Di tengah lesunya ekonomi dunia, fenomena job hugging kini merebak di dua benua sekaligus, Indonesia dan Amerika Serikat. Istilah yang terdengar manis ini sejatinya menggambarkan realitas getir pekerja, terutama generasi muda, memilih bertahan pada pekerjaan yang tak lagi memberi minat atau tantangan, semata demi rasa aman.
Di Indonesia, Guru Besar Fisipol UGM, Prof. Dr. Tadjuddin Noer Effendi menegaskan, job hugging lahir dari ketidakpastian pasar kerja. Lulusan perguruan tinggi yang seharusnya berani mencari peluang lebih besar kini memilih bertahan, demi sekadar keamanan finansial dan stabilitas hidup. Mereka takut kehilangan satu-satunya pekerjaan yang ada, sehingga semboyan “lebih baik asal kerja daripada jadi pengangguran intelektual” menjadi realitas pahit. (Radar Jogja, 23/9/2025)
Fakta serupa juga muncul di Amerika Serikat. Tingkat quit rate atau keberanian pekerja untuk resign menurun drastis. Data lembaga riset tenaga kerja menunjukkan, banyak pekerja muda di AS memilih bertahan meski tidak puas, karena pasar kerja stagnan, perekrutan baru melambat, dan angka PHK melonjak tajam. Bahkan survei terbaru mengungkap, hampir separuh pekerja di AS mengaku bertahan bukan karena cinta pada pekerjaan, melainkan karena takut kehilangan kepastian finansial.
Gagalnya Kapitalisme Global Menjamin Hak Bekerja
Fenomena job hugging yang kini marak di Indonesia maupun Amerika bukan sekadar soal pilihan pribadi pekerja muda yang enggan mengambil risiko. Lebih jauh, ini adalah cerminan dari rapuhnya fondasi kapitalisme global yang gagal menjamin hak bekerja bagi rakyat.
Sistem ekonomi yang diagungkan sebagai motor pertumbuhan, justru menjerumuskan generasi produktif pada dilema, bertahan pada pekerjaan yang tidak lagi memotivasi, atau menghadapi jurang pengangguran.
Akar masalahnya jelas. Negara melepaskan peran sebagai penyedia utama lapangan kerja dan menyerahkannya pada mekanisme pasar. Swasta mengambil alih, bukan dengan niat mulia menciptakan kesejahteraan, melainkan semata mengejar profit.
Dampaknya, pekerjaan yang tersedia bersifat kontraktual, upah ditekan seminimal mungkin, dan perlindungan pekerja kian melemah. Negara seakan rela duduk di bangku penonton, sementara nasib jutaan tenaga kerja dipertaruhkan di meja investor.
Lebih parah, negara bahkan memberi karpet merah kepada segelintir kapitalis untuk menguasai sumber daya alam dan aset publik. Padahal, di sinilah letak kekayaan strategis yang seharusnya bisa menopang pembukaan lapangan kerja luas.
Alih-alih menggerakkan ekonomi riil, kapitalisme modern justru menyalurkan modal pada praktik ribawi dan spekulasi finansial. Aktivitas ekonomi semu ini memang menjanjikan keuntungan instan bagi pemilik modal, tetapi nyaris tak berdampak pada serapan tenaga kerja dan produktivitas masyarakat.
Ironisnya, di tingkat pendidikan tinggi, kurikulum terus dipoles agar “selaras” dengan kebutuhan industri. Para lulusan didorong menjadi fleksibel, adaptif, dan siap masuk ke dunia kerja yang penuh ketidakpastian.
Namun, semua upaya itu seolah sia-sia ketika prinsip liberalisasi perdagangan, termasuk perdagangan jasa, menjadikan negara lepas tangan dalam memastikan setiap warganya bisa bekerja untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka.
Pendidikan yang semestinya menjadi jalan menuju kesejahteraan justru berakhir pada jebakan menghasilkan “pengangguran intelektual” atau pekerja yang bertahan dalam job hugging.
Dalam bingkai peradaban kapitalisme, kerja tidak lagi dipandang sebagai hak dan tanggung jawab sosial negara, melainkan sekadar variabel dalam mesin pasar bebas.
Selama paradigma ini terus dipertahankan, fenomena job hugging akan makin membanjiri pasar tenaga kerja, meninggalkan generasi muda terjebak dalam pelukan semu, aman di luar, tetapi menyesakkan di dalam.
Negara Pengurus Rakyat dalam Bingkai Islam Kaffah
Berbeda dengan Kapitalisme, Islam menawarkan solusi ideologis yang menyeluruh. Solusi itu adalah penerapan syariat secara kaffah (menyeluruh) dalam naungan Khilafah Islamiyah, sebuah sistem pemerintahan yang berlandaskan akidah Islam dan menempatkan pemimpin sebagai pelayan rakyat, bukan penguasa yang menindas. Rasulullah saw., menegaskan :
“Imam adalah pengurus rakyat, dan ia akan diminta pertanggungjawaban atas rakyat yang diurusnya”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam Muqaddimah Dustur Pasal 153 ditegaskan, negara adalah penanggung jawab utama dalam mengurus rakyat, termasuk memastikan setiap warga memiliki kesempatan bekerja.
Prinsip ini menegaskan bahwa penyediaan lapangan kerja bukan sekadar efek samping pertumbuhan ekonomi, melainkan kewajiban negara yang bersumber dari amanah syariat.
Di bawah sistem Khilafah, kebijakan ekonomi dibangun untuk menciptakan lapangan kerja yang riil dan berkelanjutan. Negara mengelola sumber daya alam berupa tambang, energi, hutan, sebagai kepemilikan umum, bukan untuk segelintir kapitalis atau perusahaan asing. Hasil pengelolaan menjadi modal industrialisasi, memperluas sektor manufaktur, dan membuka kesempatan kerja luas.
Program ihya’ul mawat (menghidupkan tanah mati) menjadi salah satu langkah konkret, tanah yang terbengkalai diberikan kepada rakyat yang siap mengelolanya, lengkap dengan bantuan modal, sarana, serta keterampilan. Dengan begitu, tercipta kemandirian ekonomi rakyat, bukan ketergantungan pada investasi asing.
Islam juga menautkan pendidikan dan pekerjaan dengan ruh keimanan. Sistem pendidikan membentuk generasi yang memandang kerja sebagai ibadah, bukan sekadar alat mencari penghasilan. Standar halal dan haram menjadi pedoman dalam setiap aktivitas ekonomi, menutup pintu praktik riba, penipuan, dan eksploitasi. Para pekerja, pengusaha, dan profesional bergerak dengan kesadaran spiritual bahwa setiap jerih payah akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.
Lebih jauh, negara pun melayani rakyatnya dengan dorongan ibadah. Pemimpin dan aparatur pemerintah menyadari bahwa mengurus urusan publik, dari penyediaan lapangan kerja, pendidikan, hingga layanan sosial adalah amanah yang bernilai ibadah, bukan sekadar tugas administratif.
Inilah solusi ideologis yang tegas, negara hadir sebagai ra’in, pengurus rakyat yang menjamin kebutuhan pokok, membuka lapangan kerja luas, dan menumbuhkan etos kerja berbasis keimanan. Dengan konstruksi ini, rakyat tak lagi terjebak dalam pekerjaan tanpa harapan. Mereka bekerja dalam suasana aman, produktif, dan penuh keberkahan, sebuah visi yang hanya dapat terwujud melalui penerapan Islam kaffah.
Wallahualam bis shawwab
Editor: Hanin Mazaya