional

Pernyataan Netanyahu memicu gelombang kecaman dari dunia Arab dan Islam. Yordania, Arab Saudi, Qatar, dan Mesir memperingatkan dampaknya terhadap keamanan dan kedaulatan regional. Kairo menyoroti bahaya bagi Sinai, mengacu pada perjanjian damai yang menekankan penghormatan terhadap batas-batas. Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Maroko menyatakan penolakan terhadap pelanggaran hak-hak Palestina dan tetap berkomitmen pada solusi dua negara, meski dengan nada diplomatis.

Organisasi Kerjasama Islam (OKI) mengutuk wacana ini sebagai provokasi berbahaya, sementara faksi-faksi Palestina menegaskan bahwa pernyataan Netanyahu mencerminkan sifat kolonial proyek Zionis. Sebaliknya, Barat merespons lemah—Amerika Serikat dan Uni Eropa hanya menyatakan “keprihatinan” secara tertutup, seakan ini urusan internal “Israel”. Sikap ini mencerminkan standar ganda, sebab pernyataan serupa dari pejabat negara lain tentang aneksasi biasanya memicu kecaman dan sanksi keras.

Pernyataan Netanyahu bukan ucapan sembarangan, tetapi deklarasi ideologis yang menolak negara Palestina merdeka dan mengakui niat ekspansi atas tanah Arab. Mengabaikannya membuka peluang menjadi kebijakan nyata di lapangan, apalagi dengan terus berlanjutnya pemukiman dan aneksasi bertahap.

Apa yang Dibutuhkan?

Kecaman saja tidak cukup. Diperlukan langkah nyata: menuntut “Israel” mencabut pernyataan tersebut, membawa isu ini ke Dewan Keamanan dan Majelis Umum PBB, meminta pendapat hukum baru dari Mahkamah Internasional, mengevaluasi ulang perjanjian normalisasi yang ada, serta menerapkan tekanan diplomatik dan ekonomi untuk membuat “Israel” merasakan isolasi regional dan internasional.

Pengalaman Afrika Selatan menunjukkan bahwa pernyataan rasis pemimpin apartheid dapat memicu delegitimasi global yang berujung pada boikot menyeluruh. Kini, pernyataan Netanyahu memberi amunisi moral dan politik bagi gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS) untuk menegaskan bahwa “Israel” adalah negara apartheid, sebagaimana disimpulkan Amnesty International dan Human Rights Watch.

Implikasi Hukum dan Politik

Meski sebagian pihak di “Israel” meremehkannya sebagai referensi sejarah, pernyataan ini jelas bertentangan dengan hukum internasional, khususnya prinsip larangan aneksasi wilayah dengan kekerasan. Mengatakan dirinya “sangat terkait” dengan visi “Israel Raya” berarti menolak batas-batas yang diakui secara internasional dan memandang keberadaan Palestina merdeka sebagai sesuatu yang sementara.

Jika pejabat negara lain menyatakan keinginan menganeksasi wilayah tetangga, respons internasional pasti keras. Ironisnya, pernyataan Netanyahu tidak mendapat perlakuan serupa—sebuah standar ganda yang nyata. Lebih jauh, faksi Palestina dicap ekstremis ketika menuntut negara Palestina dari sungai hingga laut, sementara “Israel” bisa terbuka menyerukan ekspansi tanpa konsekuensi setara.

Kesimpulan

Pernyataan Netanyahu memunculkan pertanyaan: apakah perdamaian Mesir–“Israel” hanya gencatan senjata sementara? Apakah Perjanjian Oslo dan Wadi Araba bagian dari strategi penipuan? Apakah normalisasi hanyalah kelanjutan dari pendekatan itu?

Wacana ini menjadi panggilan bagi semua pihak untuk bersatu menghadapi pendudukan yang kini menampakkan wajah aslinya. Saatnya mengambil tindakan nyata untuk menghentikan ambisi ekspansionis yang mengancam perdamaian dan stabilitas kawasan.

Catatan: Artikel opini ini diterjemahkan dari Al Jazeera berbahasa Arab dengan judul asli: “لماذا أعاد نتنياهو طرح فكرة إسرائيل الكبرى الآن؟” (Limādza a‘āda Natanyāhu tarḥ fikrat Isrā’īl al-Kubrā al-ān?), yang dalam bahasa Indonesia berarti “Mengapa Netanyahu Membuka Kembali Wacana ‘Israel Raya’ Sekarang?”.

(*/arrahmah.id)

Editor: Samir Musa