1. News
  2. Internasional

‘Israel’ Siapkan Pendudukan Permanen Gaza City: Warga Hadapi Dilema Bertahan atau Mengungsi

Zarah Amala
Diperbaru: Sabtu, 16 Agustus 2025 / 22 Safar 1447 09:31
‘Israel’ Siapkan Pendudukan Permanen Gaza City: Warga Hadapi Dilema Bertahan atau Mengungsi
Warga Palestina yang terlantar di tenda-tenda pengungsian di pelabuhan Kota Gaza, 27 Mei 2025. (Foto: Omar Ashtawy/APA Images)

GAZA (Arrahmah.id) – Untuk pertama kalinya, warga Gaza City menerima perintah evakuasi pada Oktober 2023. Saat itu, tentara ‘Israel’ memerintahkan 1,1 juta orang di Gaza utara pindah ke selatan menjelang invasi darat.

Namun setelah ratusan ribu warga yang sebelumnya mengungsi kembali ke Gaza City pasca gencatan senjata awal tahun ini, tentara ‘Israel’ kembali mengeluarkan perintah evakuasi. Pada 8 Agustus, Kantor Perdana Menteri ‘Israel’ menyatakan tentaranya sedang bersiap untuk menguasai seluruh kota. Dengan kata lain, pendudukan permanen.

Lima hari kemudian, pada 13 Agustus, militer mengonfirmasi bahwa rencana itu telah disetujui. Invasi disebut-sebut akan dimulai pada 7 Oktober, tepat dua tahun sejak awal genosida.

Kenangan mengerikan tentang nasib yang menanti mereka yang menolak mengungsi masih lekat di ingatan, pembantaian massal, eksekusi lapangan, penculikan, penangkapan, hingga penghancuran besar-besaran. Sebagian keluarga kini mulai mencari tempat baru di bagian tengah dan selatan Jalur Gaza, sementara lainnya bersikeras bertahan, yakin bahwa ‘Israel’ memiliki rencana sama untuk seluruh Gaza, dan mereka sudah lelah mengikuti perintah tentara.

“Mereka ingin menghapus kota tercinta kami”

Kawthar Jundiyya (53), ibu empat anak dari Gaza City, mencoba mencari tempat di kamp pengungsi Nuseirat, Gaza tengah. Saat evakuasi pertama pada 16 Oktober 2023, ia sempat mengungsi ke rumah saudarinya lebih dari setahun. Januari 2025 lalu, saat gencatan senjata, ia kembali ke rumahnya di kawasan al-Zaytoun, Gaza timur.

“Kami menahan napas ketika pulang, ternyata rumah kami masih berdiri,” kata Jundiyya. “Itu sebuah keajaiban. Barang-barang kami juga masih ada. Meski perang berlanjut setelah gencatan, kami merasa tenang karena berada di rumah sendiri.”

Bagi keluarga yang masih beruntung tinggal di rumah yang utuh, penderitaan sedikit berkurang. “Tinggal di rumah dan lingkungan lama membuat segalanya lebih baik, meski pengeboman terus berlangsung. Kami bisa bertahan sejauh masih di rumah. Tapi pengungsian adalah mimpi buruk yang sebenarnya.”

Namun kali ini, Jundiyya tahu risikonya. “Kalau kami pergi, pasti rumah kami akan dihancurkan. Mereka ingin menghapus kota tercinta kami. Mereka ingin kami semua jadi tunawisma dan kelaparan, tanpa tempat tujuan.”

Logikanya, jika seluruh warga Gaza dibuat kelaparan dan kehilangan rumah, lalu “diberi pilihan” antara tinggal di jalan di bawah bombardir atau “emigrasi sukarela,” mayoritas akhirnya akan terpaksa pergi.

Bertahan atau pergi

Ada juga keluarga yang sejak awal tidak pernah mengungsi, tapi kini gamang. Mereka pun harus hidup berpindah dari satu lingkungan ke lingkungan lain di Gaza City.

Abdulrahim Shallah (36), ayah lima anak, belum pernah meninggalkan Gaza City sejak Oktober 2023. Ia dan keluarganya terus berpindah dari al-Shuja’iyya, Tal al-Hawa, Nasser, hingga Zaytoun, setiap kali ada invasi. Kini ia mulai berpikir lebih baik mengungsi.

“Aku sudah menanggung banyak invasi, kondisi yang tak tertahankan,” katanya. “Aku lari sambil menggendong anak-anak, bersembunyi dari tank dan tentara.”

“Awalnya aku kira tentara akan mentolerir kami, karena kami sipil dengan lima anak kecil. Tapi setelah melihat mereka membantai keluarga di rumah-rumah, membunuh orang tua di depan anak-anak, anak-anak di depan orang tua, aku yakin kalau kami jatuh ke tangan mereka, mereka akan membunuh kami tanpa ragu.”

Menurutnya, jika tentara memerintahkan evakuasi, artinya kota akan dihancurkan dan siapa pun yang tertinggal akan dibunuh. “Mereka tidak punya etika atau prinsip. Satu-satunya prinsip mereka adalah membunuh orang Palestina.”

Namun Shallah menegaskan, kalaupun pergi, ia akan kembali suatu hari nanti. “Kita bisa membangun rumah lagi. Tapi keluarga yang mati tidak bisa kembali.”

“Kami sudah selesai mengikuti perintah”

Sementara itu, ada juga keluarga yang memilih tetap tinggal, percaya bahwa kondisi yang akan mereka hadapi di Gaza City pada akhirnya sama saja dengan wilayah lain. Mereka lebih memilih berada di tempat yang mereka kenal.

Raed Darwish (51), ayah enam anak, kini tinggal di tenda di pusat pengungsian Tal al-Hawa, setelah rumahnya di al-Shuja’iyya dihancurkan buldoser saat invasi terakhir. Namun ia tak berniat pindah lagi.

“Kenapa kami harus mengungsi? Kami sudah tahu tentara ini,” kata Darwish. “Mereka menyuruh kami pergi ke suatu tempat, lalu mengebom kami di sana. Mereka bilang aman, tapi yang kami temukan hanya kematian. Mereka bilang demi keselamatan kami, tapi siapa yang mereka bohongi?”

“Bagaimana mungkin mereka peduli keselamatan kami, sementara sudah dua tahun mereka terus membunuh kami?” lanjutnya. “Kami tidak percaya lagi. Kami sudah selesai mengikuti perintah mereka. Kalau mereka ingin menghancurkan kota kami, kami akan tetap di sini.”

“Kalau tentara ‘Israel’ ingin menghancurkan kota kami, biarlah kami menjadi saksinya,” tegas Darwish. (zarahamala/arrahmah.id)