Krisis tenaga kerja bukan lagi bayang-bayang di masa depan. Ia sudah hadir, nyata, dan menghantui dunia. Di sejumlah negara besar seperti Inggris, Prancis, Amerika Serikat, hingga Cina, angka pengangguran terus merangkak naik. Namun, yang lebih mengerikan bukan hanya data statistiknya, melainkan wajah absurd yang muncul dari sistem yang gagal menyediakan pekerjaan.
Di Cina, muncul fenomena ganjil nan ironis. Banyak anak muda rela membayar 4–7 dolar AS per hari hanya untuk “bekerja” di kantor palsu yang didesain layaknya coworking space modern lengkap dengan meja, komputer, dan Wi-Fi. Tak ada pekerjaan nyata, apalagi gaji yang didapat. Tujuan mereka sederhana tapi getir, menjaga rutinitas, merasa produktif, atau sekadar tampak sibuk di hadapan keluarga. Fenomena ini mencerminkan kenyataan pahit bahwa kerja tak lagi identik dengan penghidupan layak, melainkan sekadar ilusi demi menghindari stigma pengangguran.
Indonesia menampilkan potret berbeda, meski tak kalah problematis. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat pengangguran menurun menjadi 4,76 persen pada Februari 2025. Namun, data ini menyimpan paradoks besar, kelompok usia muda justru menjadi korban utama. Tingkat pengangguran pada rentang usia 15–24 tahun mencapai 16 persen, salah satu yang tertinggi di Asia. Ironisnya, banyak lulusan baru akhirnya terjebak di sektor informal, membantu usaha keluarga tanpa upah, kerja serabutan, atau pekerjaan yang tak pernah masuk hitungan produktivitas resmi.
Tak mengherankan bila situasi ini memantik keresahan luas. Dari sinilah gerakan mahasiswa bertajuk “Indonesia Gelap” mengambil pijakan. Mereka menuding adanya keterkaitan erat antara krisis ketenagakerjaan dan pemangkasan anggaran pendidikan, dua problem sistemik yang menghantam generasi sekaligus. Pertanyaan yang mengusik pun tak terelakkan: bagaimana generasi bisa dipersiapkan menjadi SDM unggul jika akses pendidikan terus dipangkas, sementara lapangan kerja semakin menghilang?
Oligarki Kaya, Generasi Sengsara
Krisis tenaga kerja global kian memperlihatkan cacat mendasar dari sistem ekonomi kapitalisme yang kini menguasai dunia. Bukan hanya tidak mampu menciptakan lapangan kerja, sistem ini juga terbukti gagal menghadirkan kesejahteraan. Narasi pertumbuhan ekonomi yang sering digembar-gemborkan ternyata tidak sejalan dengan realitas kesempatan kerja. Akibatnya, jutaan orang terjebak dalam ketidakpastian hidup, meski mereka kerap disebut sebagai “bonus demografi”.
Tingginya angka pengangguran bukan sekadar masalah teknis, melainkan akibat langsung dari konsentrasi kekayaan dunia yang kian timpang. Segelintir orang menumpuk kekayaan, sementara mayoritas berjuang sekadar untuk bertahan hidup.
Indonesia menjadi contoh nyata, menurut data Celios, kekayaan 50 orang terkaya di negeri ini setara dengan kekayaan 50 juta rakyat Indonesia. Ketimpangan ini jelas bukan angka biasa, melainkan potret nyata bahwa kapitalisme hanyalah mesin yang memperkaya oligarki, sekaligus memiskinkan generasi.
Lebih ironis lagi, negara yang semestinya hadir untuk menjamin pekerjaan justru lepas tangan. Jobfair yang rutin digelar pemerintah tidak memberi solusi substansial. Bagaimana bisa membuka lapangan kerja jika industri sendiri sedang diterpa badai PHK massal? Begitu pula dengan sekolah dan jurusan vokasi yang diklaim mencetak “lulusan siap kerja”. Faktanya, banyak lulusan vokasi justru menjadi pengangguran baru. Mereka dididik untuk masuk ke pasar kerja yang sesungguhnya tidak pernah benar-benar terbuka.
Semua ini menegaskan satu hal, selama kapitalisme masih mendominasi dunia, termasuk Indonesia, pengangguran tidak akan pernah hilang. Ia akan tetap menjadi masalah struktural, diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Ketika Kapitalisme Gagal, Islam Hadirkan Solusi Nyata
Kebuntuan kapitalisme dalam menjawab krisis tenaga kerja menegaskan bahwa solusi sejati tidak bisa dicari dari sistem yang sudah cacat sejak lahir. Persoalan ini hanya bisa diurai dengan perubahan ideologi yang mendasar.
Islam menawarkan paradigma yang berbeda. Dalam konsep kepemimpinan Islam, negara hadir sebagai raa’in (pengurus urusan rakyat) yang bertanggung jawab memastikan setiap individu memiliki akses nyata terhadap pekerjaan dan penghidupan yang layak. Tanggung jawab ini bukan pilihan, melainkan kewajiban syar’i yang melekat pada fungsi negara. Rasulullah saw., bersabda:
“Seorang pemimpin adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Islam menegaskan, pemerintah wajib memfasilitasi rakyat agar dapat bekerja dan berpenghasilan. Bentuknya bukan sebatas retorika, tetapi langkah konkret, menyediakan pendidikan berkualitas agar rakyat memiliki kompetensi, memberi bantuan modal tanpa riba agar usaha kecil dan menengah bisa tumbuh tanpa jeratan hutang, membuka peluang industrialisasi berbasis potensi sumber daya alam agar kekayaan negeri tidak sekadar diekspor mentah, melainkan dikelola untuk menciptakan lapangan kerja luas, serta memastikan tanah yang terbengkalai bisa diakses rakyat untuk dikelola sebagai sumber penghidupan. Rasulullah saw., bersabda:
“Barangsiapa menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya”. (HR. Tirmidzi)
Hadis ini menegaskan bahwa Islam membuka akses nyata bagi rakyat untuk mandiri dalam mencari nafkah.
Lebih jauh, sistem ekonomi Islam melarang kekayaan beredar hanya di kalangan elit. Allah Swt., berfirman:
“… supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu”. (QS. Al-Hasyr: 7)
Ayat ini menegaskan betapa pentingnya prinsip distribusi kekayaan dalam Islam: harta tidak boleh hanya menumpuk di tangan segelintir orang, tetapi harus mengalir dan dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Prinsip ini bukan sekadar wacana indah, melainkan kenyataan yang pernah terwujud dalam sejarah gemilang Islam.
Lihatlah masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Saat syariat Islam ditegakkan secara kaffah, keadilan sosial bukan sekadar slogan, tapi kenyataan yang hadir di tengah umat. Distribusi harta begitu merata hingga para amil zakat kebingungan mencari penerima, karena hampir tak ada lagi orang miskin yang layak menerima bantuan. Bayangkan, sebuah masyarakat di mana zakat melimpah, tapi penerimanya sulit ditemukan. Bukankah itu potret kesejahteraan hakiki yang kita rindukan hari ini?
Fakta sejarah ini menunjukkan bahwa Islam tidak hanya mampu menuntaskan problem pengangguran, tetapi juga memastikan kebutuhan dasar rakyat terpenuhi, pendidikan dan kesehatan gratis yang berkualitas, jaminan sosial menyeluruh, hingga kesejahteraan yang merata. Ini jauh berbeda dengan kapitalisme yang menjadikan pengangguran dan kemiskinan sebagai “biaya wajar” demi mengejar pertumbuhan ekonomi semu.
Lebih dari sekadar solusi praktis, keberadaan khilafah adalah kewajiban syar’i. Rasulullah saw., bersabda:
“Barangsiapa mati dalam keadaan tidak ada baiat di lehernya, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah”. (HR. Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa kepemimpinan Islam bukanlah pilihan, melainkan perintah Allah Swt. untuk menegakkan syariat-Nya. Dengan demikian, Khilafah adalah jalan untuk menghadirkan keadilan sosial-ekonomi sekaligus meraih ridha Allah dan keberkahan hidup di dunia.
Wallahua’lam bis shawab
Editor: Hanin Mazaya