Sebulan lagi genap tiga tahun Masjid Raya Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta (PPIJ) atau yang lebih dikenal dengan sebutan Jakarta Islamic Centre (JIC) tidak dapat difungsikan sebagaimana mestinya. Pada Rabu, 19 Oktober 2022 lalu—hanya dua hari setelah serah terima kepemimpinan DKI Jakarta dari Anies Baswedan kepada Pj Gubernur Heru Budi Hartono—kubah masjid ini terbakar hebat hingga akhirnya runtuh.
Selama tiga tahun terakhir, ibadah shalat fardhu, shalat Jumat, shalat Ied, serta berbagai kegiatan pengajian maupun acara insidental lainnya dilakukan di Convention Hall. Pj Gubernur pernah datang, perwakilan Arab Saudi juga pernah meninjau, Wagub Rano dan Gubernur Pramono pun telah melihat langsung kondisi di lapangan. Namun hingga kini, belum ada tanda-tanda bahwa masjid tersebut akan direnovasi, apalagi dibangun kembali.
JIC sendiri dibangun di era Gubernur Sutiyoso di atas lahan bekas lokalisasi terbesar di Asia Tenggara, Kramat Tunggak, Koja, Jakarta Utara. Karena itu, Bang Yos menyebut tempat tersebut dengan istilah “dari haram jadah menjadi sajadah.”
Visi JIC sangat mulia: menjadi pusat peradaban Islam. Misinya ada dua, yaitu:
- Mewujudkan Pusat Pengembangan Sumber Daya Muslim, Pengkajian, Data dan Informasi, serta Budaya Islam di Jakarta bertaraf internasional.
- Mewujudkan Pusat Pengembangan Islam Jakarta sebagai landmark dengan sosok fisik yang monumental dan bernuansa Islami, dengan masjid sebagai sentrumnya.
Pertanyaannya, jika peradaban Islam itu menjadikan masjid sebagai pusatnya, maka ketika Masjid JIC saja hingga kini tidak dapat difungsikan, bagaimana misi tersebut akan dilaksanakan?
Peradaban: Adil dan Moderat
Sebagai lembaga yang bervisi pusat peradaban Islam, aktivitas dan tata kelola organisasi JIC semestinya berjalan dengan cara-cara beradab, menghimpun keragaman serta perbedaan. Sebab membangun peradaban bukanlah menghimpun persamaan semata, melainkan mengelola perbedaan dengan adil.
Seorang cendekiawan Mesir, Prof. Dr. Raghib As-Sirjani, dalam bukunya “Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia” menyebutkan empat karakteristik peradaban Islam: universalitas, tauhid, adil dan moderat, serta sentuhan akhlak.
Pada poin adil dan moderat, As-Sirjani menulis bahwa keadilan dan moderasi (wasathan) merupakan karakteristik unggul peradaban Islam, yakni bersikap seimbang antara dua kutub yang berlawanan. Tidak boleh condong kepada salah satunya hingga menzalimi pihak lain.
“Itulah yang dimaksud dengan seimbang (tawazun) dan adil yang melekat dalam risalah Islam yang kekal, yang datang untuk memperluas sudut-sudut bumi dan perputaran zaman,” tulis As-Sirjani.
Pemimpin Tak Boleh Sewenang-wenang
Pada 2 Mei 2025, Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung melantik Pengurus PPIJ Periode 2025–2027. KH Muhyiddin Ishaq—seorang ulama, kiai, pimpinan pondok pesantren sekaligus Rais Syuriah PWNU DKI Jakarta—diangkat sebagai Kepala PPIJ.
Selama empat bulan kepemimpinannya, belum terdengar terobosan besar dari KH Muhyiddin. Kegiatan masih bersifat rutinitas, dan nasib Masjid JIC pun belum jelas.
Namun, sebuah kebijakan kontroversial muncul: pemberhentian paksa seorang pegawai tetap JIC secara sepihak dan tidak prosedural.
Pegawai tersebut adalah Paimun Abdul Karim, pegawai tetap sejak 1 Juli 2004 berdasarkan SK No. 006 Tahun 2004, dengan jabatan terakhir Kasubdiv Informasi dan Komunikasi. Pada 11 September 2025, ia menerima SK pemberhentian. Paimun menolak karena merasa tidak melakukan kesalahan dan menyebut SK tersebut cacat administrasi dan prosedural.
Pada 15 September, ia melayangkan surat keberatan dengan tiga alasan utama:
- SK cacat administrasi, substansi, dan redaksional.
- Tidak sesuai asas keadilan dan kepastian hukum.
- Dikeluarkan sepihak tanpa prosedur sah.
Kuasa hukumnya, Zulfiqar, menilai tindakan Kepala JIC itu sewenang-wenang. Menurutnya, pemimpin memang memiliki wewenang, namun tidak boleh bertindak semaunya.
JIC Milik Masyarakat
Saya mencoba menelusuri alasan di balik pemecatan Paimun. Jika tidak terkait kinerja, tentu ada faktor lain.
Dugaan saya, pemecatan itu terkait “tekad” Kepala JIC untuk menyingkirkan individu-individu yang tidak sejalan dengan dirinya atau kelompoknya.
Dugaan ini didasari dua hal:
- Laporan jurnalis saat pelantikan Pengurus JIC (2 Mei 2025), di mana KH Muhyiddin terang-terangan mengatakan akan membersihkan JIC dari unsur organisasi tertentu, termasuk HTI.
- Video beredar dalam acara PWNU DKI Jakarta, di mana ia menginstruksikan agar PWNU DKI bersih dari orang-orang yang terafiliasi PKS dan HTI.
Jika diterapkan di internal PWNU, hal itu sah secara organisasi. Namun jika diterapkan di JIC—sebagai lembaga publik di bawah Pemprov DKI—tentu bermasalah. Sebab JIC adalah milik masyarakat luas, bukan satu atau dua ormas saja.
Ulama: Adil dan Bijak
Meski dugaan itu kuat, saya tetap berharap bukan itu alasan utama. Sulit membayangkan seorang kiai, apalagi ulama, bersikap zalim dan sewenang-wenang.
Seorang ulama mestinya bijak, berhati-hati, dan jauh dari kebencian. Puncak ilmu seorang ulama adalah khasyyah (takut kepada Allah), yang melahirkan sikap hati-hati serta rasa tanggung jawab.
Al-Qur’an jelas melarang umat Islam berlaku tidak adil hanya karena kebencian terhadap suatu kaum. Imam Jalalain, dalam tafsir Surat Al-Maidah ayat 8, menegaskan:
(Berlaku adillah kamu) baik terhadap lawan maupun kawan (karena hal itu) lebih dekat kepada ketakwaan. Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq.
(*/arrahmah.id)
Editor: Ukasyah