Baru-baru ini Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag) resmi meluncurkan Kurikulum Berbasis Cinta (KBC). Menurut Nasaruddin Umar, Menteri Agama Republik Indonesia, kurikulum ini merupakan program yang strategis dalam menyusun ulang orientasi pendidikan Islam yang tidak hanya mentransfer ilmu, tetapi juga menanamkan nilai cinta, kebersamaan, dan tanggung jawab.
Buku panduan KBC diberlakukan untuk seluruh madrasah (sekolah berbasis agama Islam), baik yang berada di tingkat Raudhatul Athfal (RA), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), maupun Madrasah Aliyah (MA). Panduan tersebut akan menjadi acuan dasar bagi para pendidik dalam mengintegrasikan nilai-nilai cinta ke dalam proses belajar mengajar, tidak hanya dalam pelajaran agama, tetapi juga lintas mata pelajaran sehingga dapat mengatasi krisis kemanusiaan, intoleransi, dan degradasi lingkungan.
Yang harus kita perhatikan adalah pernyataan Menteri Agama bahwa “Tidak boleh ada anggapan, hanya agamanya yang paling benar karena pernyataan itu akan memunculkan kebencian pada agama yang lain”.
Menurut Linda Ariyanti, pengamat pendidikan, Kurikulum Berbasis Cinta ini sejatinya adalah upaya menanamkan ide pluralisme yang menganggap semua agama adalah benar. Saat ini negeri kita menerapkan sistem Kapitalisme sekuler yang justru meniadakan aturan agama dalam kehidupan. Mereka secara masif menjauhkan Islam dari umat. Salah satunya melalui kurikulum sekolah.
Pluralisme agama adalah suatu pemahaman liberal, yang menempatkan kebenaran agama sebagai aspek yang relatif. Pluralisme menempatkan agama-agama pada posisi setara, apapun jenis agamanya, sehingga tidak boleh mengklaim atau meyakini bahwa agamanya yang lebih benar dari agama lain, atau meyakini hanya agamanya yang benar. Tentu saja hal ini mengaburkan makna toleransi dalam Islam. Pluralisme melahirkan toleransi menurut paham liberalisme (kebebasan) yang sangat berbahaya. Karena standar kebenaran dalam pluralisme bukan lagi Al-Qur’an dan Hadis, melainkan pada akal manusia yang mengukur dengan kemaslahatan.
KBC pada dasarnya adalah penjajahan pemikiran bagi umat Islam. Umat Islam akan dipaksa untuk berpikir dengan standar liberal yang menyesatkan. Cinta kepada manusia lebih diutamakan daripada cinta kepada Allah Taala.
Maka alih-alih mampu mengatasi krisis kemanusiaan, intoleransi, dan degradasi lingkungan, penerapan KBC justru membuat kaum muslim membenarkan dan menerima keyakinan agama selain Islam, yang pasti bertentangan dengan hukum syarak. Dengan demikian pluralisme dapat menggadaikan akidah kaum muslim sebab adanya pengakuan Tuhan lain selain Allah SWT.
Disinilah pentingnya peran negara bersistem Islam, negara akan melindungi akidah masyarakat, khususnya generasi penerus. Dalam Islam, kaum muslim meyakini bahwa hanya Islam agama yang benar, sesuai dengan firman Allah SWT QS Al Imran: 19 yang artinya Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Ditegaskan pula pada ayat 85: Barang siapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya, dan ia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS Ali Imran : 85).
Maka bagi kaum muslim haram mengakui agama lain benar, karena pada dasarnya agama selain Islam tidak ada yang sahih. Dan akan sangat berbahaya bila KBC ini berlanjut. Anak-anak yang masih polos dan lugu akan menerima saja pemahaman pluralisme, bahkan mereka tidak menyadarinya karena dalam anggapan mereka, semua yang diajarkan di sekolah adalah kebaikan. Maka akidah generasi menjadi taruhannya. Na’udzubillah
Editor: Hanin Mazaya