GAZA (Arrahmah.id) – Lebih dari 500 jurnalis dan organisasi media dari seluruh dunia telah menandatangani petisi mendesak agar jurnalis asing diizinkan masuk ke Jalur Gaza secara bebas dan tanpa pengawasan. Mereka menilai blokade terhadap pers ini bukan hanya membungkam suara rakyat Palestina, tapi juga merampas hak publik global untuk mengetahui kebenaran.
“Yang terjadi di Gaza hari ini mencerminkan krisis yang lebih besar: runtuhnya kebebasan pers sebagai pilar demokrasi,” bunyi pernyataan petisi tersebut.
Sejak ‘Israel’ melancarkan serangan besar-besaran ke Gaza pada Oktober 2023, tak satu pun jurnalis asing diizinkan masuk. Satu-satunya sumber informasi berasal dari jurnalis lokal Palestina, yang nyaris setiap hari menghadapi ancaman bom, kelaparan, dan kehilangan.
Hingga 25 Juli 2025, menurut Kantor Media Pemerintah Gaza, 232 jurnalis telah gugur, sebagian besar adalah warga Palestina. Sementara itu, banyak jurnalis yang masih hidup kini mengalami kelaparan dan kelelahan ekstrem, dengan beberapa di antaranya bahkan mogok makan demi menarik perhatian dunia.
“Ini bukan sekadar pemadaman kemanusiaan,” tegas petisi itu, “tetapi juga pemadaman informasi yang menghancurkan fungsi demokratis jurnalisme: untuk mengawasi kekuasaan.”
Mereka juga memberi penghormatan kepada para jurnalis Palestina yang tetap melaporkan dari medan perang, meskipun kehilangan keluarga, rumah, dan bahkan kekuatan fisik mereka. Beberapa kini sudah tak mampu mengoperasikan kamera atau berbicara dengan jelas karena lapar dan lelah.
Namun mereka menekankan: tujuan para jurnalis internasional bukan untuk menggantikan para jurnalis Palestina, tapi untuk berdiri bersama mereka, memperkuat liputan, dan menyampaikan informasi yang lebih utuh ke dunia luar.
Petisi ini memperingatkan bahwa larangan terhadap pers adalah taktik khas rezim otoriter, mengontrol narasi, membungkam suara independen, dan memutus hubungan antara kenyataan dan pemahaman publik.
“Jika pembungkaman ini dibiarkan, kita sedang membuka pintu bagi rezim mana pun untuk menyembunyikan kebenaran saat perang,” tulis mereka. “Membela akses pers di Gaza adalah membela gagasan demokratis bahwa kebenaran bukan milik para penguasa.”
Mereka menegaskan: “Ini bukan aktivisme. Ini adalah jurnalisme. Dan ini mendesak.”
Tokoh-tokoh besar yang menandatangani petisi bertajuk Freedom to Report antara lain jurnalis peraih Pulitzer Chris Hedges, pendiri Zeteo Mehdi Hasan, pembuat film dokumenter Louis Theroux, serta organisasi besar seperti Reporters Without Borders.
Petisi ini didukung oleh jurnalis dari berbagai negara: AS, Inggris, Prancis, Spanyol, Belanda, Turki, Brasil, Afrika Selatan, dan banyak lagi. (zarahamala/arrahmah.id)