GAZA (Arrahmah.id) – Saat operasi militer ‘Israel’ untuk menguasai Kota Gaza memasuki fase paling brutal dan menghancurkan, sebuah komisi khusus PBB menyimpulkan bahwa ‘Israel’ telah melakukan genosida di Jalur Gaza dalam dua tahun terakhir. Komisi itu menyerukan agar negara-negara dunia segera menghentikan kekejaman ini dan mengadili para pelakunya, sebuah langkah yang menurut para analis akan sangat berpengaruh di pengadilan internasional.
Komisi tersebut meminta penghentian total pasokan senjata ke ‘Israel’, mengakhiri politik kelaparan, dan menyeret pihak-pihak yang terlibat dalam kejahatan ini ke meja pengadilan. Pernyataan itu muncul bertepatan dengan pengumuman tentara ‘Israel’ yang melancarkan operasi darat besar-besaran untuk menduduki Gaza City.
Kepala Staf ‘Israel’, Eyal Zamir, mengklaim operasi itu bertujuan membebaskan tawanan dan menghancurkan Hamas. Namun, Komisaris Tinggi HAM PBB Volker Türk menegaskan bahwa yang terjadi justru merupakan “eskalasi tambahan yang sama sekali tidak bisa diterima.”
‘Israel’ segera menolak laporan tersebut dan bahkan mendesak agar komisi dibubarkan. Tapi menurut William Schabas, pakar hukum internasional dan mantan Ketua Komisi HAM PBB, temuan ini memiliki bobot hukum yang kuat dan kredibilitas tinggi. Apalagi laporan itu dipimpin oleh Navi Pillay, mantan Komisaris Tinggi HAM PBB sekaligus hakim di Pengadilan Kriminal Internasional yang pernah menangani kasus genosida Rwanda.
Yang membuat laporan ini semakin penting adalah momennya: hanya berselang beberapa saat sebelum Mahkamah Internasional (ICJ) menggelar sidang untuk mengambil keputusan akhir soal Gaza.
Komisi Pillay menegaskan bahwa berbagai pernyataan dari pejabat ‘Israel’ merupakan bukti langsung adanya niat genosida. Mereka menyerukan kepada semua negara untuk tidak lagi mendukung kejahatan ini dalam bentuk apa pun.
Ini adalah pertama kalinya komisi investigasi PBB secara resmi menuduh Israel melakukan genosida. Sekjen PBB Antonio Guterres juga menambahkan: “Apa yang terjadi di Gaza tidak dapat diterima,= secara moral, politik, maupun hukum,” sambil menegaskan akan membawa laporan tersebut ke Pengadilan Kriminal Internasional.
Menurut Mustafa Barghouti, Sekjen Inisiatif Nasional Palestina, salah satu poin paling mengejutkan adalah rekomendasi komisi agar menghentikan lembaga bernama Gaza Humanitarian Foundation (GHF), yang didirikan AS dan ‘Israel’ dengan dalih distribusi bantuan, namun justru berubah menjadi “jebakan maut” bagi warga Gaza.
Komisi juga menyatakan bahwa empat dari lima indikator genosida yang digunakan dalam kasus Bosnia terbukti ada di Gaza.
‘Israel’ tentu saja menolak, menyebut laporan itu bias dan menuntut komisi dibubarkan. Salah satu penyusun laporan, Chris Sidoti, merespons sinis: jawaban ‘Israel’ “seperti ditulis ChatGPT, selalu sama dan tanpa bukti.”
Bagi Schabas, laporan ini tetap krusial. Ia menegaskan bahwa ‘Israel’ bukan hanya pelanggar gencatan senjata, tapi juga pihak yang menolak berbagai usulan pertukaran tawanan. “Amerika Serikat bisa menghentikan perang ini dalam 10 menit kalau mau,” katanya, “dan itu membuat mereka turut bertanggung jawab.”
Ia juga menyoroti standar ganda: negara-negara Barat yang dulu menjadikan laporan PBB sebagai bukti untuk menegakkan kasus genosida Myanmar, kini justru diam atau membela ‘Israel’.
Menurutnya, laporan ini bukan dokumen pinggiran, tapi akan menjadi bukti hukum kunci di masa depan untuk mengadili kejahatan genosida di Gaza. (zarahamala/arrahmah.id)