Meskipun banyak pihak khawatir tentang pengaruh Al Qaeda di Suriah, namun faktanya loyalis organisasi tersebut mengalami kemunduran signifikan selama perang di Suriah. Tulisan ini akan menelusuri sejarah kebangkitan kelompok loyalis Al Qaeda Suriah, Hurras al Din (Penjaga Agama), tersingkirkannya kelompok ini oleh kelompok perlawanan Suriah Hai’ah Tahrir Syam (HTS), dan pembubarannya setelah jatuhnya rezim Assad.
Sejarah Hurras al Din dan perpisahan HTS dari al Qaeda menunjukkan kemunduran besar bagi al Qaeda di Suriah. Ancaman apa pun yang ada dari jaringan al Qaeda di Suriah saat ini dapat dengan mudah dibendung oleh Amerika Serikat (AS) dengan persetujuan, jika tidak dengan kerja sama, dari pemerintah Suriah yang baru.
(Arrahmah.id) — Dalam wacana populer tentang perang Suriah, HTS kerap kali disamakan dengan al Qaeda. Misalnya dengan merujuk pada diksi ‘pemerintahan HTS al Qaeda’ dan ‘rezim al Qaeda’ dalam berita-berita mainstream. Klaim semacam itu tidak sepenuhnya benar dan tidak sepenuhnya salah, namun yang jelas hal tersebut mengabaikan sejarah kelompok yang benar-benar merupakan loyalis al Qaeda Suriah, Hurras al Din yang muncul pasca pembentukan HTS pada Januari 2017.
Hurras al Din, yang selama keberadaannya dianggap sebagai faksi minoritas, menjadi sasaran tindakan ‘keras’ HTS yang ekstensif sejak tahun 2020.[1] Kelompok memudat hingga kehilangan relevansinya ditunjukkan oleh pernyataan Hurras al Din pada bulan Januari tahun ini yang mengumumkan pembubaran resmi kelompok tersebut.[2] Namun meskipun telah bubar, AS masih terus menargetkan mereka yang berafiliasi dengan kelompok yang kini telah dibubarkan tersebut.
Perpecahannya Jabhah Nusrah dari Al Qaeda
Ketika pemimpin Jabhah Nusrah, Ahmad asy Syaraa (Abu Muhammad al Jaulani, sekarang presiden sementara Suriah), mengumumkan pembentukan Jabhat Fatah al Sham pada Juli 2016, yang konon tidak memiliki hubungan dengan “entitas eksternal” dan telah disetujui oleh pemimpin Ayman al Zawahiri, pembentukan kelompok baru ini sering diasumsikan sebagai perubahan nama saja. Dengan kata lain, meskipun namanya berbeda tapi tujuannya masih tetap untuk memajukan kepentingan al Qaeda di Suriah.[3]
Kesan ini sebagian didasarkan pada video pengumuman pembentukan Jabhat Fatah al Sham, di mana al Jaulani menyampaikan rasa terima kasih kepada para pemimpin al Qaeda, termasuk al Zawahiri, atas pemahaman dan penerimaan mereka terhadap langkah tersebut.[4]
Lebih lanjut, Abu al Khayr al Masri, yang diidentifikasi sebagai Wakil Al Qaeda yang saat ini berada di Suriah, telah memberikan persetujuannya atas keputusan penggantian nama tersebut, dengan mengeluarkan pesan audio yang dirilis oleh Jabhah Nusra tepat sebelum video pengumuman pembentukan Jabhat Fatah al-Sham. Dalam pesan audio tersebut, ia mendesak agar ada “langkah-langkah yang tepat” diambil demi Islam, umat Islam, dan jihad di Suriah.[5] Akan tetapi meskipun sudah ada pernyataan itu, isu penggantian nama Jabhah Nusrah menjadi Jabhat Fatah al Sham ditafsirkan sebagai tanda perpisahan yang nyata dengan al Qaeda tetap ada.[6] Hal itulah yang kemudian membuat keadaan semakin kompleks.
Untuk lebih jelas dan adil dalam membahas kedua pandangan tersebut, maka sebaiknya membandingkan kesaksian tokoh-tokoh HTS yang mendukung transisi ke proyek HTS dan para loyalis al Qaeda yang menentangnya.
Secara khusus, Abd al Rahim Atoun dari HTS menjelaskan bahwa perubahan nama pada Juli 2016 itu tidak menandai pemutusan hubungan dengan al Qaeda. Menurutnya, perubahan itu adalah sebuah ‘kosmetik’ agar hubungan dengan al Qaeda tetap dirahasiakan.[7] Atoun berharap pimpinan pusat Al Qaeda nantinya dapat memberikan persetujuannya sebab tujuannya adalah melakukan penggabungan yang lebih besar dengan faksi-faksi perlawanan lain yang antipati duluan kepada Jabhah Nusrah. sudah menjadi rahasia umum, banyak faksi keberatan dengan terafiliasinya Jabhah Nusrah ke al Qaeda. Mereka juga ragu dan khawatir apabila bergabung dengan Jabhah Nusrah maka nama mereka akan dimasukkan dalam daftar hitam teroris internasional.
Atas dasar menjaga hubungan rahasia dengan al Qaeda, beberapa tokoh loyalis al Qaeda seperti Sami al Oraydi, seorang Yordania yang pernah menjabat sebagai ulama senior di Jabhah Nusrah dan kemudian menjadi tokoh terkemuka di Hurras al Din, awalnya menyetujui perubahan nama Jabhat Fatah al Sham tersebut.[8]
Namun tokoh lain seperti Abu Julaybib (Iyad al-Toubasi) menolak perubahan nama tersebut sejak awal. Alasannya, al Zawahiri belum diajak berkonsultasi mengenai inisiatif tersebut dan tidak menyetujuinya ketika ia mengetahuinya.[9]
Hanya saja, pendukung HTS berdalih bahwa sangat sulit berkomunikasi dengan al Zawahiri. Sehingga diputuskanlah untuk mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari Abu al Khayr al Masri yang merupakan wakil Al Qaeda di Suriah.[10] Namun, di kemudian hari, ketika al Zawahiri mengetahui langkah perubahan nama tersebut, ia dengan keras menolak gagasan tersebut dan menganggap bahwa pembentukan Jabhah Fatah al Sham merupakan pemutusan hubungan dengan al Qaeda.
Meskipun telah menerima klarifikasi tentang sifat dan tujuan Jabhah Fatah al Sham, al Zawahiri kemudian menegaskan sekali lagi bahwa konsep kesetiaan rahasia kepada al Qaeda tidak dapat diterima.[11] Menurut al Zawahiri pilihan tersebut tidak realistis dan justru akan mengarah pada kompromi ideologis yang tidak dapat diterima syariat. Dengan kata lain, yang diinginkan al Zawahiri sejak awal adalah agar Jabhah Nusrah tetap teguh dan teguh dalam kesetiaannya kepada al Qaeda dan komitmennya terhadap prinsip-prinsip ideologis.[12]
Meskipun al Zawahiri menolak perubahan nama tersebut, pimpinan Jabhah Fatah al Sham tetap melanjutkan negosiasi penggabungan dengan faksi-faksi lain, terutama Ahrar al Sham. HTS berharap dengan bergabungnya Ahrar yang notabene sebuah gerakan besar mungkin akan meluluhkan hati al Zawahiri.
Sayangnya, pasca penggabungan itu hanya sebagian kecil saja dari Ahrar al Sham yang bergabung dengan HTS. Tulang puunggung HTS tetaplah anggoa-anggota dari Jabhah Nusrah yang lama.
Atas fakta itu, al Zawahiri maupun Abu al Khayr al Masri akhirnya tidak memberikan persetujuan atas penggabungan ini. Mereka menganggap bahwa pembentukan HTS merupakan bentuk pemutusan hubungan yang sebenarnya dengan al Qaeda.
Berdasarkan komentar kedua tokoh di atas, kelahiran Hurras al Din sebagai loyalis al Qaeda Suriah akhirnya menjadi nyata. Diduga kuat Hurras al Din sendiri sudah ada sejak tahun 2017, namun baru diumumkan pada Februari 2018. Hal itu terbaca dari mulainya konflik antara HTS dan loyalis al Qaeda terkait titik ribat (titik garis depan) pada akhir tahun 2017.[13] Saat itu Sami al Oraydi dan Abu Himam al Shami, yang menjabat sebagai pejabat senior di Jabhah Nusrah dan menjadi dua tokoh terkemuka di Hurras al Din, tidak berbicara sampai setelah pembentukan HTS.[14]
Perselisihan Awal dengan HTS
Sejak awal berdiri, Hurras al Din menghadapi masalah dengan SDM yang ada di kelompoknya. Bahwa sudah bukan rahasia umum sebagian besar pejuang Jabhah Nusrah tetap memilih berafiliasi dengan HTS, meskipun Abu Himam mengklaim pada Desember 2017 bahwa kenapa sebagian besar tentara HTS masih bersama HTS karena mereka tahunya HTS diam-diam masih berafiliasi dengan al Qaeda.[15]
Selain kekurangan personel, para loyalis al Qaeda juga kekurangan persenjataan berat dan peralatan militer penting lainnya. Oleh karena itu, salah satu perselisihan publik pertama—selain perselisihan mengenai pengingkaran kesetiaan HTS kepada al-Zawahiri—menyangkut kepemilikan senjata HTS yang diklaim oleh Hurras al Din. Tidak mengherankan, HTS menolak menyerahkan senjata kepada Hurras al Din.[16] Namun, HTS pernah membuat kesepakatan dengan Abu Himam pada Januari 2018 untuk mempersenjatai beberapa tim pihak kedua [yaitu, Abu Himam], di mana mereka akan bekerja secara militer di bawah naungan HTS.”[17]
Komitmen semacam ini sebenarnya mencerminkan bahwa terlepas dari perbedaan pendapat mengenai kesetiaan awal kepada al Qaeda, HTS bersedia menoleransi Hurras al Din dengan syarat Hurras al Din setuju menerima hegemoni HTS dan mematuhi ketentuan-ketentuannya. Salah satu ketentuannya adalah mereka tidak boleh menggunakan Suriah sebagai landasan peluncuran untuk operasi eksternal. Apabila itu dilakukan, HTS tidak akan segan-segan memberikan dukungan bagi titik-titik garis depan yang dijaga oleh Hurras al Din dan sekutu-sekutunya.
Sekutu awal Hurras al Din adalah kelompok jihad independen Ansar al Tawhid, yang dibentuk pada April 2018. Namun, Hurras al Din kemudian lebih dikenal berafiliasi dengan kelompok jihad asal Irak, Ansar al Islam, dan faksi jihad Suriah, Jabhat Ansar al Din. Mereka kemudian membentuk Ruang Operasi “Bangkitkan Orang-Orang Beriman” yang beroperasi di luar kerangka ruang operasi “Fatah al Mubin” yang dipimpin HTS.
Meskipun Hurras al Din melakukan hal seperti itu HTS tetap ‘mendukungnya’ dengan memberi dukungan logistik. Kesaksian dukungan itu terungkap dalam sebuah wawancara pada Januari 2019 dengan seorang pendukung daring HTS yang terkenal saat itu, Abu al-Layth al Halabi. Al Halabi menyatakan bahwa HTS menanggung biaya makanan dan amunisi untuk Hurras al Din.[18]
Penindakan Keras terhadap Hurras al Din
Meskipun HTS telah mengkonsolidasikan hegemoninya di Suriah barat laut pada awal 2019 melalui beberapa putaran pertikaian internal dengan faksi-faksi lain seperti Gerakan Nour al Din al Zinki,[19] rezim Assad dan sekutunya terus memperkuat posisi dan melancarkan serangan besar-besaran pada akhir 2019 dan awal 2020. Namun percobaan perlawanan dari rezim Suriah tidak terlalu berarti apa-apa karena adanya intervensi Turki dengan ribuan pasukan dalam upaya untuk memblokir serangan tambahan.[20]
Sebagai faksi terdepan di wilayah barat laut, HTS memilih untuk bekerja sama dengan Turki dalam menegakkan gencatan senjata dengan membekukan garis depan. Namun, bagi sebagian jihadis, tindakan tersebut dianggap sengaja menghalangi jihad melawan rezim dan sekutunya. Dengan kata lain, mereka memandang kebijakan HTS justru menguntungkan negara-negara asing dan membekukan penggulingan rezim secara militer.
Akan tetapi jika dipikir-pikir kembali, mengingat retorika HTS selama periode 2020-2024 tentang pembebasan seluruh Suriah dari rezim Assad suatu hari nanti,[21] kini kita tahu bahwa para pemimpin HTS memilih untuk bertahan di garis depan yang beku saat itu karena mereka tahu mereka masih terlalu lemah untuk melawan pasukan rezim Assad. Mereka ingin memanfaatkan payung keamanan Turki untuk membangun kembali kemampuan kelompok mereka bersamaan dengan rezim Assad yang semakin tergerus krisis ekonomi yang sebagian besar disebabkan oleh sanksi berat dan isolasi internasional.
Meski niat HTS seperti itu, ketidaksetujuan terus menjadi. Hurras al Din dan sekutunya, yang pada bulan Juni 2020 memilih untuk membentuk ruang operasi “So Be Steadfast” dengan dua faksi yang dipimpin oleh pembelot dari HTS (yaitu, Abu al-Abd Ashida dan Abu Malik al-Shami/al-Talli).[22] Dalam pernyataan pendiriannya, ruang operasi tersebut menyatakan bahwa tujuannya adalah “untuk mengusir serangan para agresor dan untuk mematahkan konspirasi para penjajah.” Akan tetapi motif utamanya jelas bahwa pembentukan itu dikarenakan oleh kebijakan pembekuan konflik tidak terbatas atas perintah kekuatan internasional. Motif ini sendiri dikonfirmasi dalam sebuah catatan tentang pembentukan ruang operasi yang disampaikan oleh seorang anggota Ansar al Islam.[23]
Segera setelah pembentukan ruang operasi tersebut, HTS memilih untuk menindak pentolan-pentolan kelompok yang vokal terhadap HTS. Awalnya HTS menangkap al Talli dan Abu Salah al-Uzbek. Lebih lanjut karena dominan dan superiornya HT, ruang operasi tersebut dibubarkan. Akan tetapi, Ansar al Islam diberikan izin untuk terus beroperasi di wilayah barat laut,[24] setelah bersepakat dengan HTS.
Sejak kejadian penangkapan itu, Hurras al Din secara efektif menjadi sebagai kelompok terlarang, dengan para pemimpin dan anggotanya menjadi buronan aparat keamanan HTS.
HTS berpandangan bahwa pelarangan dan penangkapan itu dilakukan karena pembentukan ruang operasi yang dipimpin Hurras merupakan ancaman terhadap otoritas dan berisiko membahayakan pembekuan garis depan yang telah dibuatnya. Selain kemungkinan didasarakan pada fakta bahwa pasukannya dan pasukan sekutunya masih perlu pulih setelah perang panjang.
Hal tersebut diamini oleh catatan anggota Ansar al Islam yang mengatakan bahwa pembentukan ruang operasi tersebut tidak sesuai dengan orientasi HTS karena kondisi yang lemah.[25]
Sebagai hasil dari tindakan keras tersebut, Hurras al Din akhirnya kehilangan titik garis depan dan benteng utamanya di barat laut seperti desa Arab Sa‘id di Dataran al-Roj.[26]
Dengan anggota dan pemimpinnya yang diburu oleh aparat keamanan HTS untuk ditangkap dan dipenjara, keberadaan Hurras al Din tidak lagi menjadi kekuatan yang relevan di garis depan barat laut. Akhirnya mereka melakukan operasi melawan rezim dan sekutunya di luar wilayah barat laut.[27]
Kelompok itu juga terus mengkritik HTS atas apa kebijakan-kebijakan HTS dalam membekukan konflik yang bekerja sama dengan kekuatan internasional. Dalam pernyataannya yang mengklaim serangan bom Damaskus, Hurras al Din mendesak para mujahidin di tanah al Syam untuk kembali ke garis jihad sejati, karena tidak ada solusi bagi rezim ini selain membunuh dan berperang di jalan Allah, jauh dari konspirasi internasional.[28]
Menghindari konflik berkepanjangan, pemimpin senior Hurras al Din, Abu Himam, mengajukan permohonan agar perselisihan dengan HTS diselesaikan melalui arbitrase independen, tetapi permohonan ini ditolak oleh HTS. HTS dalam sebuah pernyataan pada September 2021 menyatakan bahwa jika Abu Himam ingin mengajukan keluhan dan menyelesaikan masalahnya dengan HTS, maka ia harus melakukannya melalui lembaga-lembaga Pemerintah Keselamatan yang dikuasai HTS. Dalam pernyataan itu juga, HTS menuduh banyak anggota Hurras al Din terlibat dalam jaringan ‘Khawarij’ yang berusaha mengganggu keamanan di wilayah yang telah dibebaskan.[29]
Jatuhnya Rezim dan Pembubaran Hurras al Din
Status Hurras yang terpinggirkan dalam beberapa tahun terakhir menyebabkannya tidak memiliki peran penting dalam serangan terakhir yang dipimpin HTS pada akhir November dan awal Desember 2024 yang menjatuhkan rezim Assad.
Mengomentari jatuhnya rezim, pemimpin senior Hurras al Din, Sami al Oraydi, hanya memberikan sedikit substansi tanpa menyebutkan marginalisasi Hurras.[30] Ia menegaskan bahwa salah satu alasan terpenting jatuhnya Assad adalah bahwa Allah telah menganugerahkan berkah kepada rakyat Syam dalam bentuk kelompok mukmin yang menentang rezim selama beberapa dekade, yang berjihad dengan lidah, harta, dan nyawa mereka.
Menurut al-Oraydi, “akan sangat keliru jika kita melupakan upaya orang-orang hebat pertama yang berjuang melawan rezim”.
Secara lebih umum, ia membingkai jatuhnya rezim sebagai bagian dari konflik yang lebih luas antara kejaharan dan kebaikan. Sebagai kesimpulan, al Oraydi menegaskan bahwa dengan jatuhnya rezim, tibalah tahap pengujian dan penyeleksian orang beriman di mana Allah akan melihat bagaimana mereka bertindak setelah mencapai karunia ini. Artinya, bagi al Oraydi, langkah selanjutnya adalah mewujudkan pemerintahan Islam.[31]
Risala Mojahid Media—media pro-al-Qaeda tempat al Oraydi menulis—menerbitkan sebuah artikel pada bulan Januari 2025 dengan judul “Nasihat dan Bimbingan bagi Kaum Jihadis di Syam,”[32] yang menampilkan bendera Hurras al Din di sampulnya. Saran al Oraydi dalam tulisannya itu menyebutkan bahwa fokus pertama adalah dakwah membangun kesadaran warga tentang sejarah jihad di suriah serta mengadakan pertemuan untuk para pemuda dan masyarakat umum untuk menyebarluaskan dakwah tadi.”[33]
Akhirnya, pada Januari 2025, Hurras al Din merilis pernyataan yang mengumumkan pembubarannya sendiri kelompok tersebut.[34] Pembubaran itu sendiri dibingkai sebagai keputusan pimpinan dari Komando Umum Organisasi Qaeda yang menunjukkan bahwa keputusan pembubaran tersebut merupakan hasil dari perintah yang dikeluarkan oleh pimpinan pusat al Qaeda. Kemungkinan alasan pembubarannya adalah karena rezim telah jatuh sehingga tugas kelompok itu untuk berjihad melawan rezim Assad telah hilang dengan sendirinya.
Dalam pernyataan pembubarannya juga, Hurras al Din mendesak pemerintah Suriah yang baru untuk menerapkan aturan ‘hukum Islam’, sekaligus mendesak pemerintah untuk mengizinkan penduduk muslim secara umum mempertahankan senjata mereka agar dapat mengantisipasi pertempuran di masa mendatang melawan kaum Yahudi dan musuh agama lainnya.[35]
Dalam pembubarannya, Hurras al Din tidak menyatakan akan mengabaikan prinsip jihad transnasional. Mereka menyatakan bahwa anggota kelompok tersebut akan tetap menjadi prajurit Umat yang menanggapi setiap seruan dukungan dan bantuan di wilayah mana pun di wilayah Muslim. Dengan demikian, meskipun Hurras al Din telah dibubarkan, anggota kelompok tersebut masih tetap bagian dari jaringan global al Qaeda dan memiliki pandangan yang sama tentang jihad transnasional.[36]
Akibat pernyataan pembubaranya yang seperti itu, AS hingga sekarang masih tetap melakukan pembunuhan anggota-anggota Hurras al din yang masih tinggal di Suriah.[37] Hal tersebut kemungkinan dilakukan AS sebagai tindakan pencegahan jangka panjang, serupa dengan alasan di balik serangan udara ‘Israel’ yang berulang kali terhadap target-target yang terkait dengan Iran dan Hizbullah di Suriah.
Meskipun beberapa jihadis menuduh al Jaulani bekerja sama dengan AS untuk membantu menargetkan anggota Hurras al Din,[38] tidak ada bukti pasti atas klaim-klaim ini. Namun, jelas HTS tidak menghalangi upaya AS untuk membunuh anggota jaringan al Qaeda.
Bagi HTS, serangan AS melenyapkan anggota kelompok dan jaringan yang dianggap bermasalah oleh HTS, memungkinkan HTS untuk tampil dan meyakinkan AS agar pencabutan sanksi AS terhadap suriah dapat direalisasikan.[39] Dampaknya tentu saja akan mendongkrak perekonomian Suriah dan bagi AS serangan tersebut merupakan bagian dari upaya globalnya sendiri untuk melemahkan al Qaeda.
Kesimpulan
Kasus Hurras al Din menunjukkan bagaimana al Qaeda mengalami kemunduran dramatis di Suriah. Jabhah Nusrah yang pernah dianggap sebagai afiliasi utama al Qaeda akhirnya tidak dapat bertahan lama usai berdirinya HTS. Sementara di sisi lain, para loyalis al Qaeda tidak mampu menantang hegemoni dan menyaingi otoritas HTS, sehingga secara efektif kehilangan relevansinya dengan situasi internal di Suriah sejak Juni 2020.
Efak dari hal ini, besar kemungkinan anggota-anggota Hurras al Din akan mencoba berkoordinasi dengan anggota al-Qaeda lainnya atau jihadis lain di luar Suriah untuk tujuan mengorganisir serangan-serangan di luar negeri seperti yang pernah dilakuan al Qaeda sebelumnya. Upaya AS yang sedang berlangsung untuk menargetkan orang-orang yang merupakan anggota Hurras al Din besar alasannya adalah upaya untuk mencegah skenario sebelumnya yang pernah dilakukan al Qaeda. (Aymenn Jawad al Tamimi, CTCSentinel vol 18/alih bahasa hanoum)
Referensi:
[1] “Campaign of arrests by ‘Tahrir al-Sham’ targets leaders in ‘Hurras al-Din,’” al-Arabi al-Jadid, February 22, 2021.
[2] “Statement on dissolving the Hurras al-Din Organisation,” Hurras al-Din, January 28, 2025.
[3] Jennifer Cafarella, “Avoiding al-Qa`ida’s Syria Trap: Jabhat al-Nusra’s Rebranding,” ISW, July 28, 2016.
[4] “For the first time in audio and video, a recording of Jabhat al-Nusra’s leader Abu Muhammad al-Jowlani, in which he announces the breaking of ties with the al-Qa`ida organisation or any external entity, and the formation of a new front called Fatah al-Sham,” Al Jazeera, July 28, 2016.
[5] New video message from al-Qa’idah’s Shaykh Ahmad Hasan Abu al-Khayr,” Jihadology, July 28, 2016.
[6] “From Syrian jihadist leader to rebel politician: How Abu Mohammed al-Jolani reinvented himself,” BBC, December 8, 2024.
[7] The Hay’at Tahrir al-Sham-al-Qa`ida Dispute: Primary Texts (II),” aymennjawad.org, December 10, 2017.
[8] The Hay’at Tahrir al-Sham-al-Qa`ida Dispute: Primary Texts (I),” aymennjawad.org, December 6, 2017.
[9] “In opposition to ‘the new projects’…’Fatah al-Sham’ loses two of its founders as they announce ‘complete separation,’” Shaam Network, August 23, 2016.
[10] “The Hay’at Tahrir al-Sham-al-Qa`ida Dispute: Primary Texts (II).”
[11] Ibid.
[12] Sam Heller, “Al-Qa`ida’s Ayman Al-Zawahri Plays Politics,” RFERL, May 20, 2016.
[13] “The Hay’at Tahrir al-Sham-al-Qa`ida Dispute: Primary Texts (VI),” aymennjawad.org, December 15, 2017.
[14] Cole Bunzel, “Abandoning al-Qaida: Tahrir al-Sham and the Concerns of Sami al-‘Uraydi,” jihadica.com, May 12, 2017.
[15] “The Hay’at Tahrir al-Sham-al-Qa`ida Dispute: Primary Texts (VI).”
[16] “The Hay’at Tahrir al-Sham-al-Qa`ida Dispute: Primary Texts (XIII),” aymennjawad.org, February 10, 2019.
[17] “The Hay’at Tahrir al-Sham-al-Qa`ida Dispute: Primary Texts (VIII),” aymennjawad.org, February 3, 2019.
[18] Author interview, Abu al-Layth al-Halabi, January 2019.
[19] “Agreement between the factions places all of Idlib under the control of the ‘Salvation’ government affiliated with Hay’at Tahrir al-Sham,” al-Rai al-Youm, January 10, 2019.
[20] “Turkey, Russia reach agreement for cease-fire in Syria’s Idlib,” Daily Sabah, March 5, 2020.
[21] “The Age of Political Jihadism,” Washington Institute for Near East Policy, May 2022, p. 30.
[22] “New Jihadist Operations Room in Northwest Syria: ‘So Be Steadfast,’” aymennjawad.org, June 12, 2020.
[23] “Hay’at Tahrir al-Sham vs. ‘So Be Steadfast’ Operations Room: An Account of Events,” aymennjawad.org, June 30, 2020.
[24] “Interview with Jama’at Ansar al-Islam,” aymennjawad.org, August 23, 2020.
[25] “Hay’at Tahrir al-Sham vs. ‘So Be Steadfast’ Operations Room.”
[26] “The Village of Arab Sa’id: Interview,” aymennjawad.org, August 25, 2020.
[27] “Hurras al-Din: Claimed Operation in Damascus,” aymennjawad.org, August 4, 2021.
[28] Ibid
[29] “Clarifications regarding the errors of al-Hurras in their recent statements,” HTS General Shari‘i Council, September 27, 2021.
[30] “A word on the fall of the regime of the tyrant Bashar al-Assad,” Risala Mojahid Media, December 2024.
[31] ibid
[32] “Advice and Guidance for the People of the Jihadist Movement in our blessed Sham,” Risala Mojahid Media, January 2025.
[33] ibid
[34] “Statement on dissolving the Hurras al-Din Organisation.”
[35] ibid
[36] “CENTCOM Forces Kill an Al Qaeda Affiliate, Hurras al-Din, Leader in Northwest Syria,” CENTCOM, February 22, 2025.
[37] Telegram channel ‘al-Dhakira al-Sahiliya’ on February 26, 2025.
[38] Telegram channel ‘From Idlib’ on January 31, 2025.
[39] Yousef Saba, Gram Slattery, Pesha Magid, and Nafisa Eltahir, “Trump says US to lift Syria sanctions, secures $600 billion Saudi deal,” Reuters, May 14, 2025.
Editor: Hanoum