DEIR EZZOAR (Arrahmah.id) — Ketegangan antara suku-suku Arab dan milisi sosialis Kurdi kembali memanas di timur laut Suriah. Bentrokan kembali pecah pada 14 Agustus di kota Gharanij, Deir Ezzour, wilayah yang secara administratif dikendalikan oleh Pasukan Demokratik Suriah (SDF).
Para pejuang suku Arab dilaporkan mengepung anggota SDF di dalam sebuah apotek, sebelum baku tembak terjadi. Satu penyerang tewas, tiga lainnya terluka. Enam personel SDF diculik; dua dibebaskan, sementara empat sisanya masih ditawan.
Sebuah kendaraan militer milik SDF juga berhasil direbut oleh para penyerang.
Dilansir Long War Journal (15/8/2025), pemicu utama eskalasi adalah seruan “nafeer aam” atau mobilisasi umum oleh beberapa suku besar Arab , termasuk Al Naim, Al Bushaaban, Qais Aylan, dan Al Baqara. Keempatnya tersebar di Deir Ezzour, Raqqa, dan Al Hasakah, wilayah yang mayoritas penduduknya Arab namun dikendalikan oleh SDF yang didominasi Kurdi.
Sheikh Faraj al Salamah, tokoh suku Arab terkemuka, menyatakan bahwa koordinasi lintas suku tengah berlangsung dan seluruh pihak menunggu momentum yang tepat untuk bergerak.
“Koordinasi sedang berlangsung dengan semua suku yang telah menyerukan mobilisasi, dan semua orang menunggu saat yang tepat untuk mulai bergerak,” tegas Salamah menginstruksikan mobilisasi massa ke wilayah SDF, melansir Long War Journal.
Ia juga menambahkan bahwa tujuan mereka adalah pembebasan wilayah Jazira Suriah, yakni wilayah timur laut negara itu, dari kendali SDF
Sejak kekalahan kelompok militan Islamic State (ISIS) pada 2016–2019, SDF yang dibantu Koalisi Internasional pimpinan Amerika Serikat (AS) memperluas wilayah kekuasaannya ke wilayah-wilayah Arab. Namun struktur kekuasaan internal SDF tetap didominasi oleh milisi YPG dan YPJ, unit militer sosialis Kurdi, yang membuat pejuang Arab merasa termarjinalisasi.
Meski sekitar 65.000 dari 100.000 pasukan SDF merupakan orang Arab, posisi pengaruh tetap berada di tangan kelompok Kurdi.
Banyak pejuang Arab bergabung dengan SDF karena faktor ekonomi dan wajib militer di kawasan tersebut. Mereka menerima gaji bulanan yang lebih tinggi dibanding bergabung dengan milisi lain, sementara secara demografis, Arab mencakup sekitar 75 persen populasi di timur laut Suriah.
Tahun lalu, konflik sempat pecah setelah SDF menangkap dan memecat Abu Khawla, komandan Dewan Militer Deir Ezzour (DMC). Suku-suku Arab menuduh SDF menjarah sumber daya minyak untuk membiayai wilayah-wilayah mayoritas Kurdi.
Ketegangan juga tidak lepas dari dinamika politik baru di Suriah. Setelah jatuhnya rezim Assad, kekuasaan beralih ke Ahmad asy Syaraa. Pemerintahan baru ini mengalami kesulitan mengintegrasikan wilayah-wilayah Kurdi, termasuk area yang dikuasai SDF.
Kesepakatan yang ditandatangani pada Maret lalu antara pemerintah Suriah dan SDF mandek karena kekhawatiran terhadap latar belakang Syaraa yang pernah terkait dengan ISIS dan kecenderungan sentralisasi kekuasaan.
Konflik antara tentara Suriah baru dan SDF sebenarnya sudah beberapa kali terjadi, namun hingga kini kedua pihak masih menghindari konfrontasi skala penuh. Mobilisasi terbaru yang digaungkan oleh suku-suku Arab meningkatkan risiko eskalasi.
Bila konflik meluas, pemerintah Suriah kemungkinan akan turun tangan membela suku-suku tersebut, sebagaimana yang mereka lakukan dalam insiden bentrokan antara komunitas Druze dan suku Badui di Suwayda sebelumnya pada bulan Juli. (hanoum/arrahmah.id)