Di Gaza, senjata tak selalu berbentuk peluru dan bom. Kini, senjata itu bernama kelaparan. Dan sayangnya, ia digunakan dengan sangat sistematis dan terencana. Satu demi satu, anak-anak meregang nyawa bukan karena serangan udara, tetapi karena perut kosong yang tak lagi bisa bertahan. Zionis Israel telah menjadikan lapar sebagai alat genosida baru, senjata yang sunyi namun mematikan.
Sejak peningkatan serangan militer Israel pada Oktober 2023, Gaza menghadapi blokade menyeluruh yang memutus pasokan listrik, air bersih, dan bahan bakar, serta merusak sistem logistik dan distribusi makanan. Akibatnya, pasar-pasar mengalami kelangkaan barang, harga kebutuhan pokok meroket, dan bantuan kemanusiaan tertahan di perbatasan, sebagian di antaranya dihancurkan atau tidak diizinkan masuk.
Di Rafah, tempat penampungan terakhir bagi lebih dari satu juta warga sipil, bantuan makanan nyaris tak pernah tiba akibat pembatasan militer Israel.
Pada penghujung tahun 2024, hasil riset gabungan World Food Programme (WFP) dan Integrated Food Security Phase Classification (IPC), menyoroti bahwa lebih dari 90% penduduk Gaza menghadapi krisis pangan, dan lebih dari setengah dari anak-anak serta ibu hamil dan menyusui menderita malnutrisi akut. Angka-angka tersebut bukan sekadar statistik, melainkan gambaran pilu dari kehancuran kemanusiaan yang terjadi secara sistematis.
Situasi semakin memburuk sepanjang tahun 2025, WHO dan UNICEF melaporkan terjadi lonjakan tajam kasus malnutrisi berat dan kematian akibat kelaparan, khususnya di Gaza utara. Anak-anak mengalami penyusutan otot yang parah, bayi-bayi dilahirkan dalam keadaan sangat lemah, dan banyak keluarga hanya bisa menikmati satu kali makan sehari jika ada pasokan. Rumah sakit dipenuhi dengan anak-anak yang tiba dalam kondisi kritis dan sulit diselamatkan.
Ironisnya, upaya mendapatkan bantuan pun tak luput dari kekerasan. Sejak Mei 2025, lebih dari 1.054 warga Gaza tewas saat mengantre bantuan di titik distribusi yang dijalankan Gaza Humanitarian Foundation (GHF), banyak dari mereka ditembak oleh aparat atau kekuatan bersenjata Israel. Ini menambah daftar panjang kebiadaban, di mana sistem bantuan itu sendiri menjadi bagian dari mekanisme kekerasan.
Veto Amerika, Kebisuan Dunia Islam, dan Genosida yang Dilegalkan
Sidang darurat kembali digelar. Seruan keprihatinan bergema lantang, dan rancangan resolusi pun disusun dengan harapan menghentikan kekerasan di Gaza. Namun, seperti yang telah berkali-kali terjadi, semua harapan itu kandas hanya karena satu hal yaitu veto. Amerika Serikat kembali menggunakan hak vetonya di Dewan Keamanan PBB untuk menggagalkan upaya penghentian agresi Israel. Kini, hak veto tersebut seolah menjadi perisai legal bagi genosida yang terus berlangsung.
PBB, yang sejatinya dibentuk untuk menjaga perdamaian dunia, kini justru tampak menjadi alat kepentingan negara-negara besar. Di bawah kendali Amerika Serikat, satu veto saja cukup untuk membungkam suara global, menutup mata terhadap penderitaan rakyat Gaza, dan membiarkan Israel melanjutkan kekejamannya terhadap warga sipil.
Di balik dinding kaca diplomasi, hanya ada retorika tanpa makna. Setiap sidang yang tertunda, setiap resolusi yang dibatalkan, menjadi celah bagi Zionis meluncurkan bom-bom berikutnya. Ini bukan kegagalan diplomatik semata, ini adalah bentuk kolusi global yang diam-diam memberi lampu hijau pada penjajahan berkepanjangan.
Namun, yang paling menyayat hati bukan semata kekejaman Zionis atau perlindungan politik dari Amerika Serikat. Yang lebih memilukan justru adalah diamnya dunia Islam. Di tengah genosida yang berlangsung terang-terangan di tanah para nabi, lebih dari dua miliar umat Islam terlihat seolah tak mampu berbuat apa-apa.
Para pemimpin negeri-negeri Muslim hanya mampu mengeluarkan pernyataan normatif, menggelar pertemuan simbolik, lalu kembali menjaga hubungan dagang dan diplomatik dengan rezim penjajah.
Ini bukan kelemahan. Ini adalah pengkhianatan. Sebuah pengkhianatan terhadap keimanan, terhadap seruan Allah dan Rasul-Nya, dan terhadap warisan perjuangan umat Islam yang pernah mengguncang dunia karena persatuannya.
Kebisuan itu bukan netralitas. Ia adalah restu terselubung terhadap pembantaian. Di saat anak-anak Gaza dikubur bersama reruntuhan, para penguasa Muslim lebih sibuk mengamankan stabilitas politik dan kepentingan ekonomi.
Di saat yang sama, propaganda Barat terus menyusup ke dalam tubuh umat, menumpulkan keberanian, menakuti dengan istilah “jihad”, dan memecah belah kekuatan umat dengan ilusi bahwa solusi hanya bisa datang dari Barat lewat diplomasi palsu dan lembaga internasional yang tak pernah mampu memberi keadilan.
Dunia tengah menyaksikan bukan hanya genosida, tapi juga pengkhianatan. Dan sejarah takkan melupakan siapa yang diam di saat kebenaran dipertaruhkan.
Gaza: Cermin Retaknya Sistem Dunia yang Dikendalikan Kapitalisme
Gaza hari ini bukan hanya soal penjajahan brutal. Ia merupakan potret buram dari kerusakan sistem global yang selama ini dibangun di atas pijakan rapuh bernama kapitalisme. Sebuah sistem yang menjadikan kepentingan dan keuntungan sebagai nilai tertinggi, mengesampingkan keadilan, mengabaikan kemanusiaan.
Kapitalisme tidak menjadikan kebenaran sebagai tolok ukur, melainkan semata-mata keuntungan. Selama tragedi kemanusiaan di Gaza tak memberikan nilai ekonomi atau kepentingan strategis, penderitaan itu akan terus dibiarkan. Sebaliknya, rezim penjajah yang menawarkan peluang bisnis dan kerjasama politik justru terus didukung, meski secara nyata melanggar hukum internasional.
Dalam sistem kapitalisme, keadilan menjadi komoditas yang bisa diperjualbelikan. Hak hidup anak-anak Palestina dikorbankan demi kepentingan lobi industri senjata dan ambisi bisnis di sektor energi. Kebenaran pun dibentuk oleh narasi media yang tunduk pada kendali korporasi dan negara-negara besar. Gaza bukan sekadar wilayah yang dijajah, melainkan cerminan runtuhnya sistem global yang mengagungkan materi dan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan.
Tragedi di Gaza mencerminkan dunia yang telah kehilangan arah dan ruh moral. Kapitalisme menempatkan akal manusia yang terbatas sebagai penentu utama, sementara wahyu dan nilai-nilai ilahiah disingkirkan. Hasilnya adalah tatanan dunia yang sarat ketidakadilan, krisis kemanusiaan tanpa henti, dan eksploitasi yang terus berulang.
Saatnya Umat Kembali kepada Islam sebagai Ideologi: Solusi Hakiki untuk Gaza dan Dunia
Berbeda dengan Islam yang tidak semata-mata sebagai agama yang mengatur urusan spiritual dan ibadah, tetapi juga merupakan sebuah din dan mabda’ yaitu sebuah ideologi menyeluruh yang mencakup seluruh sisi kehidupan. Saat diterapkan secara total dalam bentuk institusi politik bernama Khilafah, Islam telah terbukti mampu menyatukan umat, membebaskan wilayah-wilayah yang tertindas, dan melindungi kehormatan kaum Muslimin.
Sejarah mencatat, ketika seorang wanita Muslimah diganggu di wilayah Romawi, Khalifah menurunkan pasukan untuk membebaskannya. Bandingkan dengan hari ini, disaat ribuan Muslimah Gaza dibantai, para pemimpin negeri Muslim justru tunduk di hadapan negara-negara penjajah.
Hanya dengan ideologi Islam, umat memiliki visi yang utuh dengan menjadikan syariat Allah sebagai satu-satunya sumber hukum, mempersatukan negeri-negeri Muslim, dan menjadikan Khilafah sebagai institusi yang bertanggung jawab menjaga, melindungi, dan membebaskan kaum Muslimin dari penindasan.
Islam sebagai ideologi bukanlah wacana utopis. Ia pernah hadir dalam sejarah dan terbukti mewujudkan keadilan dan kesejahteraan, bukan hanya untuk Muslim, tetapi juga untuk non-Muslim. Dalam Khilafah, warga non-Muslim (dzimmi) hidup aman, haknya dilindungi, dan kehormatannya dijaga.
Dalam peperangan, Islam memiliki etika yang tinggi, tidak boleh membunuh anak-anak, wanita, orang tua, atau merusak tempat ibadah.
Gaza memanggil kita untuk kembali kepada jalan ini bukan sekadar solusi instan, tapi solusi ideologis yang menyeluruh. Saatnya umat Islam mencampakkan ideologi-ideologi buatan manusia yang gagal menyelesaikan problem dunia.
Sudah waktunya umat Islam bersatu dalam barisan dakwah dan perjuangan politik demi menegakkan kembali sistem Islam yang akan menjadi pelindung sejati umat. Khilafah tidak akan lahir dari kekosongan, apalagi sekadar doa tanpa arah, Ia membutuhkan infrastruktur perjuangan yang terorganisir, konsisten, dan berbasis ideologi Islam yang murni. Di sinilah peran strategis partai politik ideologis Islam menjadi sangat krusial.
Berbeda dengan partai politik pragmatis yang hanya mengejar kekuasaan dan elektabilitas, partai politik ideologis Islam memiliki misi suci untuk mewujudkan perubahan sistemik menuju penerapan Islam secara kaffah. Tugas mereka adalah mendidik umat, menyatukan visi perjuangan, mengoreksi penguasa yang menyimpang, dan menyiapkan kepemimpinan Islam global.
Jika kesadaran politik umat telah terbentuk, maka kebangkitan Islam hanyalah persoalan waktu. Dan saat Khilafah tegak kembali, ia akan menyatukan negeri-negeri Muslim, menjadi perisai rakyat Gaza, dan membebaskan Palestina dengan langkah nyata mengirim pasukan, mengusir penjajah, menjatuhkan sanksi, serta mengembalikan bumi suci itu ke pelukan umat. Bukan dalam retorika, tapi dalam aksi geopolitik yang nyata dan efektif.
Karena hanya ketika Islam ditegakkan sebagai ideologi hidup bukan hanya dijadikan identitas budaya atau spiritual barulah umat Islam akan kembali memimpin dunia. Gaza tidak menanti kecaman, tapi kekuatan. Dan kekuatan itu hanya bisa lahir jika umat kembali menjadikan Islam sebagai ideologi dan Khilafah sebagai institusi global.
Wallahua’lam bissawab
Editor: Hanin Mazaya