GAZA (Arrahmah.id) – Perang terbaru di Jalur Gaza sekali lagi menempatkan daerah kantong yang terkepung itu di ambang kehancuran. Namun, di luar pemandangan kehancuran fisik yang sudah lazim, putaran konflik ini menimbulkan pertanyaan eksistensial yang lebih mendalam tentang arah perkembangan Gaza dan posisinya di masa depan politik Palestina dan Timur Tengah yang lebih luas. Kehancuran tidak terbatas pada lingkungan yang hancur menjadi puing-puing atau ribuan nyawa yang hilang; kehancuran ini juga memperdalam krisis kemanusiaan, memperumit lanskap politik Palestina, dan membentuk kembali perdebatan regional.
Skala bencana kemanusiaan di Gaza tak terlukiskan. Selain hilangnya nyawa, perang telah menyebabkan ratusan ribu orang mengungsi, banyak di antaranya tinggal di tempat penampungan sementara dengan akses yang sangat terbatas ke air bersih, listrik, atau layanan kesehatan. Sistem layanan kesehatan Gaza yang sudah rapuh, yang telah lama terbebani blokade, telah mencapai titik hampir runtuh. Rumah sakit telah dibom, pasokan medis langka, dan dokter terpaksa membuat pilihan yang mustahil. Kerawanan pangan telah menjadi kondisi permanen, dengan mayoritas warga Gaza kini bergantung pada bantuan kemanusiaan. Situasi ini bukan sekadar krisis sementara; Ini adalah kenyataan yang abadi.
Perang telah memperparah perpecahan yang mengakar dalam politik Palestina. Persaingan antara Hamas dan Fatah masih belum terselesaikan, dan upaya rekonsiliasi telah terhenti. Bagi Hamas, sekadar bertahan hidup dan kendali berkelanjutan atas Gaza dibingkai sebagai kemenangan. Sementara itu, marginalisasi Otoritas Palestina dalam lanskap pascaperang semakin mengikis legitimasinya.
“Israel”, di sisi lain, tampaknya bertekad untuk mempertahankan sistem kendali yang mencegah munculnya kepemimpinan Palestina yang bersatu. Usulan untuk “zona penyangga”, pembatasan yang lebih ketat, dan bantuan yang dikondisikan secara politis, semuanya bertujuan untuk memperkokoh perpecahan dan melemahkan kohesi politik Palestina. Tanpa rekonsiliasi sejati, Palestina berisiko menghadapi tatanan pascaperang di mana Gaza tetap terisolasi sementara Tepi Barat terombang-ambing di bawah aktivitas permukiman yang meluas, lansir MEMO (23/8/2025).
Siklus janji-janji rekonstruksi yang tak terpenuhi kini terasa begitu familiar. Meskipun donor internasional menjanjikan miliaran dolar, sangat sedikit yang terealisasi di lapangan. Blokade “Israel” dan Mesir menghambat impor material konstruksi penting, sementara donor seringkali memberikan syarat politik yang menunda atau menghalangi bantuan. Rekonstruksi telah berubah dari kebutuhan kemanusiaan menjadi alat tawar-menawar politik.
“Israel” memanfaatkan kendalinya atas perbatasan Gaza untuk menentukan kecepatan dan cakupan pembangunan kembali, sementara para donor menggunakan komitmen bantuan untuk menekan Hamas dan Otoritas Palestina. Politisasi ini membuat warga Gaza biasa terombang-ambing, hidup di antara reruntuhan sementara masa depan mereka dinegosiasikan di ibu kota-ibu kota yang jauh. Bahayanya adalah Gaza mungkin tidak akan pernah sepenuhnya dibangun kembali, melainkan tetap berada dalam kondisi “kehancuran yang terkelola”, diperbaiki secukupnya untuk menghindari kehancuran total, namun tidak pernah dikembalikan ke martabat dan keadaan normal.
Perang sekali lagi menyoroti sentralitas Gaza dalam politik regional. Mesir telah memposisikan dirinya sebagai mediator yang sangat diperlukan, sementara Qatar terus memainkan peran penting melalui bantuan keuangan dan komunikasi dengan Hamas. Turki dan Iran memandang Gaza sebagai panggung untuk memproyeksikan pengaruh dan menantang kekuatan “Israel”. Pemerintah-pemerintah Barat, terutama AS dan Uni Eropa, telah mengulangi pokok-pokok pembicaraan yang sudah lazim, namun kesenjangan antara retorika dan kenyataan sangat mencolok. Tekanan Barat belum secara signifikan mengubah perilaku “Israel” atau menghasilkan jalur yang kredibel untuk mengatasi akar penyebab konflik. Pada saat yang sama, gerakan solidaritas global telah menguat, menantang impunitas yang telah lama dinikmati “Israel”.
Gaza berada di persimpangan jalan. Satu jalan menuju kehancuran yang berkelanjutan: sebuah enklave yang sebagian telah dibangun kembali, terpecah secara politik, dan menjadi sasaran serangan militer berkala. Inilah lintasan yang tampaknya ingin dipertahankan “Israel”, didukung oleh tatanan global yang enggan menghadapi ketidakadilan yang mendasarinya. Jalan lainnya, meskipun samar, menawarkan kemungkinan masa depan yang berbeda. Ini membutuhkan pencabutan blokade, dukungan terhadap rekonsiliasi Palestina yang sejati, dan prioritas rekonstruksi tanpa syarat politik. Ini juga akan mengharuskan komunitas internasional untuk bergerak melampaui manajemen krisis menuju penanganan realitas struktural.
Ketahanan rakyat Gaza tidak boleh diremehkan. Berkali-kali, mereka telah membangun kembali kehidupan mereka dan mempertahankan identitas mereka. Namun, ketahanan semata tidak dapat menggantikan keadilan. Tanpa perubahan politik, hal itu berisiko menjadi eufemisme untuk bertahan hidup di bawah pengepungan yang tak berkesudahan.
Pada akhirnya, apa yang terjadi di Gaza tidak akan tetap di Gaza. Nasib daerah kantong itu akan membentuk gerakan nasional Palestina, menguji kredibilitas kekuatan regional, dan mengungkap batas-batas tatanan internasional. Apakah reruntuhan Gaza akan menjadi fondasi pembaruan atau simbol status quo yang runtuh bergantung pada pilihan yang dibuat saat ini—tidak hanya di Gaza dan “Israel”, tetapi juga di ibu kota di seluruh dunia. (haninmazaya/arrahmah.id)