GAZA (Arrahmah.id) – Media “Israel” melaporkan pernyataan seorang pejabat politik senior di kantor Perdana Menteri Benjamin Netanyahu yang menegaskan bahwa “Israel” menuntut pembebasan seluruh 50 tawanan yang ditahan di Jalur Gaza.
Pernyataan itu muncul setelah Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) mengumumkan persetujuannya atas usulan baru dari para mediator, yang mencakup pembebasan 28 tawanan — baik yang masih hidup maupun jenazah — dalam kerangka gencatan senjata selama 60 hari.
Menurut lembaga penyiaran “Israel”, pejabat di kantor Netanyahu menyebut: “Kebijakan Israel tetap tidak berubah, menuntut pembebasan semua dari 50 tawanan sesuai prinsip yang ditetapkan kabinet keamanan untuk mengakhiri perang. Kami sedang berada pada tahap akhir menundukkan Hamas, dan tidak akan meninggalkan seorang pun tawanan di belakang.”
Keluarga Tuduh Netanyahu Berbohong
Namun, pernyataan samar itu memicu reaksi keras dari keluarga tawanan. Dalam sebuah pernyataan pada Selasa (19/8), mereka menuduh Netanyahu “berbohong dan menambahkan syarat-syarat yang mustahil demi menggagalkan kesepakatan.”
Keluarga para tawanan menegaskan tidak akan membiarkan Netanyahu mengulangi manuvernya kali ini. “Netanyahu harus mengakhiri perang agar anak-anak kami tidak mati di perangkap kematian. Jika tidak, kami akan kembali turun ke jalan menuntut tercapainya kesepakatan pertukaran yang menyeluruh,” demikian bunyi pernyataan itu.
Sebelumnya, pada Ahad lalu, keluarga para tawanan dan para pendukung mereka telah menggelar demonstrasi besar-besaran disertai aksi mogok umum.
Media: Pernyataan yang Kabur
Sejumlah media “Israel” menggambarkan pernyataan pejabat Netanyahu sebagai kabur. Surat kabar Yedioth Ahronoth menulis bahwa pernyataan tersebut “tidak sepenuhnya menutup pintu bagi kesepakatan parsial, namun jelas memberi kesan bahwa Israel untuk sementara menolak proposal baru para mediator.”
Media itu menambahkan, sejak Hamas menyampaikan responsnya semalam, Netanyahu langsung mengadakan konsultasi dengan tim negosiasi, namun belum membawanya ke rapat kabinet keamanan (kabinett) yang dijadwalkan pada Kamis mendatang.
“Tidak tertutup kemungkinan pernyataan menuntut pembebasan seluruh 50 tawanan itu hanya sebuah unjuk kekuatan, guna menekan Hamas agar lebih lentur dalam sikapnya,” tulis Yedioth Ahronoth.
Menurut laporan lain, orang-orang dekat Netanyahu juga memberi sinyal bahwa ia hanya menginginkan kesepakatan komprehensif.
Tekanan Politik Internal
Di tengah kontroversi ini, pemimpin Partai Demokratik “Israel”, Yair Golan, menuding Netanyahu “menggadaikan Israel demi membiayai perang tanpa akhir.”
Dalam sebuah unggahan di platform X, Golan menyebut: “Pemerintah membebani anggaran negara, menambah defisit miliaran syekel demi mendanai pendudukan Gaza, alih-alih memulangkan para tawanan dan mengakhiri perang.”
Mediator: Kesepakatan Ini yang Terbaik
Sementara itu, jurubicara Kementerian Luar Negeri Qatar, Majed Al-Ansari, menegaskan bahwa usulan terbaru yang disetujui Hamas mencakup jalur menuju gencatan senjata permanen.
“Ini adalah yang terbaik yang bisa ditawarkan saat ini demi menyelamatkan nyawa warga sipil di Gaza,” kata Al-Ansari dalam konferensi pers, seraya menambahkan bahwa pihak mediator masih menunggu jawaban resmi dari “Israel”.
Menteri Luar Negeri Mesir, Badr Abdel Aaty, turut menekankan bahwa “bola kini ada di tangan Israel,” sambil menyebut adanya kemajuan signifikan dalam kontak intensif untuk menghentikan perang.
Hamas: Siap Bebaskan Semua Tawanan
Hamas sebelumnya berulang kali menyatakan kesediaannya membebaskan semua tawanan “Israel” dalam satu tahap, asalkan perang genosida dihentikan, pasukan penjajah mundur dari Gaza, dan ratusan tahanan Palestina dibebaskan.
Namun Netanyahu — yang kini menjadi buronan keadilan internasional — menambahkan syarat baru, termasuk pelucutan senjata perlawanan Palestina, dan tetap bersikeras melanjutkan pendudukan atas Kota Gaza.
Sejak 7 Oktober 2023, tentara penjajah “Israel” dengan dukungan Amerika Serikat telah melancarkan perang genosida terhadap rakyat Gaza. Hingga saat ini, lebih dari 62 ribu warga Palestina gugur syahid, lebih dari 156 ribu lainnya terluka, sementara hampir seluruh penduduk Gaza terusir dari rumah mereka.
Kondisi kemanusiaan kian memburuk, dengan 266 warga Palestina — termasuk 112 anak-anak — meninggal dunia akibat kelaparan yang dijadikan senjata perang. Gaza kini menyaksikan kehancuran paling parah sejak Perang Dunia Kedua.
(Samirmusa/arrahmah.id)