GAZA (Arrahmah.id) – Peta politik Timur Tengah semakin bergejolak setelah Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Marco Rubio, mendarat di ‘Israel’. Perjalanannya ini berlangsung tepat sebelum ia terbang ke Qatar, yang tengah menjadi tuan rumah dua pertemuan darurat: KTT Teluk dan KTT Arab-Islam, usai serangan ‘Israel’ ke wilayahnya.
Di Gaza, pasukan ‘Israel’ melancarkan operasi besar-besaran. Ledakan demi ledakan terdengar begitu dahsyat hingga getarnya mencapai Tel Aviv. Semua ini mempertegas bahwa ‘Israel’ kembali mendapat restu Washington untuk terus menekan Gaza. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu ingin mempercepat operasi agar bisa masuk ke meja perundingan dengan posisi lebih kuat dan memaksakan syarat-syaratnya.
Pengamat urusan ‘Israel’, Muhannad Mustafa, menilai jelas: penekanan Rubio saat bertemu Netanyahu hanyalah dua hal, pembebasan sandera dan penghancuran total Hamas. Pandangan ini sejalan dengan “lima syarat” Netanyahu untuk mengakhiri perang: melucuti senjata Hamas, mengendalikan Gaza sepenuhnya, membebaskan sandera, menempatkan keamanan di tangan ‘Israel’, dan menghadirkan pemerintahan sipil alternatif yang bukan Hamas maupun Otoritas Palestina.
Jika Hamas menolak, Netanyahu sudah menyiapkan jalur kedua: pendudukan penuh Gaza dengan pemerintahan militer ‘Israel’.
Masalahnya, Washington dan Tel Aviv tidak sepenuhnya sejalan, terutama soal waktu. AS belum punya gambaran jelas mengenai masa depan Gaza, sementara Netanyahu lihai memengaruhi kebijakan Amerika agar searah dengan kepentingan ‘Israel’. Mustafa menegaskan, perang yang pecah sejak musim panas 2024 ini bukan lagi tentang “7 Oktober”, melainkan proyek ideologis ‘Israel’ untuk meraih apa yang mereka sebut “kemenangan mutlak”.
Peneliti Al Jazeera, Liqa’ Makki, menambahkan, gencarnya serangan ‘Israel’ hanyalah bagian dari rencana menguasai Gaza dan mengusir penduduknya. Dari sudut pandang ‘Israel’, perang tidak akan berakhir sebelum “masalah Gaza” selesai total, yaitu memastikan tak ada lagi ruang bagi kelompok perlawanan tumbuh.
Namun, jalur diplomasi semakin kehilangan daya. Apalagi setelah ‘Israel’ menyerang delegasi Hamas yang sedang bernegosiasi di Doha. Serangan itu membuat Qatar kesulitan meyakinkan Hamas agar menerima tawaran AS. Bagi Makki, serangan ke Qatar ini ibarat lonceng alarm: pertanda bahwa ‘Israel’ bukan hanya membidik Gaza, tapi juga mengincar dominasi kawasan.
Analis politik Ahmad Atauna sependapat. Menurutnya, AS sejauh ini hanya peduli pada urusan sandera, tanpa peta jalan nyata untuk mengakhiri perang. Situasi yang ada kini terbelah dua: jalur militer yang mendapat dukungan penuh AS, dan jalur politik yang lebih mirip permainan waktu, penuh disinformasi dan pengalihan isu, sekadar memberi ruang bagi ‘Israel’ untuk mengklaim “kemenangan di medan perang”.
Di sisi lain, mantan pejabat Departemen Luar Negeri AS, Thomas Warrick, mengungkapkan bahwa Rubio dan Netanyahu mungkin juga sempat membicarakan soal aneksasi sebagian wilayah Tepi Barat. Meski belum jelas apakah Washington sudah siap dengan skenario “pascaperang Gaza”, ada beberapa agenda AS yang pasti: mengakhiri perang, melemahkan Hamas, membebaskan sandera, dan memastikan bantuan kemanusiaan masuk. Warrick bahkan menambahkan, militer ‘Israel’ sebenarnya enggan menguasai Gaza sepenuhnya, tetapi tunduk pada perintah politik, dan operasi militer kemungkinan akan dipacu lebih cepat. (zarahamala/arrahmah.id)