1. News
  2. Nasional

Dua Desa di Bogor Terancam Lelang Karena Skandal BLBI

Ameera
Rabu, 24 September 2025 / 2 Rabiul akhir 1447 20:19
Dua Desa di Bogor Terancam Lelang Karena Skandal BLBI

BOGOR (Arrahmah.id) – Kabupaten Bogor menjadi sorotan publik setelah dua desanya, Desa Sukaharja dan Desa Sukamulya di Kecamatan Sukamakmur, dikabarkan akan dilelang sebagai jaminan kredit ke bank.

Kabar tersebut pertama kali disampaikan Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal Yandri Susanto saat rapat bersama Komisi V DPR RI pada Selasa (16/9/2025).

“Ini ceritanya lebih seru lagi. Desa ini berdiri sebelum Indonesia merdeka. Pada 1980, ada seorang pengusaha yang meminjam uang ke bank dan menjadikan desa sebagai agunan. Sekarang desanya dilelang dan sudah dipasang plang akan disita,” ujar Yandri, menukil siaran TVR Parlemen.

Yandri mengaku telah melakukan pendekatan keras dan menyurati berbagai pihak untuk menyelidiki kasus ini. “Enggak boleh di republik ini ada desa yang dilelang. Masa rakyat akan diusir, tidak boleh,” tegasnya.

Persoalan ini berawal dari sengketa lahan sitaan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) milik terpidana Lee Darmawan K H alias Lee Chin Kiat. Berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor 1622 K/Pid/1991 tanggal 21 Maret 1992, aset-aset Lee dirampas untuk negara dan diserahkan ke Bank Indonesia.

Dokumen Desa Sukaharja menunjukkan bahwa pada 1983, Lee yang saat itu menjabat sebagai Direktur PT Bank Perkembangan Asia memberikan pinjaman Rp850 juta kepada PT Perkebunan dan Peternakan Nasional Gunung Batu atas nama Haji Mohammad Madrawi, dengan jaminan tanah seluas 406 hektare yang kini masuk wilayah Desa Sukaharja dan Sukamulya.

Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Jawa Barat, Ade Afriandi, mempertanyakan proses akuisisi tersebut.

Manajer Pengakuan Wilayah Kelola Rakyat Eksekutif Nasional Walhi, Ferry Widodo, menegaskan bahwa tanah desa tidak boleh dijadikan agunan.

“Tanah desa, baik aset desa maupun tanah kas desa, secara hukum dilarang dijadikan jaminan bank,” kata Ferry. Hal ini sejalan dengan Pasal 6 ayat (5) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Aset Desa.

Selain status tanah, bentuk bukti kepemilikan berupa girik atau Letter C juga menjadi masalah.

Menurut UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan UU Hak Tanggungan No. 4 Tahun 1996, hanya tanah bersertifikat (Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha) yang sah dijadikan agunan.

Girik hanyalah bukti administrasi pajak dan tidak memiliki kekuatan hukum setara sertifikat.

Pengamat perbankan Agus Wibowo menambahkan bahwa meski secara praktik girik kadang diterima sebagai agunan dalam perjanjian kredit, kekuatan hukumnya lemah.

Mulai 2026, sertifikat girik dan dokumen tanah adat lainnya tidak akan berlaku lagi sebagai alat bukti kepemilikan tanah menurut PP No. 18 Tahun 2021.

Kasus ini menyoroti kerentanan hukum terhadap tanah desa dan menimbulkan kekhawatiran bagi warga setempat. Menteri Yandri memastikan pemerintah akan menindaklanjuti agar desa tetap aman dari lelang atau penyitaan.

(ameera/arrahmah.id)