GAZA (Arrahmah.id) – Mayoritas warga Palestina dari Gaza yang ditahan ‘Israel’ tanpa dakwaan atau pengadilan ternyata adalah warga sipil, bukan pejuang. Hanya sekitar satu dari empat tahanan yang benar-benar diidentifikasi sebagai anggota kelompok bersenjata, menurut data rahasia yang diungkap dalam investigasi bersama The Guardian, +972 Magazine, dan media berbahasa Ibrani Local Call.
Dalam laporan itu terungkap, di antara mereka yang kini meringkuk di penjara ‘Israel’ ada tenaga medis, guru, pegawai negeri, jurnalis, penulis, orang sakit dan penyandang disabilitas, bahkan anak-anak. Mereka semua ditahan tanpa batas waktu, tanpa pernah dihadapkan ke pengadilan.
Data tersebut berasal dari basis data rahasia milik Direktorat Intelijen Militer ‘Israel’ (Aman), serta statistik resmi dari layanan penjara ‘Israel’ yang terungkap lewat proses hukum. Database ini memuat lebih dari 47 ribu nama yang dicap sebagai anggota Hamas dan Jihad Islam Palestina (PIJ).
Data penahanan yang terungkap pada Mei lalu mencatat bahwa 6.000 warga Palestina ditangkap dari Gaza selama 19 bulan pertama genosida, dengan dalih “pejuang ilegal”, status hukum yang memungkinkan ‘Israel’ menahan seseorang tanpa dakwaan maupun pengadilan.
Dalam laporan publiknya, Layanan Penjara ‘Israel’ (IPS) mengklaim hampir semua tahanan itu adalah pejuang Hamas atau PIJ, meski tak pernah menunjukkan bukti. Namun, data internal Aman justru menunjukkan hal sebaliknya: hanya 1.450 orang yang benar-benar berasal dari sayap militer Hamas dan PIJ. Itu berarti sekitar tiga perempat tahanan bukan bagian dari kelompok bersenjata.
Selain itu, ada sekitar 300 warga Gaza yang ditahan dengan tuduhan terlibat dalam serangan 7 Oktober. ‘Israel’ bersikeras punya bukti untuk mengadili mereka, tapi hingga kini belum ada satu pun persidangan digelar.
Perempuan dan Lansia Ikut Ditahan
Ketika foto-foto warga Gaza yang ditelanjangi dan diborgol ramai memicu kemarahan dunia pada akhir 2023, para perwira ‘Israel’sendiri mengakui kepada Haaretz bahwa 85–90 persen dari mereka bukanlah anggota Hamas.
Kasus-kasusnya memilukan. Fahamiya al-Khalidi, nenek berusia 82 tahun penderita Alzheimer, diculik bersama perawatnya di Gaza City pada Desember 2023. Ia ditahan ‘Israel’ selama enam pekan. Abeer Ghaban, seorang ibu tunggal berusia 40 tahun, dipisahkan dari anak-anaknya selama 53 hari. Saat akhirnya dibebaskan, ia mendapati anak-anaknya terpaksa mengemis di jalanan. “Mereka masih hidup, tapi melihat kondisi mereka setelah 53 hari tanpa saya, hati saya hancur. Rasanya lebih baik saya tetap di penjara daripada menyaksikan mereka begitu,” kisahnya.
Organisasi HAM menilai jumlah warga sipil yang ditahan bahkan lebih besar dari angka yang diakui ‘Israel’. “Kami percaya proporsi warga sipil jauh lebih tinggi,” ujar Samir Zaqout, wakil direktur Al Mezan Center for Human Rights di Gaza. Menurutnya, paling banyak hanya satu dari enam atau tujuh tahanan yang punya kaitan nyata dengan Hamas atau kelompok lain, itu pun belum tentu lewat sayap militer.
Undang-undang “pejuang ilegal” memang memberi ‘Israel’ keleluasaan menahan orang tanpa bukti di pengadilan dan tanpa akses pengacara untuk waktu yang lama. “Sejak gelombang penangkapan massal dimulai pada Oktober 2023, sudah ada kekhawatiran bahwa banyak orang yang sama sekali tidak terlibat turut diseret,” kata Tal Steiner dari Public Committee Against Torture. “Dan kekhawatiran itu terbukti benar. Setengah dari mereka yang ditangkap di awal perang akhirnya dibebaskan, bukti bahwa sejak awal tidak ada alasan kuat untuk menahan mereka.”
Perlindungan Hukum Dikesampingkan
Hassan Jabareen, direktur lembaga HAM Palestina Adalah, menegaskan undang-undang ini pada dasarnya menghapus semua perlindungan hukum internasional bagi warga sipil. Label “pejuang ilegal” dijadikan dalih untuk secara sistematis menolak hak-hak mereka.
‘Israel’ mengklaim sudah memulangkan lebih dari 2.000 tahanan sipil ke Gaza setelah “tak menemukan keterlibatan militer.” Tapi pada saat bersamaan, mereka tetap menyebut bahwa musuh-musuhnya menyamar sebagai warga sipil. Menurut The Guardian, militer ‘Israel’ tidak menyangkal keberadaan data tersebut, hanya saja bersikeras bahwa “sebagian besar tahanan terlibat aktivitas teror.”
Hingga Agustus lalu, Layanan Penjara ‘Israel’ tercatat menahan 2.662 orang dengan status “pejuang ilegal”. Seorang perwira ‘Israel’ bahkan terang-terangan berkata: “Bagi tentara, tidak ada bedanya antara teroris yang masuk ‘Israel’ pada 7 Oktober dan seorang pekerja dinas air di Khan Yunis.”
Rabu lalu (3/9/2025), kelompok pembela tahanan Palestina mengonfirmasi jumlah total warga Palestina yang ditahan ‘Israel’ kini menembus 11.000 orang, angka tertinggi sejak Intifada Kedua pada 2000.
Jumlah ini tidak termasuk mereka yang masih ditahan di kamp-kamp militer ‘Israel’. Mayoritas adalah tahanan administratif dan mereka yang menunggu proses pengadilan. Di antara mereka ada 94 perempuan (dua di antaranya dari Gaza) dan lebih dari 400 anak-anak. Menurut data resmi Palestina, tahanan administratif mencapai 3.577 orang, persentase tertinggi dibanding kelompok tahanan lain. (zarahamala/arrahmah.id)