GAZA (Arrahmah.id) – Krisis kemanusiaan akibat blokade ‘Israel’ memaksa anak-anak di Gaza mengonsumsi antibiotik beku dan menyebutnya sebagai “es krim”. Kondisi tragis ini mencerminkan parahnya kelaparan dan kelangkaan pangan yang melanda wilayah tersebut selama lebih dari sepuluh bulan terakhir.
Di sebuah sudut Gaza, di tengah reruntuhan rumah sakit dan deru pesawat tempur, seorang pria menceritakan bagaimana anak-anak di kamp pengungsian mulai menikmati sesuatu yang disebut sebagai “es krim antibiotik”.
Sebenarnya itu bukan es krim sama sekali. Itu hanyalah cairan antibiotik, biasanya berbentuk sirup, yang dibekukan di dalam freezer darurat. Anak-anak lalu menjilatinya seperti orang biasa menikmati es krim rasa mangga atau stroberi.
Rasanya? Pahit, menusuk, sama sekali tak mirip manisnya permen atau dinginnya es krim. Tapi, di tengah kelaparan dan kehancuran, sirup obat yang beku itu menjadi satu-satunya “kemewahan” yang bisa mereka dapat.
Anak-anak Gaza mulai meminta “es krim rasa stroberi” atau “anggur”, padahal yang mereka maksud adalah rasa buatan dari obat-obatan yang seharusnya diminum dengan susah payah.
Kondisi ini lahir karena makanan hampir tidak ada. Blokade ‘Israel’ menutup masuknya bahan pangan selama berbulan-bulan. Rumah sakit hancur. Freezer yang seharusnya menyimpan obat banyak yang rusak, lalu dimanfaatkan warga untuk membekukan apa pun yang tersisa. Psikologi anak-anak hancur. Mereka bahkan lupa apa itu es krim sungguhan, hanya tahu “es krim antibiotik” sebagai sesuatu yang spesial.
Seorang ayah berkata dengan getir: “Anak saya bertanya kenapa tidak ada rasa mangga. Saya tidak tahu harus jawab apa. Dia tidak pernah tahu mangga segar seumur hidupnya.”
Fenomena ini menggambarkan bagaimana masa kecil di Gaza dirampas. Apa yang di tempat lain dianggap makanan manis untuk kebahagiaan, di Gaza berubah jadi simbol penderitaan dan kelaparan.
“Es krim antibiotik” menjadi potret telanjang dari genosida yang sedang berlangsung: ketika kehidupan sehari-hari runtuh total, hingga rasa obat pun harus dijadikan pelarian imajinasi untuk bertahan hidup. (zarahamala/arrahmah.id)