GAZA (Arrahmah.id) – Kelaparan yang kian memburuk di Jalur Gaza telah memaksa sebagian jurnalis untuk melakukan mogok makan secara sadar, bukan karena pilihan, tapi sebagai bentuk jeritan kemanusiaan. Mereka tidak lagi hanya memegang kamera atau mikrofon, tetapi kini memakai tubuh mereka sendiri sebagai alat protes terhadap keheningan dunia atas penderitaan warga sipil yang kelaparan.
“Saya tidak sanggup makan, sementara anak-anak mati kelaparan di depan mata saya,” kata Wadie Abu Saud kepada Anadolu Agency.
Abu Saud, seorang ayah empat anak dan koresponden Yemen TV, memulai mogok makannya empat hari lalu. Ia tinggal di Gaza utara, wilayah yang hampir seluruhnya dikosongkan oleh serangan ‘Israel’, dan menjadi salah satu dari sedikit jurnalis yang masih bertahan di sana sejak evakuasi massal digencarkan pada Oktober 2023.
Keputusan itu ia ambil setelah menyaksikan langsung seorang perempuan tua, seusia ibunya sendiri, roboh dan wafat karena kelaparan. “Saya lihat dia jatuh ke tanah dan tak bangkit lagi. Rasanya seperti melihat ibuku sendiri mati di depan mata,” ujarnya.
Dengan tubuh yang telah lemah akibat berbulan-bulan perang dan krisis pangan, kini Abu Saud hanya bertahan hidup dari campuran air dan garam. Rumahnya telah dihancurkan dalam serangan udara ‘Israel’. Sejak itu, ia dan keluarganya berpindah-pindah tempat perlindungan, tak pernah benar-benar merasa aman.
“Saya sudah menyaksikan pembantaian, pengusiran, kehancuran, dan kelaparan. Sekarang saya hanya mencoba membangunkan dunia lewat kelaparan saya sendiri,” ucapnya lirih.
Suara Abu Saud nyaris pecah saat mengisahkan percakapannya dengan sang ibu yang berusia 68 tahun. “Ibu menelepon dan memintaku mencarikan setengah kilo kacang lentil. Atau sepotong roti. Dia punya diabetes dan penyakit jantung. Kalau dia tidak makan, dia bisa meninggal.”
Tapi bahkan itu pun tak bisa ia temukan. Ia tak bisa menatap ibunya. “Inilah rasa sakit yang menghancurkan seorang lelaki. Ketika kau melihat ibumu kelaparan dan kau tak bisa menolong.”
Tubuh Sebagai Protes
Ia menyebut aksinya sebagai kampanye “perut kosong dan martabat.” Sebuah protes yang tak hanya bersifat pribadi, tapi juga politis, moral, dan sangat manusiawi.
“Saya ingin dunia melihat apa yang terjadi di sini, bukan hanya lewat kamera saya, tapi lewat tubuh saya sendiri.”
Selama 22 bulan terakhir, katanya, para jurnalis di Gaza seperti berteriak ke ruang hampa. Mendokumentasikan kejahatan perang, memohon pertolongan, menuntut keadilan. Tapi semua terasa seperti berbicara kepada patung. “Dunia punya mata, tapi memilih tak melihat. Dunia punya telinga, tapi menolak mendengar.”
“Mungkin saya akan mati,” kata Abu Saud. “Tapi kalau pun saya mati, saya akan mati dengan hati nurani yang bersih. Saya tidak akan mengkhianati anak-anak Gaza.”
Ia bertekad melanjutkan mogok makannya sampai “anak paling kecil di Gaza punya sesuatu untuk dimakan.”
“Kami tak meminta banyak. Kami hanya ingin memberi makan anak-anak kami. Kami hanya ingin dunia peduli.”
Seruan Global yang Terabaikan
Lebih dari 100 organisasi kemanusiaan dan HAM internasional turut menyuarakan keprihatinan pada Rabu (23/7/2025). Mereka menggambarkan situasi kelaparan di Gaza sebagai bencana buatan manusia yang kini juga memaksa para pekerja bantuan ikut antre makanan bersama warga sipil, mempertaruhkan nyawa ditembak pasukan ‘Israel’ hanya untuk menyuapi keluarganya.
“Buka semua jalur darat. Kembalikan aliran penuh makanan, air bersih, obat-obatan, barang perlindungan, dan bahan bakar lewat mekanisme PBB yang transparan dan berbasis prinsip. Akhiri pengepungan, dan setujui gencatan senjata sekarang juga,” desak mereka.
“Kelaparan terhadap warga sipil sebagai metode perang adalah kejahatan perang,” tegas pernyataan bersama itu.
Sejak Maret lalu, setelah ‘Israel’ menutup seluruh perbatasan Gaza, kondisi seperti bencana kelaparan makin menggila. Menurut PBB, per 13 Juli, sebanyak 875 warga Palestina dibunuh saat berusaha mendapatkan makanan, 201 di jalur distribusi dan sisanya di titik pembagian. Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan jumlahnya kini telah menembus 1.060 jiwa, dengan lebih dari 7.200 lainnya luka-luka.
Total korban sejak serangan genosida ‘Israel’ pada Oktober 2023 mencapai 59.219 tewas dan 143.045 luka-luka, mayoritas dari mereka adalah perempuan dan anak-anak. (zarahamala/arrahmah.id)