1. News
  2. Internasional

Hujan Pengakuan Palestina Guncang Zionis, Sampai Mana Mereka Bisa Bertahan?

Zarah Amala
Senin, 22 September 2025 / 30 Rabiul awal 1447 10:15
Hujan Pengakuan Palestina Guncang Zionis, Sampai Mana Mereka Bisa Bertahan?
Benoit Tessier/Reuters

RAMALLAH (Arrahmah.id) – Pengakuan resmi Inggris, Kanada, Australia, dan Portugal terhadap negara Palestina menimbulkan banyak pertanyaan soal sejauh mana langkah ini penting dan berdampak bagi perjuangan Palestina, tragedi genosida di Gaza, serta rencana aneksasi, yahudisasi, dan ekspansi permukiman di Tepi Barat.

Di antara gelombang pengakuan bertubi-tubi, langkah Inggris mendapat sorotan khusus. Negeri itu dulu yang meletakkan dasar berdirinya ‘Israel’, dan kini keputusan mereka justru memicu amarah para politisi ‘Israel’ yang menyebutnya sebagai “hadiah besar untuk terorisme”.

Menurut Ibrahim Fraihat, pakar konflik internasional di Institut Doha, pengakuan negara-negara Barat terhadap Palestina telah memecah kebekuan politik yang selama ini berpihak pada ‘Israel’. Ia menilai hal ini sangat berarti bagi perjuangan Palestina dan proyek nasional mereka. Untuk pertama kalinya sejak Perjanjian Oslo, muncul perbedaan nyata antara jalur Eropa dan Amerika Serikat, yang memberi tekanan besar pada Washington.

Fraihat menekankan bahwa perubahan posisi Barat dipicu tekanan publik, seraya mengingatkan: “Apa yang tak bisa berubah dengan tekanan, akan berubah dengan tekanan yang lebih besar,” terutama di tengah berlanjutnya proyek Israel untuk melenyapkan solusi dua negara.

Mantan pemimpin Partai Buruh Inggris, Jeremy Corbyn, juga menyebut pengakuan Inggris sebagai langkah maju penting yang lahir dari bertahun-tahun kampanye solidaritas dan desakan opini publik.

Apa Selanjutnya?

Namun, pengakuan saja tidak cukup ketika warga Gaza masih menghadapi genosida dan kelaparan. Fraihat menuntut langkah nyata, seperti menjatuhkan sanksi terhadap ‘Israel’, yang menurutnya kini bukan mustahil mengingat perubahan sikap resmi Eropa.

Corbyn menegaskan bahwa pengakuan harus diikuti penghentian suplai senjata ke ‘Israel’. Ia mengingatkan pemerintah Inggris punya tanggung jawab sejarah dan akan menghadapi tekanan publik yang makin besar, apalagi Amerika Serikat kini semakin terisolasi.

Penulis urusan ‘Israel’, Ihab Jabarin, menggambarkan respons Israel terhadap gelombang pengakuan ini sebagai “kepanikan”. Dulu, Israel bisa meremehkannya sebagai taktik diplomasi, tapi kini mereka terjebak sendiri.

Menurut Jabarin, “tsunami pengakuan” ini membentuk realitas baru: mengubah citra ‘Israel’ dari “negara kecil yang terkepung” menjadi “kekuatan pendudukan permanen”, pukulan telak terhadap jantung proyek Zionis.

Perdana Menteri ‘Israel’, Benjamin Netanyahu, kini mencoba membingkai responsnya sebagai “aksi bersama dengan AS”, demi menampilkan bahwa ‘Israel’ masih punya dukungan besar dari Washington. Namun, Jabarin tak menutup kemungkinan ‘Israel’ akan melancarkan balasan, mulai dari menganeksasi sebagian Tepi Barat hingga menghukum Otoritas Palestina, meski diprediksi tetap dalam batasan garis merah Amerika.

Ia juga mengingatkan, setiap langkah ‘Israel’ berisiko menimbulkan konsekuensi serius, seperti gelombang pengakuan baru dan eskalasi sikap tegas Eropa.

Pandangan AS

Di sisi lain, Mark Pfeifle, mantan pejabat komunikasi Gedung Putih, menilai pengakuan ini lebih bersifat simbolis dan tidak akan banyak mengubah peta perdamaian di Timur Tengah, maupun perundingan gencatan senjata di Gaza.

Meski begitu, ia menyebut strategi era Trump, dengan Menteri Luar Negeri Marco Rubio, terbukti gagal. Meski solusi dua negara masih jauh, perubahan sikap global sudah mulai mengguncang politik Amerika.

Sementara itu, Channel 15 Israel melaporkan bahwa Rubio memberi lampu hijau kepada ‘Israel’ untuk memperluas kedaulatan di Tepi Barat. Sedangkan Channel 12 mengutip pejabat Eropa yang memperingatkan bahwa jika Netanyahu terus mendorong penguatan pendudukan, maka konsekuensinya akan ditanggung ‘Israel’ sendiri. (zarahamala/arrahmah.id)