1. News
  2. Feature

Krisis Kuburan di Gaza, Bahkan Menguburkan Mayat Sekarang Jadi ‘Hak Istimewa’

Oleh Raed Musa Jurnalis Al Jazeera
Sabtu, 5 Juli 2025 / 10 Muharram 1447 10:08
Krisis Kuburan di Gaza, Bahkan Menguburkan Mayat Sekarang Jadi ‘Hak Istimewa’
Krisis pemakaman yang menyesakkan di Khan Yunis, provinsi terbesar di Jalur Gaza selatan (media sosial)

“Segala sesuatu di Gaza kini merasakan kelaparan, kecuali kuburan. Hanya kuburan yang mengalami kekenyangan.”

Kalimat pedih ini ditulis oleh novelis dan akademisi Dr. Hasan Al-Qatrawi, menggambarkan krisis luar biasa yang melanda Jalur Gaza. Di tengah perang yang telah berlangsung lebih dari 21 bulan, warga Gaza tak hanya kehilangan tempat aman untuk hidup, tetapi juga kehilangan ruang untuk memakamkan orang-orang yang mereka cintai. Bahkan, banyak keluarga kini tak mampu menanggung biaya pemakaman yang terus melonjak.

Dengan terus berlanjutnya agresi ‘Israel’ ke wilayah yang telah porak-poranda itu, rakyat Gaza kian kehilangan tempat untuk berlindung saat hidup dan juga kehilangan tanah untuk dikuburkan saat mati. Biaya pemakaman yang melambung, kelangkaan lahan kuburan, dan pembiaran dunia internasional atas penderitaan mereka menciptakan realitas yang nyaris tak terbayangkan.

Pasca “Pembantaian Al-Baqa”, serangan udara ‘Israel’ yang menewaskan lebih dari 30 pemuda dan pemudi saat mereka berada di sebuah tempat istirahat di pantai Gaza pada 30 Juni lalu, kritikus sastra Nahed Zaqout menulis di Facebook:
“Masalahnya sekarang bukan hanya soal pembantaian itu sendiri, tapi bagaimana kita bisa menyediakan kuburan bagi semua korban ini?”

Kini, biaya untuk menyiapkan liang lahat bagi seorang yang syahid di Gaza telah meningkat dua kali lipat dibanding sebelum perang yang dimulai pada 7 Oktober 2023. Bagi banyak keluarga yang telah kehilangan segalanya, bahkan memakamkan orang terkasih pun menjadi perjuangan baru yang menyakitkan.

Biaya untuk mempersiapkan makam bagi seorang martir meningkat dua kali lipat dibandingkan sebelum perang (Al Jazeera)

Krisis yang Menyentuh Setiap Rumah

Beberapa hari lalu, unit pemulasaraan jenazah di Kompleks Medis Nasser, Khan Yunis, mengumumkan bahwa kuburan telah habis. Kota di selatan Gaza ini kini menjadi pusat dari krisis pemakaman, karena jumlah syuhada yang sangat besar, terutama mereka yang gugur saat mencari bantuan di dekat pusat distribusi internasional.

Menurut Kantor Media Pemerintah di Gaza, pasukan pendudukan ‘Israel’ telah melakukan 26 pembantaian hanya dalam 48 jam, yang mengakibatkan lebih dari 300 orang gugur dan ratusan lainnya terluka. Khan Yunis menanggung beban paling berat dari tragedi ini, dengan populasi hampir 900 ribu jiwa, mayoritas pengungsi, dan mencatat jumlah korban tertinggi.

Pada Kamis pagi (3/7/2025), jurnalis Muhammad Al-Astal membagikan unggahan yang memilukan: jenazah para syuhada tergeletak di bawah terik matahari, menunggu giliran untuk dimakamkan.

Fotografer Ibrahim Muhareb pun membagikan kisah serupa kepada Al Jazeera, tentang bagaimana ia mendokumentasikan kepedihan keluarga syahid Uday Abu Jazar yang tidak bisa menemukan liang lahat untuk pemakamannya.

Muhareb juga mengisahkan bagaimana ia terpaksa menggunakan pintu besi tua dan berkarat untuk menutup kubur rekannya, jurnalis syahid Muhammad Mansour, yang dibunuh dalam serangan pada Maret lalu.
Menurutnya, masalahnya bukan hanya soal ketiadaan makam, tapi juga ketidakmampuan keluarga korban untuk membayar biaya pemakaman, yang kini menjadi beban yang tak tertanggungkan di tengah penderitaan.

Inisiatif kemanusiaan untuk menyediakan pemakaman baru di Jalur Gaza (Al Jazeera)

Tak Ada Lagi Ruang bagi Para Syuhada

Sebelum perang, “Pemakaman Turki” hanya mampu menampung sekitar 60 makam. Kini, menurut pengelolanya, Tafesh Abu Hatab, pemakaman itu telah menjadi tempat peristirahatan bagi ribuan jenazah. Ia menegaskan bahwa seluruh pemakaman di kota telah penuh, tak ada ruang tersisa.

Kementerian Wakaf di Gaza mengonfirmasi bahwa perang telah menghancurkan lebih dari 40 kompleks pemakaman dan membuat warga tidak bisa mengakses makam-makam yang berada di wilayah kendali militer ‘Israel’, yang memperparah krisis pemakaman ini.

Dengan adanya pengungsian massal ke kawasan pesisir Al-Mawasi, serta kepadatan luar biasa para pengungsi, lahan yang semula bisa dimanfaatkan untuk pemakaman kini justru dipenuhi tenda dan tempat penampungan. Bahkan rumah sakit, halamannya, sekolah, dan rumah-rumah pribadi pun kini dijadikan lokasi pemakaman darurat.

Kementerian menambahkan bahwa kelangkaan bahan bangunan dan larangan masuknya kain kafan membuat biaya untuk menyiapkan satu makam kini mencapai antara 700 hingga 1.000 shekel (sekitar 200–300 dolar AS).
Angka ini jauh melampaui kemampuan mayoritas warga Gaza, yang telah kehilangan segalanya. Dalam situasi di mana hidup dan mati sama-sama sulit dijalani, rakyat Gaza kini bahkan harus berjuang untuk bisa dimakamkan dengan layak.

Kementerian Wakaf luncurkan kampanye “Ikram” untuk membangun pemakaman gratis (Al Jazeera)

Kampanye “Ikram”: Ketika Menguburkan Jadi Tindakan Kemanusiaan

Menghadapi bencana kemanusiaan yang tak pernah terjadi sebelumnya, Kementerian Wakaf Palestina di Gaza meluncurkan Kampanye “Ikram”, sebuah inisiatif untuk membangun pemakaman gratis bagi para syuhada. Kampanye ini menyerukan kepada lembaga kemanusiaan dan individu agar ikut membantu menyediakan kebutuhan dasar pemakaman: mulai dari kain kafan, bahan bangunan, hingga peralatan penggalian.

Salah satu yang merespons seruan itu adalah Syekh Hani Abu Musa. Dalam wawancaranya dengan Al Jazeera, ia berkata, “Kami awalnya hanya membagikan makanan dan air, tapi kami menerima banyak permohonan dari keluarga syuhada yang tidak mampu membayar biaya pemakaman.”

Ia tergerak setelah menyaksikan seorang pemuda pengungsi yang tak mampu menguburkan saudaranya sendiri. Dari situ lahirlah gagasan mendirikan pemakaman gratis. Kementerian Wakaf pun mengalokasikan lahan seluas 5 dunam untuk inisiatif ini. Awalnya dibangun 120 makam, yang kemudian diperluas menjadi 1.000 makam tambahan berkat bantuan dari LSM “Al-Barakah” asal Aljazair.

Namun, lonjakan jumlah syuhada terus berlanjut, dan makam pun kembali habis. Inisiatif ini kini menghadapi hambatan besar: kelangkaan batu dari reruntuhan rumah, tidak tersedianya ubin dan semen, sehingga terpaksa menggunakan seng bekas dan pintu kayu untuk menutup liang lahat.

Abu Musa menambahkan bahwa krisis ini mendorong banyak keluarga untuk menggunakan kembali makam keluarga lama yang dikenal sebagai “al-Fasqiyyah”. Tapi pilihan ini pun kini hampir habis.

Kekurangan semen dan bahan bangunan memaksa warga Gaza menggunakan rangka pintu kayu untuk menguburkan jenazah (Al Jazeera)

Statistik yang Menggetarkan

Sebelum perang, Gaza rata-rata membutuhkan sekitar 9 dunam tanah per tahun untuk pemakaman, dengan kapasitas 220–240 makam per dunam. Kini, kebutuhan itu telah meningkat berkali lipat.

Menurut Syekh Ahmad Abu Eid, Direktur Lembaga Kemanusiaan Qiratan yang mengelola rumah-rumah pemandian jenazah, jumlah jenazah yang mereka terima kini melebihi 100 kali lipat dari kondisi normal.

Sejak perang kembali memanas pada 18 Maret lalu, angka kematian meningkat tajam, terutama karena pengungsi diserang saat berada di tenda-tenda atau saat mencari bantuan makanan.

Antara kehilangan orang tercinta, kekurangan kafan, dan tak tersedianya liang lahat, inilah kenyataan paling kelam yang dihadapi warga Gaza. Di sana, kematian pun menjadi medan perang tersendiri, melawan penjajahan, melawan kemiskinan, dan melawan keheningan dunia. (zarahamala/arrahmah.id)

Editor: Zarah Amala